Prestasi olahraga Indonesia di Asian Games 2018 perlu dikembangkan melalui program pembinaan bervisi prestasi dunia. Jika tidak segera dilakukan, Indonesia rawan krisis prestasi.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu segera melakukan transformasi program pembinaan olahraga supaya prestasi tidak terus jalan di tempat. Tanpa prestasi internasional yang bisa dibanggakan, citra Indonesia yang ingin mencalonkan diri menjadi tuan rumah Olimpiade 2032 akan merosot.
Hal itu mengemuka pada seminar Refleksi Setahun Asian Games 2018 dan Rencana Peningkatan Prestasi Olahraga Indonesia di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Hadir dalam acara itu, antara lain, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto, mantan Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) Erick Thohir, dan Wakil Ketua V Bidang Mobilisasi Sumber Daya, Kesejahteraan Pelaku Olahraga KONI Yayuk Basuki, dan pengamat olahraga Fritz E Simandjuntak.
Bambang mengatakan, Bappenas telah melakukan riset dan mengusulkan program berkonsep bagan segitiga, yakni paling dasar Indonesia Berolahraga, kemudian Indonesia Berlatih, selanjutnya Indonesia Bersaing, dan puncaknya Indonesia Menang. Indonesia Berolahraga maksudnya agar mulai membiasakan olahraga menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan di masyarakat. Caranya, olahraga harus dikenalkan dan dibiasakan dari tingkat SD, SMP, hingga SMA.
Indonesia Berlatih adalah tahap membiasakan atlet untuk berlatih dengan serius. Hal itu bisa dilakukan dengan menggelar sejumlah kompetisi dari antarsekolah di daerah, antarperguruan tinggi di daerah, hingga antardaerah/perkumpulan/nasional.
Pada Indonesia Bersaing, pemerintah harus mulai membiasakan atlet untuk melakukan pertandingan/perlombaan internasional. Terakhir, Indonesia Menang merupakan tahapan fokus untuk mengejar prestasi di kejuaraan tingkat dunia, seperti kejuaraan dunia, Asian Games, hingga Olimpiade.
”Indonesia juga harus mulai menyeleksi cabang yang benar-benar ingin dikembangkan sebagaimana rekam jejak prestasinya sejak dulu. Kami mengusulkan sepuluh cabang prioritas, yakni bulu tangkis, panjat tebing, atletik, panahan, angkat besi, taekwondo, senam, dayung, renang, dan sepeda,” ujar Bambang.
Program tidak jelas
Bambang menegaskan, tahapan transformasi program pembinaan olahraga prestasi itu sangat mendesak digulirkan. Sebab, selama ini Indonesia tidak memiliki program yang jelas untuk mengembangkan prestasi olahraga. Hal itu terlihat dari dari hasil riset Bappenas, antara lain Indonesia tidak punya target prestasi yang mantap di Olimpiade. Padahal, Olimpiade adalah puncak prestasi di bidang olahraga. Indonesia juga belum memiliki pemusatan latihan nasional permanen yang modern.
”Padahal, Indonesia seharusnya bisa mengoptimalkan Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno di Jakarta dan Gelora Sriwijaya Jakabaring di Palembang untuk menjadi pelatnas permanen. Keberadaan pelatnas permanen sangat penting agar pembinaan olahraga bisa fokus,” kata Bambang.
Indonesia pun tidak punya fokus cabang yang ingin dikembangkan. Sejauh ini, semua cabang coba difasilitasi sekalipun bukan cabang Olimpiade. Kondisi itu sangat membebani anggaran pemerintah yang sangat terbatas. Situasi kian sulit karena pemerintah juga sangat minim dukungan dari sponsor.
Selain itu, pembinaan olahraga juga belum benar-benar memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, di negara maju, iptek adalah komponen penting untuk meningkatkan performa dan prestasi atlet. ”Yang mendasar dan sangat penting, Indonesia tidak punya pembinaan akar rumput yang kuat. Selama ini, ada sekolah dan klub di tingkat akar rumput, tetapi mereka tidak memiliki fasilitas latihan memadai,” ujar Bambang.
Kritis pada 2024
Fritz mengutarakan, tanpa perubahan nyata sejak sekarang, Indonesia akan mengalami titik kritis prestasi pada Olimpiade 2024. Hal itu akan menjadi preseden buruk untuk Indonesia yang ingin mencalonkan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 2032.
Sebagai gambaran, Fritz menjelaskan, hampir semua cabang olahraga Indonesia tidak punya program pembinaan yang memadai. Untuk itu, mayoritas cabang masih mengandalkan atlet-atlet senior. Sementara itu, para atlet yunior belum menyamai seniornya.
”Kalau regenerasi tidak jalan, bisa-bisa Indonesia akan krisis atlet yang bisa bersaing di tingkat dunia pada (Olimpiade) 2024. Padahal, 2024 adalah titik menentukan sebelum ke Olimpiade 2032. Sebab, jarak antara 2024 dan 2032 adalah delapan tahun. Itu adalah jarak waktu yang tidak cukup panjang untuk pembinaan atlet,” ujar Fritz.
Praktis hanya cabang bulu tangkis yang siap. Sejauh ini, cabang tersebut berhasil melakukan program pembinaan yang ideal. Oleh karena itu, setiap atlet senior andalannya saat ini sudah punya pelapis yang siap menggantikan. ”Terbukti, baru-baru ini, tim Indonesia berhasil meraih gelar (juara beregu) Kejuaraan Dunia Yunior Bulu Tangkis 2019 di Rusia, Sabtu (5/10/2019),” ujar Fritz.
Situasi pembinaan olahraga nasional saat ini, menurut Fritz, sangat memprihatinkan. Apalagi, Indonesia punya rencana menjadi tuan rumah Olimpiade 2032. ”Untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, Indonesia patut sukses penyelenggaraan maupun sukses prestasi,” pungkas Fritz.