Syarat Koalisi Jokowi-Amin Saat Sinyal Perluasan Koalisi Muncul
Sinyal rival politik bergabung dalam koalisi Joko Widodo-Ma’ruf Amin muncul setelah pertemuan Jokowi dengan Prabowo dan SBY. Namun, koalisi mengajukan sejumlah syarat jika ada partai baru yang memang ingin bergabung.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
Sepekan jelang dilantik menjadi presiden periode 2019-2024, Presiden Joko Widodo kian intens bertemu elite partai politik di luar koalisi pendukung Jokowi. Sinyal bergabung dalam koalisi pun muncul dari pertemuan-pertemuan itu. Namun, sejumlah partai politik dalam koalisi sepertinya tak akan mudah menerima partai baru bergabung. Ada sejumlah syarat yang diajukan.
Jumat (11/10/2019) sore, giliran Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Pertemuan kedua yang terlihat oleh publik setelah keduanya bertarung di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 itu tampak hangat. Prabowo menggenggam erat tangan Jokowi dengan kedua tangannya saat bersalaman. Jokowi membalas dengan senyum khasnya.
Keduanya lantas berbincang akrab selama lebih kurang satu jam. Jokowi mengawali percakapan yang disambut hangat oleh Prabowo.
Seusai pertemuan, Jokowi menyebut salah satu topik pertemuan, membahas kemungkinan Gerindra bergabung dalam koalisi pendukung Jokowi-Amin. Prabowo pun menyatakan siap jika diminta bergabung dalam koalisi. Namun, jika tidak, tidak masalah, Gerindra akan menjadi kekuatan penyeimbang.
Sehari sebelumnya, Kamis, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka. Dalam pertemuan selama lebih kurang satu jam itu, pembahasan seputar situasi politik terkini, tetapi ada pula pembahasan terkait sikap Demokrat selama pemerintahan presiden-wakil presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
”(Soal Demokrat bergabung), silakan ditanyakan ke Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) langsung. Kami bicara itu, tetapi belum sampai sebuah keputusan,” ujar Presiden Jokowi.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Renanda Bachtar, sekalipun ada pembicaraan terkait koalisi, Demokrat tidak meminta jabatan menteri kepada Presiden. Sebab, Demokrat sadar betul penyusunan kabinet merupakan hak prerogatif Presiden.
Meski demikian, Demokrat tak menolak jika diminta untuk membantu Presiden. ”Sejalan dengan sikap Demokrat yang akan berkontribusi pada pemerintahan Jokowi-Amin, saya rasa Pak SBY akan menerima jika hal itu (permintaan untuk menempati posisi menteri) datang dari kebutuhan Presiden,” katanya.
Jika permintaan mengisi posisi menteri itu datang, Renanda melanjutkan, Demokrat pun tak akan sulit memenuhinya. Banyak kader Demokrat yang mampu menjadi menteri. Mereka antara lain putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono, Teuku Rifky, Herman Khaeron, Dede Yusuf, Benny K Harman, dan Syarief Hasan.
Demokrat, seperti diketahui, turut menjadi rival dari Jokowi-Amin di Pilpres 2019. Saat itu, Demokrat ikut mengusung Prabowo bersama pasangannya, Sandiaga Salahuddin Uno, pada Pilpres 2019.
Keputusan bersama
Namun, tampaknya, bergabung atau tidaknya partai-partai tersebut ke dalam koalisi Jokowi-Amin tidak hanya menjadi keputusan Jokowi dan jalannya tak akan mudah. Sejumlah partai dalam koalisi Jokowi-Amin mengajukan syarat jika ada partai politik baru di luar koalisi yang ingin bergabung.
Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Jumat, mengatakan, untuk membangun koalisi baru pasca-Pilpres 2019, tidak bisa diputuskan sendiri oleh Presiden.
”Untuk membangun koalisi pasca-pilpres, harus dibahas terlebih dulu antara presiden dan wakil presiden terpilih serta para ketua umum partai politik anggota koalisi,” ucap Hasto.
Selain PDI-P, koalisi Jokowi-Amin beranggotakan empat partai yang memiliki kursi di MPR/DPR, yaitu Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan tiga partai di luar parlemen, yaitu Partai Solidaritas Indonesia, Perindo, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Untuk membangun koalisi pasca-pilpres, harus dibahas terlebih dulu antara presiden dan wakil Presiden terpilih serta para ketua umum partai politik anggota koalisi.
Apalagi dalam pertemuan terakhir para sekjen partai politik koalisi Jokowi-Amin dan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, telah direkomendasikan bahwa koalisi sebelum Pilpres 2019 hendaknya sama dengan koalisi pasca-pilpres. ”Ini dalam upaya membangun kultur demokrasi yang sehat,” ujar Hasto.
Demokrasi yang sehat tersebut tidak memungkinkan seluruh partai yang ada diakomodasi untuk masuk ke dalam kabinet. Sebab, demokrasi membutuhkan kekuatan penyeimbang, kontrol, dan pengawasan. Dalam arti kata lain, perlu ada pembagian peran, ada yang berperan di dalam dan di luar pemerintahan.
Kalaupun perluasan koalisi hendak dilakukan, menurut Hasto, seharusnya didasarkan pada kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan Jokowi-Amin. Namun, saat ini, dengan kekuatan lima partai pendukung Jokowi-Amin di DPR telah menguasai sekitar 60 persen kursi, syarat-syarat jalannya pemerintahan yang efektif sebenarnya sudah terpenuhi.
Selain PDI-P, Wakil Sekretaris Dewan Syuro PKB Maman Imanul Haq mengatakan, harus ada jaminan partai-partai politik yang ingin bergabung itu memiliki visi yang sama dengan Jokowi-Amin.
”Kami sudah memenangi Pilpres 2019 dengan janji Nawacita Jilid II. Pemenuhan janji ini kelak jangan sampai terganggu dengan manuver pribadi yang berbeda dengan visi Jokowi-Amin,” kata Maman.
Sekjen PPP Arsul Sani menambahkan, setiap partai yang hendak bergabung juga perlu menjaga etika dalam berkoalisi. Mereka tidak boleh bersikap seperti oposisi ketika bergabung dalam pemerintahan. Kalaupun ada kritik, hendaknya kritik disampaikan dengan cara yang elok, tidak justru menuai kegaduhan atau justru menunjukkan kepada publik adanya keretakan di tubuh koalisi pemerintah.
Hal ini seperti kerap terjadi di periode pertama pemerintahan Jokowi. Partai Amanat Nasional, misalnya, tak jarang berseberangan sikap dengan pemerintah.
Buktikan loyalitas
Berbeda dengan PDI-P dan PKB, Nasdem tampak lebih resisten dengan rencana masuknya partai baru. Menurut Sekjen Nasdem Johnny G Plate, yang terpenting bagi Presiden Jokowi saat ini adalah menjaga soliditas koalisi yang mengantarkannya menjadi pemenang Pilpres 2019. Dengan demikian, koalisi solid membantu Presiden dan setiap kebijakan pemerintah kelak.
Buktikan dulu loyalitas kamu dan kamu paham program-program Jokowi, dan baru barangkali bisa dibangun koalisinya.
Kalaupun ada partai politik yang ingin bergabung, partai itu harus terlebih dahulu menunjukkan loyalitasnya.
”Enggak usah grasak-grusuk. Buktikan dulu loyalitas kamu dan kamu paham program-program Jokowi, dan baru barangkali bisa dibangun koalisinya. Jadi, jangan sampai nanti mereka masuk malah koalisi jadi tidak solid,” ujar Plate.
Sementara itu, pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengingatkan koalisi Jokowi-Amin sudah besar. Terlebih jika masuk Gerindra atau Demokrat atau bahkan keduanya.
Koalisi gemuk berisiko buruk bagi laju pemerintahan Jokowi-Amin karena beberapa hal, antara lain jalur komunikasi, menjadi lebih panjang karena kompromi atas banyak hal perlu dilakukan ke lebih banyak partai. Pengelolaan koalisi gemuk juga lebih sulit karena loyalitas mereka tak bisa dipastikan.
”Akan muncul pula potensi disharmoni di kabinet karena sebenarnya koalisi Jokowi-Amin dengan partai di luar koalisi memiliki platform kebijakan yang berbeda. Akan sangat sulit menyinkronkan perbedaan-perbedaan tersebut dalam waktu singkat,” kata Arya.