Makna dan Jalan Cerita Panji-panji Sonangkara
Sebanyak 1.350 penari, 65 pemeran prajurit, 75 pemusik, dan 50 pelatih siap menyuguhkan sendratari kolosal Tari Gandrung Sewu. Tahun ini, gelaran rutin tahunan tersebut mengangkat tema "Panji-Panji Sonangkara".
Sebanyak 1.350 penari, 65 pemeran prajurit, 75 pemusik, dan 50 pelatih siap menyuguhkan sendratari kolosal Tari Gandrung Sewu. Tahun ini, gelaran rutin tahunan tersebut mengangkat tema "Panji-Panji Sonangkara".
Tahun ini, jumlah penari yang terlibat lebih banyak dari tahun lalu yang hanya 1.200 orang. Melihat lima penari Gandrung menari serempak saja sudah mempesona, apalagi melihat ribuan penari bergerak serempak menari gandrung. Mungkin kata \'luar biasa\' saja tidak cukup mewakili kekaguman.
Gandrung Sewu 2019 akan digelar di Pesisir Pantai Marina Boom, Banyuwangi, Sabtu (12/10/2019). Lebih dari 1.000 pelajar akan menari bersama di atas hamparan pasir pantai dengan latar belakang Selat Bali dan Pulau Bali.
Dengan busana terang dan dandanan mencolok, tari kolosal ini akan menyajikan keindahan yang magis. Bukan hanya itu, ada pesan khusus yang disisipkan dalam gelaran itu.
Dengan ilmu, hidup kita lebih mudah. Dengan seni, hidup lebih indah. Dengan agama, hidup lebih terarah.
Sejak digelar pertama tahun 2012, Gandrung Sewu kerap mengangkat tema dari tembang-tembang yang dibawakan para Gandrung Terop. Temanya diangkat, yaitu Gandrung Sewu (2012), Gandrung Seblang Subuh (2013), Gandrung Marsan (2014), dan Podho Nonton (2015), Seblang Lukinto (2016), Kembang Pepe (2017), dan Layar Kumendung (2018).
Hanya pada tahun 2012 dan tahun 2014 tema yang dipilih bukan berasal dari tembang atau syair tradisional. Hal serupa terjadi tahun ini. ‘Panji-Panji Sonangkara’ bukan syair tradisional. Kendati demikian, kisah yang diangkat merupakan intepretasi dari bagian akhir tembang ‘Layar Kumendung’ yang dibawakan tahun lalu.
Panji Sonangkara
Lalu, apa sebenarnya Panji-Panji Sonangkara? Panji-panji merupakan bendera yang bergambar logo tertentu. Logo atau lambang memang kerap dijadikan identitas suatu kelompok. Demikian pula dengan para prajurit Kerajaan Blambangan yang dipimpin Raden Rempeg Jagapati.
“Lambang yang dipakai oleh Jagapati bergambar serigala yang sedang melolong. logo itu dipakai di bendera, tameng, dan di padepokan mereka,” ujar sejarawan dan penyair Banyuwangi Abdullah Fauzi ditemui di Banyuwangi, Kamis (10/9/2019).
Lambang Sonangkara menggambarkan keberanian dan kengerian kelompok prajurit pimpinan Rempeg Jagapati. Harapannya, musuh takut dan mundur hanya karena melihat lambang Sonangkara tersebut.
Fauzi mengatakan, Sonangkara sudah ada sejak sebelum tahun 1771. Lambang tersebut tetap dipertahankan para prajurit, kendati pimpinan mereka tewas dalam Pertempuran Bayu (Agustus 1771-Oktober 1772).
“Konon, perang Bayu merupakan perang yang paling merugikan Belanda saat berusaha menjajah Pulau Jawa. Perang Bayu membuat Belanda harus mengeluarkan dana hingga 8 ton emas batangan,” ujar Fauzi.
Setelah Jagapati tewas, para prajurit Sonangkara memilih berpencar dan bergerilya. Dalam gerilya itulah budaya tari Gandrung muncul dan merebak. Para prajurit menyaru sebagai penari Gandrung dari satu tempat ke tempat lain.
https://youtu.be/SERnIbwY0eQ
“Para prajurit menari dan menyanyi. Syair yang dinyanyikan merupakan syair-syair perjuangan. Biasanya akan ada penonton yang menangis. Mereka itu ternyata sesama prajurit yang bergerilya,” ujar Fauzi.
Pada tahun 1773 benteng terakhir Kerajaan Blambangan jatuh ke tangan Belanda. Pertempuran antara rakyat Blambangan dengan Belanda rampung. Pemerintahan Blambangan sepenuhnya dikuasai Belanda hingga akhirnya mereka membangun kota baru di Kuta Lateng.
Belanda akhirnya menjadikan Raden Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi. Pagelaran Gandrung Sewu tahun ini akan menceritakan penggalan terakhir kehidupan Mas Alit.
Mas Alit yang menjadi tokoh pemimpin masyarakat Banyuwangi saat itu merancang pertunjukan gandrung sebagai upaya tipu daya untuk melumpuhkan Belanda.
Gambaran kisah
Dalam pagelaran Gandrung Sewu tahun lalu, penonton diajak pergi ke latar waktu tahun 1782. Dengan tema \'Layar Kumendung\' penonton disuguhkan cerita pilu tentang perpisahan Bupati Mas Alit dengan rakyat Banyuwangi.
Mas Alit hendak pergi ke Semarang untuk menghadiri undangan Persekutuan Dagang Belanda VOC. Tahun ini, penonton akan kembali diajak pergi ke masa tersebut.
Namun, cerita difokuskan saat Bupati Mas Alit meninggalkan Banyuwangi dan sedang dalam perjalanan laut menuju Semarang. Dalam perjalanan itulah terjadi huru-hara di perairan sebelah utara Gresik. Dalam huru-hara tersebut Mas Alit tewas terbunuh.
https://youtu.be/22tzrzXxq-M
“Pagelaran selama 45 menit akan diawali dengan introduksi musik yang menggambarkan kepergian Raden Mas Alit dan prajurit ke Semarang. Kepergian ke Semarang merupakan bagian dari perjuangan dialogis mempertahankan wilayah Banyuwangi. Semangat perjuangan para prajurit Sonangkara digambarkan dengan adegan kipas kain merah putih,” tutur koreografer Gandrung Sewu, Dwi Agus Cahyono.
Pertunjukan dilanjutkan penampilan gandrung cilik yang digendong para prajurit. Lalu, dilanjutkan tarian gandrung klasik secara kolosal oleh 1.350 penari.
Pada bagian drama konflik, digambarkan Prajurit Sonangkara melakukan serangan terhadap kapal berbendera VOC. Ternyata, kapal tersebut merupakan kapal yang dinaiki Raden Mas Alit. Huru-hara itu menyebabkan Raden Mas Alit terbunuh.
“Setelah itu, para prajurit menyerahkan duplikat baju kebesaran Raden Mas Alit kepada Bupati Banyuwangi saat ini Abdullah Azwar Anas. Pagelaran ditutup dengan tari Jejer Kembang Menur,” kata Dwi.
Syair dalam tembang Kembang Menur berbunyi: “Kembang menur, kembang melati. Kadung riko ngaku sedulur gadugno ning jero ati. (Bunga menur, bunga melati. Kalau kamu mengaku saudara, lakukan itu dengan sepenuh hati, jangan hanya di mulut saja)”.
Melalui tembang tersebut, para penonton diajak merajut rasa persaudaran. Semangat tersebut tidak hanya menjadi slogan, tetapi juga agar dihidupi sepenuh hati dalam setiap tindakan.
Suguhan berbeda
Sebagai koreografer, Dwi meyakinkan, pagelaran tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak hanya berbeda tema dan dibawakan oleh personel yang lebih banyak, Gandrung Sewu tahun ini diharapkan membawa nuansa baru.
“Kami ingin benar-benar menyuguhkan pertunjukan tari Gandrung secara kolosal. Oleh karena itu, porsi untuk tarian akan lebih banyak. Tahun ini, 30 persen merupakan drama, sedangkan 70 persennya tarian Gandrung,” tuturnya.
Tak main-main, Tari Gandrung yang akan dibawakan merupakan tari gandrung klasik yang jarang dibawakan. Bahkan, Dwi harus melakukan riset dengan mendatangi sejumlah maestro Gandrung untuk mendapatkan tarian itu.
Beberapa Maestro yang ia datangi, antara lain Gandrung Temu Misti, Gandrung Poniti, dan Gandrung Supinah. Dari sana ia mendapat informasi ada Tari Gandrung Ukir Kawin dan Tari Gandrung Opak Apem yang sangat jarang ditampilkan. Selama ini, gandrung yang paling banyak dibawakan adalah Tari Jejer Gandrung dan Pacu Gandrung.
“Dalam musik, kami untuk pertama kali akan membawa gamelan kromatis (12 nada dengan jarak ½). Sebelumnya, kami membawa gamelan pelog dan slendro,” tutur Dwi.
Pria yang tahun lalu juga berperan dalam Gandrung Sewu itu menuturkan, tahun ini kembali menggandeng seniman lawak tradisional Ali ‘Kenthus’ Murtopo sebagai bagian dari kejutan. Cak Kenthus akan memberi wejangan khusus yang masih dirahasiakan.
Tahun lalu, pesan yang disampaikan Cak Kenthus menjadi viral dan diapresiasi banyak pihak karena menyuarakan keseimbangan antara agama, budaya, dan pendidikan. Pesan itu diserukan di tengah penolakan sejumlah kelompok yang menolak pertunjukan Gandrung Sewu.
“Dengan ilmu, hidup kita lebih mudah. Dengan seni, hidup lebih indah. Dengan agama, hidup lebih terarah,” pesan Cak Kenthus tahun lalu. Bagaimana dengan tahun ini? Selamat menikmati keindahan dan daya magis Gandrung Sewu.