Situ Jadi Perumahan, Banjir Pun Melanda
Tidak ada lagi air. Yang tersisa dari Situ Ciming hanya tebing setinggi 3-4 meter yang mengelilingi Perumahan Mekar Perdana, Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.
Tidak ada lagi air. Yang tersisa dari Situ Ciming hanya tebing setinggi 3-4 meter yang mengelilingi Perumahan Mekar Perdana, Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Di tengah area perumahan itu, Nasim (72) pernah menghabiskan masa kecilnya untuk mandi dan bermain.
“Dulu, air Situ Ciming dari mata air, jernih. Selain itu, airnya juga dari sawah. Di sini, dulu ada banyak persawahan. Rumah (orangtua) saya pas di pinggir setu (Situ Ciming). Saya suka berenang di setu (situ) ini,” tutur Nasim mengenang masa lalu saat Situ Ciming masih ada.
Situ Ciming merupakan satu dari beberapa situ di Jabodetabek yang ditemukan Kompas sudah beralih fungsi menjadi kompleks permukiman. Penelusuran Kompas bersama Litbang Kompas ditemukan dari 208 situ yang dikelola Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, ada 30 situ yang terbit sertifikat hak milik dan hak guna bangunan (SHM/HGB).
Hingga 1970-an, peta citra satelit Landsat masih merekam keberadaan Situ Ciming cukup baik. Gambar yang ditampilkan memang tak sedetail citra satelit pada peta digital Google saat ini, melainkan hanya berupa gambar cekungan. Memasuki tahun 1980, peta itu menampilkan situ tersebut sudah rata dengan tanah.
Baca juga : Merugi Setelah Situ Menjadi Perumahan
Jika menelusuri dari hulu, Situ Ciming adalah satu dari beberapa situ yang ada di sekitar aliran Kali Cijantung. Situ-situ itu tak ubahnya seperti kantung air, tempat menampung air yang terhubung dengan Kali Cijantung. Di bagian hulu ada Situ Bahar dan di hilirnya Situ Pengarengan yang berada di pinggir Jalan Juanda, Kota Depok. Di sekitarnya pun, dalam radius 3 kilometer hingga 10 km, ditemukan Situ Rawa Kalong, Situ Jati Jajar, dan Situ Sidomukti atau Studio Alam, yang masih berfungsi sebagai situ.
Sebelum rata menjadi tanah, menurut Nasim, Situ Ciming pernah jebol sekitar tahun 1960-an. Airnya tumpah dan menggenangi areal perkebunan dan sawah di sekitarnya. Akibatnya areal situ yang masih terisi air tinggal separuh. Sementara berdasarkan data BBWSCC, luas Situ Ciming semula mencapai 1,5 hektar. “Saat situ jebol, lingkungan sekitarnya masih kebun, tidak seperti sekarang yang rapat dengan rumah. Jadi tidak ada korban,” ucapnya.
Hingga 1980, Nasim masih dapat menikmati Situ Ciming. Sebagian arealnya pun masih dimanfaatkan warga sebagai empang dan sawah. “Saya juga punya tiga petak sawah (di areal Situ Ciming),” ucapnya.
Namun menurut Nasim, situ tersebut kemudian dijual oleh Lurah Nyanit. Hal itu pun diungkapkan warga lainnya, Sugeng (53). Menurut keduanya, Lurah Nyanit dikenal sebagai penjaga Situ Ciming, dan dia pula yang menjual situ tersebut kepada pengembang. Sejak dijual, situ tersebut diuruk dan dijadikan lahan perumahan. “Yang punya (Situ) Ciming itu Lurah Nyanit. Dijual, kemudian diuruk untuk perumahan,” jelas Sugeng.
Oni (56), salah satu anak Nyanit mengakui, hingga 1980 Situ Ciming masih ada. Namun, menurutnya, areal yang dijual ayahnya bukan yang berisi air, melainkan yang bagian empang dan sawah. “Pak Nyanit memang punya lahan di sini. Tetapi dulu kita juga nggak tinggal di sini (di dekat Situ Ciming). Bapak saya itu Lurah di Kelapa Dua, Cimanggis, dan sudah meninggal dari tahun 1989,” tuturnya, saat ditemui di rumahnya yang berada dekat dengan Perumahan Mekar Perdana.
Baca juga : Situ Hilang Bencana Datang
Berdasarkan fotokopi dokumen HGB Perumahan Mekar Perdana yang diperoleh dari warga perumahan, diperoleh informasi bahwa HGB diterbitkan atas nama PT Antar Samudra Perdana dari hasil penggabungan sejumlah bidang tanah yang berasal dari 5 dokumen tanah, yakni C Nomor 1970, 1971, 1896, 2008, dan 5769.
Direktur PT Antar Samudra Perdana, Syamsul Bahri Athar, hingga saat ini belum dapat dikonfirmasi. Kompas mendatangi rumahnya di kawasan Jakarta Selatan hingga dua kali, tetapi hanya ditemui asisten rumah tangganya.
Sulaeman, Ketua RW Perumahan Mekar Perdana mengungkapkan, saat ia pertama kali membeli rumah di Perumahan Mekar Perdana pada 2000, lingkungan tempat tinggalnya belum banjir. Namun memasuki 2005, saat tanah kosong di lingkungan sekitar perumahannya dibangun juga sebagai kompleks perumahan, tempat tinggalnya mulai banjir. Banjir tertinggi di tempat tinggalnya pernah mencapai 2 meter.
Selain banjir, fasilitas sosial dan fasilitas umum di lingkungan perumahan juga tidak tersedia. Jalan di lingkungan perumahan pun rusak parah.
“Setiap kali saya ajukan permohonan bantuan perbaikan jalan, dan juga penanganan banjir, itu selalu ditolak. Karena tempat tinggal ini tidak tercatat sebagai perumahan, melainkan masih situ,” jelasnya.
Widarso (73), warga perumahan lainnya mengungkapkan, banjir di tempat tinggalnya datang dari luapan Kali Cijantung dan air dari perumahan sekitar yang mengalir turun ke tempat tinggalnya, serta air yang muncul dari tanah. “Kerap tampak ada semburan air dari jalan. Sepertinya itu mata air yang menyembul ke atas,” katanya.
Saat ini pun, jika ia menggali tanah di halaman rumahnya sedalam 1,5 meter langsung bisa ditemukan air. “Tetapi kualitas airnya kurang baik, agak kuning. Mungkin ada kandungan besinya. Makanya sejak dulu, kami pakai PAM,” jelasnya.
Sulaeman dan Widarso menyampaikan, karena sejak 2005 Perumahan Mekar Perdana terus-menerus dilanda banjir setiap kali musim penghujan, warga mendesak pengembang untuk menyerahkan fasos-fasum kepada Pemkot Depok. Setelah serah terima terealisasi pada 2012, pengendali banjir mulai dibangun dan jalan juga diperbaiki.
Karena sejak 2005 Perumahan Mekar Perdana terus-menerus dilanda banjir setiap kali musim penghujan, warga mendesak pengembang untuk menyerahkan fasos-fasum kepada Pemkot Depok.
“Mulai 2015, setelah tanggul Kali Cijantung ditinggikan hingga 5 meter, dan dibangun rumah pompa, oleh Pemkot Depok, di sini sudah tidak pernah banjir besar. Kalau pun ada, sebatas genangan,” jelasnya.
Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan, Bidang Sumber Daya Air, Dinas PUPR Depok, Bakhtiar Ardiansyah mengatakan, alih fungsi situ menjadi perumahan cukup membahayakan. Perumahan tersebut akan rawan banjir, seperti pada Situ Ciming.
Namun masalahnya, menurut Bakhtiar, hingga saat ini masih saja ditemukan jual beli areal situ. Sebagai contoh, katanya, sekitar 2013 ada 2 hingga 5 pegawai negeri sipil mendatangi dirinya menanyakan kemungkinan lahan mereka dapat dibangun. Setelah diperiksa, dokumen yang mereka miliki hanya akta jual beli. Tanah yang dibeli sesuai dokumen AJB itu pun lahan Situ Pengasinan yang sebagian besar masih berupa air.
“Dari informasi yang saya peroleh, diduga ada orang yang menawarkan (lahan Situ Pengasinan) ke kalangan PNS tersebut. Jadi yang beli banyak, lebih dari 5 orang yang datang ke kami. Saya bilang, tanya kementerian (Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR)) saja,” jelasnya.
Untuk melindungi areal situ, menurut Bakhtiar, Pemkot Depok selalu melibatkan BBWSCC setiap kali ada permohonan pendirian bangunan. Setiap pihak yang mengajukan izin mendirikan bangunan (IMB) di area sekitar situ diwajibkan meminta rekomendasi teknis (rekomtek) ke BBWSCC. “Kalau sudah ada rekomtek dari balai besar, kami baru merasa aman (untuk menerbitkan IMB). Baru bisa kami berikan tindak lanjut. Itu setelah Kota Depok mandiri (terpisah dari Kabupaten Bogor pada 1999),” jelasnya
Situ Asem
Situ Asem di Kampung Setu Asem, Kelurahan Mekarwangi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, yang telah menjadi perumahan Tamansari Persada sejak 1998, menurut keterangan sejumlah warga di sekitarnya, sudah hilang cukup lama.
Mamid (64), seorang warga mengungkapkan, sesungguhnya Situ Asem sudah hilang sejak ia lahir pada 1955. Hilangnya situ itu ia ketahui dari cerita ibunya. “Sejak 1953, (situ) sudah berubah menjadi sawah, dan lahannya digarap warga,” tuturnya.
Mamid mengaku ikut memanfaatkan lahan di bekas areal Situ Asem itu untuk menanam padi. Selama kurun 1970-1988, ia sehari-hari menggarap lahan seluas 400 meter persegi di kawasan tersebut. Namun, pada 1996, kawasan bekas situ itu diuruk dan mulai dibangun menjadi perumahan oleh pengembang pada 1998. “Saya enggak tahu siapa yang jual (lahan) garapan saya,” ujarnya.
Baca juga : “Waktu Ada Situ, Sumur Enggak Mudah Kering”
Icah (60), yang tinggal tak jauh dari Mamid, menuturkan, ia pun sempat membantu menggarap sawah di lahan bekas areal situ pada tahun 1980-an. Menurutnya, berdasarkan cerita yang diperoleh dari orangtuanya, kawasan tersebut berubah menjadi lahan pertanian karena banyaknya lumpur yang terbawa dari kali ke situ.
Saat masih bisa ditanami padi, kenang Icah, jika turun hujan maka areal sawah yang ia garap bersama anaknya Ismail (43), akan berubah menjadi kolam luas menyerupai situ. Seluruh area pertanian akan terendam air. “Kalau hujan deras, (lahan pertanian) tergenang persis kayak situ lagi. Bertaninya juga harus menunggu kering dulu,” kenang Ismail.
Namun semenjak berubah menjadi perumahan, Icah mengeluhkan, tak ada lagi lahan untuk resapan dan menampung air saat hujan deras. Dampaknya, banjir senantiasa menghampiri rumahnya saat hujan deras.
“Sekarang kalau hujan banyak, banjir sampai ke mari. (Air) masuk ke dalam (rumah) lebih dari semata kaki,” kata Icah.
Ahli tata kota Nirwono Joga menyampaikan, hilangnya situ di Jabodetabek diakibatkan tidak terpeliharanya situ dengan baik selama ini. Saat tak terurus, situ akan mengalami pendangkalan, baik secara alami maupun buatan. Keberadaan situ itu akan menyempit secara teknis.
Selain itu, jika tak diawasi, pendangkalan akibat mengendapnya lumpur dapat menjadikan situ berubah menjadi daratan. Kondisi ini yang kerap dimanfaatkan masyarakat menggarap lahan dan mengurus sertifikat kepemilikan atau menjualnya.
Jika situ di Jabodetabek hilang, Nirwono mengatakan, daerah yang kehilangan situ tersebut akan terancam rawan banjir. Ia menyebutkan, Bekasi dan Tangerang menjadi contoh kota yang rawan banjir setelah kehilangan sejumlah situ.
“Yang dulunya merupakan bekas lahan situ, karena berubah jadi permukiman, bisa dipastikan saat puncak musim hujan, kawasan yang berada di Bekasi dan Tangerang (yang daerahnya kehilangan situ) menjadi langganan banjir,” ujarnya.
Jika tak diawasi, pendangkalan akibat mengendapnya lumpur dapat menjadikan situ berubah menjadi daratan
Selain banjir, daerah yang kehilangan situ juga akan rawan krisis air. “Sebenarnya kan situ daerah cekungan yang berfungsi menampung air. Tetapi karena daerah tersebut diuruk dan jadi fungsi lain, otomatis kapasitas untuk menyerap air hilang,” kata Nirwono.
Tak hanya itu, dari pengamatannya, hilangnya situ juga dapat berdampak pada hilangnya ekosistem habitat satwa liar yang ada di kawasan tersebut. “Ini juga salah satu kehilangan terbesar dari hilangnya situ-situ yang ada di Jabodetabek,” ucapnya.
Ahli hidrologi sumber daya air Institut Pertanian Bogor, Hidayat Pawitan, menyebutkan, keberadaan situ di Jabodetabek dikategorikan sebagai situ urban karena posisinya yang berada di sekitar permukiman. Keberadaan situ di perkotaan perlu mendapat perhatian dan dijaga karena memiliki fungsi sebagai resapan, tempat penampungan air, dan pemenuhan kebutuhan air masyarakat.
Menurutnya, peran pemerintah dalam menjaga situ sebagai kawasan lindung masih belum optimal sehingga rawan dikuasai orang, termasuk pengembang properti. Penguasaan beberapa situ di Jabodetabek salah satunya terjadi karena urbanisasi dan adanya perkembangan perekonomian. Hidayat melihat, situ mulai disasar pengembang atau perorangan mulai tahun 1980an. “Dulunya enggak diperhatikan, sekarang punya nilai,” katanya.
Ketika lahan situ berubah menjadi perumahan berisiko menimbulkan banjir di kawasan tersebut. Saat hujan, situ yang berubah menjadi bangunan beton dan vegetasinya hilang tak akan bisa meresap air. Dampaknya, air hujan yang turun akan terus mengalir.
“Untuk mengalirkan air ini, dibutuhkan sungai-sungai yang lebih besar yang sayangnya tidak tersedia, makanya meluap menjadi banjir,” ucap Hidayat.
Dampak lainnya, air hujan yang tidak meresap akan mengurangi imbuhan ke dalam tanah. Dengan demikian, air tanahnya tidak akan bertambah. “Semakin kurang imbuhannya, secara alami air tanahnya pun akan semakin turun,” katanya.