Jalan Panjang Perlawanan
Sejumlah musisi Tanah Air meneriakkan perlawanan mereka dari atas panggung musik Synchronize Festival 2019 pada 4-6 Oktober di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta.
Lagu cinta boleh saja abadi dan tak pernah mati. Namun, di saat kondisi bangsa dan negara tengah genting, lagu cinta tak bisa jadi solusi. Sejumlah musisi Tanah Air meneriakkan perlawanan mereka dari atas panggung musik Synchronize Festival 2019 pada 4-6 Oktober di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta.
Dari rangkaian tiga hari helatan Synchronize, hari kedua merupakan hari yang paling panas. Dari deretan penampil, tercatat band-band yang selama ini kerap lantang melontarkan kritik di atas panggung. Dimulai dari Sinten Remen, Navicula, hingga Efek Rumah Kaca. Di pengujung malam juga tampil Seringai.
Kehadiran mereka di Synchronize menjadi semakin relevan karena menjelang penyelenggaraan Synchronize Festival 2019 yang merupakan festival musik lintas genre dan lintas generasi besutan label Demajors ini, rangkaian aksi unjuk rasa terhadap DPR sempat membayangi. Penggagas Synchronize Festival, David Karto, sempat ketar-ketir.
”Kalau dibilang ketar-ketir, ya, sempat juga. Tapi kami berjalan terus aja, sih. Dari pemerintah juga belum ada warning serius. Patokan kami di situ saja,” ujar David beberapa saat menjelang festival.
Pada hari kedua Synchronize, band-band yang selama ini lekat dengan kritik terbukti lantang melontarkan sejumlah isu aktual dari atas panggung. Selain terkait kondisi perpolitikan di Indonesia, juga kepedulian mereka terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup yang juga menjadi tema Synchronize Festival kali ini.
Kamu teriak-teriak, kami yang masuk penjara. Sekarang pasalnya dah ada. Main di sini aja masih deg-degan. Zaman sekarang dipilih lima tahun, cuma omong doang. Dipilih lima tahun mendekati akhir bikin pasal-pasal yang membingungkan kita.
”Kamu teriak-teriak, kami yang masuk penjara. Sekarang pasalnya dah ada. Main di sini aja masih deg-degan. Zaman sekarang dipilih lima tahun, cuma omong doang. Dipilih lima tahun mendekati akhir bikin pasal-pasal yang membingungkan kita,” lontar Djaduk sebelum lanjut membawakan ”Omdo”.
Penonton berjoget dan berteriak kegirangan.
Iwan Fals yang tak ada dalam daftar penampil nyatanya tampil sebagai kejutan pada Sabtu malam. Meski tak banyak yang tahu, panggung tempat Iwan tampil di Dynamic Stage luber dengan penonton. Mayoritas anak-anak muda. Mereka hafal di luar kepala lagu-lagu Iwan hingga sepanjang penampilan Iwan tak pernah sepi koor penonton.
Suasana memanas saat Iwan menyuguhkan ”Surat Buat Wakil Rakyat”. Lagu ini ada di album Wakil Rakyat, dirilis tahun 1987, dan meledak menjelang pemilihan umum saat itu karena lagu ”Surat Buat Wakil Rakyat” berkisah tentang wakil rakyat yang kerap tidur di waktu sidang dianggap menghina pejabat negara. Lagu ini juga sempat dicekal, tidak boleh ditayangkan di televisi karena dianggap mengganggu stabilitas politik.
Spanduk dengan tagar ”Reformasi Dikorupsi” berkibar di antara penonton. Di atas panggung, Iwan juga lantas meneriakkan ”Reformasi Dikorupsi”. Iwan pun menyampaikan pesannya untuk ketua DPR terpilih, Puan Maharani.
”Baru dilantik udah enggak komplet,” sindir Iwan. ”Mbak Puan kalau anggotanya tidur lempar pakai palu ketimbang dilempar sama kita,” tambah Iwan sebelum menyanyikan ”Surat Buat Wakil Rakyat”.
Seperti ini penggalan liriknya, ”Wakil rakyat seharusnya merakyat/Jangan tidur waktu siding soal rakyat/Wakil rakyat bukan paduan suara/Hanya tahu nyanyian lagu setuju”.
Pelemahan KPK
Menjelang tengah malam, tampil band grunge asal Bali, Navicula, memanaskan Lake Stage. Salah satu lagu yang dibawakan Navicula tentu saja ”Mafia Hukum”. Lagu ini juga dibawakan Navicula saat tampil di Synchronize tahun lalu.
Simak penggalan liriknya, ”Korupsi Korupsi kata ini lagi/Selalu menghantui negeri yang frustasi/Korupsi Korupsi semakin menjadi/Apapun terjadi diatas transaksi”.
Kali ini, ”Mafia Hukum” kembali dibawakan dengan bintang tamu Dandhy Laksono di posisi gitar rhythm.
Dandhy sebelumnya diciduk polisi karena dianggap menyebarkan kebencian berdasar SARA terkait kasus Papua. Dandhy kemudian dilepas, tetapi ditetapkan sebagai tersangka, dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menghadirkan Dandhy yang dikenal sebagai sosok kontroversial bagi Navicula tidak masalah. ”Kita suka yang kontroversial. Itu kan asas demokrasi, kan. Kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, sepanjang itu dilakukan dengan bertanggung jawab. Tapi, kali ini, selain dia sebagai aktivis dan pembuat film dokumenter, yang kita pikir sangat diperlukan kehadirannya di Indonesia, yang saat ini masih minim film dokumenter yang kritis, tapi dia juga seorang gitaris,” tutur Robi, mengajak Dandhy ke atas panggung.
Sebelum menggeber ”Mafia Hukum”, Robi lantang berteriak, ”Terjadi pelemahan untuk satu institusi, satu lembaga. Dan kini banteng terakhir di mana ancaman bagi negeri ini bukan ancaman dari luar. Tapi ancaman bagi negara ini adalah saat rakyat tidak percaya lagi kepada pemerintah. KPK adalah banteng alasan mengapa kita masih percaya kepada negara. Dan banteng itu kini telah hancur.”
Isu penolakan terhadap upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga lantang disuarakan Efek Rumah Kaca (ERK) yang tampil beririsan dengan Navicula. Sebelumnya, Cholil berjanji bahwa ERK akan membawakan lagu-lagu yang terutama berlirik kritik sosial. Hal itu menurut dia juga untuk sekaligus mewakili kegelisahan dan kekecewaan ERK. Terutama soal apa yang mereka yakini sebagai upaya melemahkan KPK.
”Buat kami, upaya pemberantasan korupsi oleh KPK sangat penting buat demokrasi. Dengan begitu, kami menilai upaya pelemahan KPK juga sebagai upaya melemahkan demokrasi di Indonesia. Kami mengikuti jejak para tokoh yang meminta Presiden Jokowi segera menerbitkan perppu. Kami sedih kalau perppu tidak dikeluarkan,” tutur Cholil.
Saat tampil di malam kedua Synchronize, ERK membentangkan poster besar warna hitam bertuliskan ”#reformasidikorupsi”. Beberapa lagu yang mereka bawakan juga sarat dengan kritik tajam serta pesan moral, termasuk tentang pentingnya pemberantasan korupsi.
”Melalui musisi yang diidolakan masing-masing masyarakat bisa menyuarakan atau merasa terwakili aspirasinya. Yang jelas, kami (musisi) selalu berusaha untuk punya sensitivitas tinggi terhadap apa yang tengah terjadi di masyarakat sekitar,” ujar Dadang Pranoto yang menggawangi Navicula sekaligus Dialog Dini Hari.
Menurut Dadang, undang-undang seharusnya dibuat serelevan mungkin dengan keadaan sosial masyarakat. Dengan begitu, ketika sebuah aturan undang-undang dinilai sudah tak masuk akal, tak ada lagi gunanya dipertahankan.
”Belakangan ini pemerintah banyak membuat blunder aturan hukum, seperti terkait KPK dan KUHP. Sebagai musisi, kami punya kebebasan dan punya banyak tempat untuk bisa menyuarakan apa yang terjadi di masyarakat. Jadi, bukannya kami mencari momen untuk masuk, melainkan bagaimana membicarakan masalah yang ada sekarang,” ujar Dadang.
Terkait dengan UU KPK dan RUU KUHP, Dadang menilai, ada semacam rencana tingkat tinggi yang teledor, sementara di sisi lain masyarakat juga sudah sangat pintar dan waspada. Aksi unjuk rasa oleh mahasiswa juga dia nilai mewakili masyarakat lantaran mengusung keberatan mereka terkait dua isu tersebut. Kalau sudah begini, lagu cinta tak akan cukup.