Jika masih meragukan keberagaman bangsa ini, datanglah ke museum. Di museum, tersimpan bukti-bukti konkret bahwa bangsa Indonesia bineka sejak ribuan tahun silam.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Jika masih ada sebagian masyarakat yang meragukan keberagaman bangsa ini, mungkin mereka perlu sesekali diajak berkunjung ke museum. Di museum, tersimpan bukti-bukti konkret bahwa bangsa Indonesia bineka sejak ribuan tahun silam.
Sejak kedatangan manusia modern atau Homo sapiens awal pada 60.000-70.000 tahun silam, jalur migrasi ke Nusantara menjadi sangat kompleks. Migrasi timur (Melanesia, Australia Tenggara, dan Tasmania) bergerak ke selatan dan barat, lalu bertemu dengan migrasi barat dari jalur Moh Khiew, Tabon, Wajak, dan Niah untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Keturunan mereka, ras Australomelanesid, kemudian tersebar luas sejak 15.000 tahun yang lalu, dan segera digantikan oleh pendatang baru, yaitu ras Mongoloid, sekitar 4.000 tahun silam.
Menurut arkeolog senior Balai Arkeologi Yogyakarta, Prof Harry Widianto, Homo sapiens datang ke Kepulauan Nusantara melalui dua gelombang migrasi yang berbeda dari arah timur dan barat. Ras Australomelanesid yang mampu bertahan, bahkan hingga kini, kemudian berbaur dengan ras Mongoloid, terutama di daerah Wallacea bagian selatan dengan hasil pembauran berupa penduduk Indonesia bagian barat saat ini.
Bukti kuat adanya perbauran ras Australomelanesid dengan Mongoloid terbukti dengan penemuan kerangka individu nomor 48 di Gua Harimau, Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Ciri-ciri percampuran kedua ras ini terlihat pada struktur tengkoraknya yang memanjang dengan tulang wajah sempit khas ras Australomelanesid. Namun, pada bagian gigi seri atas individu tersebut berbentuk tembilang yang merupakan ciri fisik ras Mongoloid.
Hasil ekskavasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sejak 2010 tersebut menegaskan bahwa goa tersebut pernah dihuni oleh dua ras manusia berbeda, yaitu Australomelanesid dan Mongoloid, sekitar 22.000 tahun lalu hingga awal Masehi. Dilihat dari cara-cara penguburannya, terlibat bahwa dua ras manusia tersebut pernah hidup berdampingan pada masa-masa awal ras Mongoloid hadir sekitar 3.500 tahun lalu.
Kini, masyarakat bisa melihat secara langsung individu campuran dua ras itu di Musuem Si Pahit Lidah yang lokasinya tak jauh dari Gua Harimau. Sampai kini pun, proses percampuran antar ras terus-menerus berlangsung seiring semakin intensnya pertemuan-pertemuan antar ras manusia.
Bukti-bukti prasasti
Bukti keberagaman sekaligus toleransi juga bisa ditemukan pada era klasik sekitar abad ke-8 hingga ke-10 Masehi. Pada masa itu, di antara Gunung Sumbing-Sindoro dan Merbabu-Merapi berkembang peradaban tinggi Dinasti Syailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno.
Bukti keberagaman sekaligus toleransi juga bisa ditemukan pada era klasik sekitar abad ke-8 hingga ke-10 Masehi.
Meski mayoritas penduduk kerajaan ini beragama Buddha, agama Hindu dibiarkan berkembang. Bukti nyatanya keberadaan candi-candi Hindu, seperti Candi Prambanan yang dibangun berdampingan dengan Candi Sewu yang bersifat Buddhis.
Kompleks candi Buddhis Plaosan Lor, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, bahkan dahulu dibangun dengan gotong royong oleh masyarakat. Nama-nama penyumbang stupa candi itu terukir di dinding-dinding batu, salah satunya tertulis ”asthupa sri maharaja rakai pikatan” yang artinya persembahan stupa oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan, yang menganut agama Hindu.
“Penemuan ini menunjukkan bahwa pada abad ke-9 Masehi, pemeluk agama Buddha dan Hindu sudah hidup berdampingan dengan damai, bahkan bersama-sama saling membantu mendirikan bangunan suci,” kata arkeolog Puslit Arkenas Bambang Budi Utomo.
Di sejumlah museum, salah satunya Museum Nasional, tersimpan begitu banyak prasasti, surat-surat kuno, dan artefak-artefak yang juga menegaskan keberagaman Nusantara sejak dahulu kala. Aneka macam koleksi tersebut perlu terus-menerus dikaji dan didiskusikan agar nilai-nilai dan pesan-pesannya sampai ke masyarakat.
”Di museum, kita melihat lapisan-lapisan sejarah peradaban dan kebudayaan. Di museum, kita bisa belajar kebudayaan Indonesia yang sangat beragam dan bersatu, yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.
Di museum, kita melihat lapisan-lapisan sejarah peradaban dan kebudayaan.
Bukti-bukti keberagaman Indonesia bisa ditemukan di museum-museum yang ada di Indonesia. Karena itu, diharapkan museum bisa sebagai pilar atau ujung tombak dalam merawat kebinekaan.
Dengan segala kekayaannya, museum sangat potensial dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi untuk meneguhkan kembali eksistensi bangsa. Karena itulah, Peringatan Hari Museum Indonesia Tahun 2019 mengambil tema ”Museum Menyatukan Keberagaman”.
Selain menyimpan bukti- bukti keberagaman, menurut Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Ditjen Kebudayaan Fitra Arda, museum juga menjadi pilar pelestarian kebudayaan, edukasi, serta ruang rekreasi yang menyenangkan. Ada banyak manfaat yang bisa dirasakan publik di sana.
Di Indonesia kini tercatat ada 439 museum. Jika masing-masing museum mampu menyuguhkan narasi yang jelas pada setiap koleksi-koleksinya, maka museum akan menjadi sumber edukasi yang luar biasa, salah satunya memberikan pemahaman tentang keberagaman. Mau belajar keberagaman? Tak perlu jauh-jauh…datanglah ke museum.