Anggi Fitrilia Pratama (29) meramu limbah jadi bahan pewarna alami pada kain berseni, yakni jumputan dan ”eco print”. Hasil karyanya diminati pasar di dalam dan luar negeri.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Berbekal pengetahuan sebagai tenaga penyuluh di Dinas Perindustrian Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, Anggi Fitrilia Pratama (29) meramu limbah menjadi bahan pewarna alami pada kain berseni, yakni jumputan dan eco print. Hasil karyanya diminati pasar domestik dan luar negeri.
Enam tahun lalu, Anggi mulai membuka usaha kain jumputan di Galeri Wong Kito yang terletak di Lorong Setiawan, Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Kota Palembang. Dari galeri yang juga menjadi tempat tinggalnya itu, muncul kain seni yang kini digandrungi, yakni jumputan, kain khas Palembang, dan kain eco print bermotif dedaunan.
Ketika membuka usahanya tahun 2013, Anggi masih menggunakan bahan pewarna kimia pada kainnya. ”Saya menggunakan pewarna kimia karena lebih mudah,” ungkapnya saat ditemui di galerinya, Sabtu (27/7/2019). Namun, dirinya sadar, penggunaan pewarna kimia berdampak buruk bagi lingkungan. Selain itu, warna kain juga mudah luntur jika menggunakan pewarna kimia.
Dalam aspek pemasaran, produk yang menggunakan perwarna kimia sulit menembus pasar internasional. Biasanya, konsumen luar negeri enggan membeli produk yang tidak ramah lingkungan.
Atas dasar itulah, pada tahun 2015, dia mencari cara untuk tidak lagi menggunakan bahan kimia dan beralih ke perwarna alam yang lebih ramah lingkungan. Bak gayung bersambut, ketika menjadi penyuluh, dirinya kerap mendapatkan pelatihan tentang cara menghasilkan bahan perwarna alami dari limbah.
Salah satunya buah gambir yang dia temukan saat bertugas menjadi penyuluh di Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Buah gambir yang biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuat kosmetik bisa digunakan juga untuk pewarna alami. Adapun warna yang dihasilkan sangat beragam: gambir menghasilkan warna kuning, coklat, hijau pandan, dan hijau.
Selain dari limbah buah gambir, warna juga dapat diperoleh dari kulit jengkol, kulit kayu tingi, mahoni, secang, tegaran, kunyit, dan daun ketapang. Sementara bahan kulit kayu tingi dapat menghasilkan warna ungu dan merah muda. ”Warna yang dihasilkan sangat beragam. Itulah sebabnya saya tidak boleh berhenti untuk bereksperimen,” kata Anggi.
Pengetahuan itu dia peroleh ketika mengikuti sejumlah pelatihan di Yogyakarta, Bali, dan Bandung. Selain itu, sebagai penyuluh, Anggi juga terbantu untuk memperoleh banyak jaringan. ”Jaringan itu sangat membantu untuk memperluas pasar dan juga merekrut tenaga kerja,” kata Anggi.
Usahanya untuk menciptakan warna tidaklah mudah. Beberapa kali warna yang dihasilkan tidak sesuai ekspektasi. Namun, eksperimen terus berlanjut sampai ditemukan warna yang cocok. Pencarian warna baru menurut Anggi sangatlah penting untuk mendapatkan model kain yang terbaru. ”Kalau warna dan motifnya sama, konsumen akan cepat bosan,” kata Anggi.
Metode pewarnaan juga sangat bergantung pada zat penguncinya. Zat pengunci adalah bahan yang digunakan untuk memperkuat warna di kain agar tidak luntur. Dalam hal ini, Anggi mengandalkan tiga bahan utama, yakni tawas, kapur, dan tunjung.
Anggi menerangkan, proses pewarnaan kain jumputan dan eco print relatif sama. Hanya proses pengerjaan yang berbeda. Jumputan menggunakan teknik ikat celup untuk menciptakan gradasi warna yang menarik.
Kain akan diikat lalu dicelupkan ke dalam racikan warna. Teknik celup rintang, yakni menggunakan tali untuk menghalangi bagian tertentu pada kain agar tidak menyerap warna sehingga terbentuklah sebuah motif. Adapun eco print menggunakan skema di-steam dan dipukul dengan bahan utamanya daun.
Bernilai ekonomi
Dari kemahirannya mengelola warna, Anggi mampu menghasilkan kain yang bernilai seni tinggi. Beberapa produknya telah dijual ke luar negeri. Sebagian pemesan datang dari Malaysia, Singapura, dan Australia. Produk yang ia jual beragam harga, mulai dari Rp 150.000 sampai Rp 1,2 juta per unit kain.
Kain yang paling mahal adalah kain jumputan berbahan sutra karena pembuatannya yang rumit. Setiap bulan, dia bisa menjual sekitar 70 lembar kain untuk di pasar dalam negeri dan 40 lembar kain untuk pasar luar negeri. Omzetnya per bulan bisa mencapai Rp 30 juta per bulan.
Dalam berbisnis, lanjut Anggi, tentu banyak kendala, seperti kain yang rusak di perjalanan atau motif yang tak sesuai dengan pemesanan. Namun, semua kegagalan tersebut menjadi pelajaran untuk menghasilkan produk yang lebih baik lagi.
Anggi juga tidak hanya menjual dalam bentuk kain tetapi bentuk lain seperti tas dan sejumlah kerajinan tangan lain. ”Saya selalu mengikuti pameran untuk menjual produk, bahkan beberapa pembeli dari luar negeri saya dapat dari mengikuti sejumlah pameran,” ungkapnya.
Beberapa kejuaraan terkait UMKM juga dia ikuti, beberapa di antaranya menyabet juara. Dengan mengikuti kompetisi, dia akan memperoleh lebih banyak jaringan.
Berbagi ilmu
Selain untuk menjual kain, Anggi juga tidak pelit dalam berbagi ilmu. Di galerinya, dia membuka kelas untuk memberikan pelatihan bagi orang yang datang ke galerinya. ”Biasanya, perserta yang datang dari instansi yang ingin memberikan pelatihan UMKM kepada karyawannya,” ungkap Anggi. Namun, untuk pelajar dan mahasiswa, dia berikan ilmu itu secara cuma-cuma.
Bagi Anggi, berbagi ilmu merupakan cara untuk bersyukur kepada Tuhan karena ilmu yang dia dapat juga berasal dari beasiswa ketika bekerja sebagai seorang penyuluh industri. Pada Sabtu (27/7/2019), Anggi sedang mengajar beberapa mahasiswa dari program greenesia yang digagas oleh AIESEC di Universitas Sriwijaya. Mahasiswa itu datang dari China, Filipina, Mesir, dan Jerman.
Dengan sabar dia mengajari semua anak didiknya tersebut dengan sejumlah praktik. Beberapa di antaranya tertarik dan bahkan mengunggah kegiatan tersebut di akun media sosial mereka masing-masing. ”Dengan mengunggah kegiatan ini, secara tidak langsung galeri saya akan tersebar, bahkan ke seluruh dunia,” kata Anggi sambil tersenyum. (RHAMA PURNA JATI)