Target Teror Kini Terarah
Penyerangan terhadap Menko Polhukam Wiranto menunjukkan bahwa serangan teror makin terarah antara lain ke pejabat negara. Pengamanan pejabat negara mendesak dievaluasi.
JAKARTA, KOMPAS— Penyerangan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Kamis (10/10/2019), di Kabupaten Pandeglang, Banten, mengindikasikan bahwa pejabat negara rawan menjadi serangan teror. Pengamanan pejabat negara perlu dievaluasi, antara lain, karena sembilan hari lagi atau pada 20 Oktober mendatang ada pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024.
Evaluasi ini juga dibutuhkan karena serangan terhadap Wiranto sudah diindikasikan pada Mei 2019. Saat itu, Wiranto bersama pejabat lain, yaitu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dan mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Komisaris Jenderal Gregorius Mere, disebut menjadi target pembunuhan dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta.
Selain itu, BIN juga telah mengidentifikasi gerakan pelaku penusuk Wiranto, yaitu SA alias Abu Rara, sejak tiga bulan lalu. SA dan istrinya, FA, diduga anggota kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi pada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Perlunya evaluasi pengamanan pejabat negara juga disampaikan Presiden Joko Widodo. ”Saya sudah perintahkan kepada Kapolri untuk memberikan pengamanan yang lebih baik,” kata Presiden seusai menjenguk Wiranto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, kemarin.
Wiranto ditusuk saat turun dari kendaraan di Alun-alun Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Kamis sekitar pukul 11.50. Wiranto datang ke Menes untuk menghadiri peresmian gedung kuliah dan penandatanganan prasasti di Universitas Mathla’ul Anwar, Menes.
Kepala Kepolisian Sektor Menes Komisaris Dariyanto dan seorang lainnya, yaitu Fuad, juga mengalami luka tusuk ketika menangkap SA yang menusuk Wiranto.
Wakil Presiden Jusuf Kalla seusai menjenguk Wiranto juga mengatakan, pengamanan, terutama bagi pejabat negara, perlu segera dievaluasi. Apalagi hingga saat ini masih ada kelompok radikal. Detasemen Khusus 88 Antiteror dan BIN, kata Kalla, selalu mengingatkan adanya gejala yang mengancam keamanan para pejabat negara.
Secara terpisah, Komandan Pasukan Pengamanan Presiden Mayor Jenderal Maruli Simanjuntak mengatakan, pihaknya selalu menerapkan standar pengamanan untuk risiko tinggi, termasuk saat Presiden dan Wapres turun ke daerah.
”Kami selalu siaga. Mudah-mudahan tidak terjadi
(insiden),” kata Maruli.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi proses pengamanan.
Penusukan yang dialami Wiranto, kata Dedi, tidak akan mengganggu proses pelantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober mendatang.
Dipantau
Dedi menjelaskan, SA dan FA bukan warga asli Menes, Pandeglang. SA pendatang dari Medan, Sumatera Utara, sedangkan istrinya, FA, dari Brebes, Jawa Tengah.
Kepala BIN Budi Gunawan menuturkan, pihaknya sudah memantau SA sejak tiga bulan lalu. ”Pelaku pindah dari Kediri ke Bogor kemudian dari Bogor pindah ke Menes karena cerai dengan istri pertama. Di Menes, dia menikah lagi,” kata Budi.
SA, kata Budi, juga sudah terpantau beberapa kali mengumpulkan senjata tajam, khususnya pisau. ”Belum ke tahapan merakit bom, pola penyerangannya masih sebatas senjata tajam,” katanya.
Menurut Budi, Abu Rara terkait dengan lima terduga teroris yang merencanakan serangan dengan bom, yang ditangkap polisi di Bekasi, Jawa Barat.
Berdasarkan catatan Kompas, awal Mei lalu, polisi menangkap lima terduga teroris di Bekasi. Mereka disebut memiliki keterkaitan dengan jaringan JAD dan akan melakukan teror kepada anggota Polri saat Pemilu 2019.
Menurut Budi, menjelang pelantikan Presiden dan Wapres, 20 Oktober 2019, BIN telah mendeteksi adanya kemungkinan serangan dari kelompok JAD.
Pemerhati terorisme, Al Chaidar, menuturkan, sebagian dari jejaring JAD berkedudukan di Pandeglang. Namun, mereka tidak hanya berasal dari Pandeglang.
JAD, kata Chaidar, menganut paham serangan amaliyah tebang pilih. Mereka hanya menyerang pejabat atau pihak tertentu.
Terpapar
Setelah penangkapan SA, kemarin, polisi mendatangi Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Medan Deli, Medan, Sumut, untuk minta keterangan dari saudara dan teman SA.
Alex, warga Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, menuturkan, SA adalah temannya yang berasal dari Medan. SA terpapar paham radikal sekitar tahun 2010. Saat itu, SA mulai melarang dua anaknya sekolah, menolak mengikuti pemilu, serta membenci pejabat negara dan polisi.
SA sempat tinggal di rumah dia sendiri di Medan Deli. Setelah itu, SA bersama istri ketiganya itu pergi dan tidak pernah memberi kabar lagi.
Sementara itu, Rahayu, kerabat FA yang berada di Desa Sitanggal, Kecamatan Larangan, Brebes, Jateng, menuturkan, sejak tiga bulan terakhir, FA memutus komunikasi dengan pihak keluarga dengan cara memblokir nomor telepon keluarga dan kerabat.
Menurut Rahayu, FA sudah dua tahun merantau ke Jakarta dan awalnya bekerja sebagai asisten rumah tangga. Namun, Juni lalu, FA memutuskan keluar dari tempat ia bekerja.
(SAN/NTA/INA/NSA/XTI/NIA/DVD/EDN/REK/INK)