Radikalisme terus berkembang secar masif, bahkan ditanamkan sejak dini kepada anak-anak sekolah dasar. Untuk melawan paham itu, gerakan kebudayaan harus diperkuat.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·3 menit baca
SOLO, KOMPAS — Radikalisme terus berkembang secara masif, bahkan ditanamkan sejak dini kepada anak-anak sekolah dasar. Untuk melawan paham itu, gerakan kebudayaan harus diperkuat.
Hal itu disampaikan Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo Pr dalam seminar kebangsaan bertema ”Pancasila di Tengah-tengah Radikalisme” yang digelar Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Solo dan Badan Pengurus Pusat Yayasan Ignatius Joseph Kasimo Jakarta, di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (12/10/2019). Turut menjadi narasumber dalam seminar ini ialah peneliti senior CSIS J Kristiadi dan Rektor Universitas Cenderawasih, Jayapura, Apolo Safanpo.
Menurut Benny, Indonesia menghadapi darurat radikalisme. Paham tersebut telah masuk ke dunia pendidikan, bahkan ditanamkan kepada anak-anak mulai dari sekolah dasar. Radikalisme bertumbuh dan berkembang cepat karena pengaruh digitalisasi. Penyebarannya memanfaatkan gawai, berupa tablet ataupun telepon cerdas.
”Radikalisme itu tidak berdiri sendiri. Radikalisme itu akibat dari tata dunia yang tidak beradab, tidak adil, tata dunia yang dipenuhi permusuhan, tata dunia yang dipenuhi marjinalisme, dan cara melihat agama hanya dalam bahasa satu kebenaran,” ujarnya.
Menurut Benny, kebudayaan menjadi salah alat dan benteng untuk melawan radikalisme. Karena itu, gerakan kebudayaan harus diperkuat. Tradisi-tradisi yang telah ada di masyarakat, misalnya bersih desa, selamatan, larung, dan tradisi-tradisi lain, harus dihidupkan kembali. ”Itulah benteng kekuatan menghadapi radikalisme. Mereka takut kalau tradisi itu kuat,” lanjutnya.
Mereka takut kalau tradisi itu kuat.
Benny menambahkan, budaya-budaya lokal harus ditampilkan kembali dengan cara memberi kemasan baru agar tidak terkesan kuno dan menarik bagi anak-anak muda. Kreativitas seni budaya anak-anak muda yang bersifat masal harus ditampilkan. Pusat-pusat kebudayaan juga perlu dibangun.
Melalui aktivitas kebudayaan itu, sikap dan tindakan seseorang akan menjadi lebih halus dan saling menghargai perbedaan. ”Menghadapi kekerasan dengan hanya kekerasan itu enggak mungkin,” katanya.
Pendidikan karakter
Benny menambahkan, radikalisme juga harus dilawan dengan menerapkan pendidikan kritis dan pendidikan karakter. Melalui pendidikan kritis, seseorang tidak akan mudah dipengaruhi paham radikal.
Untuk pendidikan karakter, BPIP sudah menyiapkan materi pendidikan karakter bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karakter yang akan ditanamkan antara lain menghargai perbedaan dan mencintai keindonesiaan.
Benny menyebutkan, penanaman ideologi Pancasila untuk melawan radikalisme tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara lama, seperti penataran. Namun, harus juga memanfaatkan teknologi digital, misalnya membangun aplikasi khusus tentang penerapan nilai-nilai Pancasila. ”Pancasila itu nilai-nilanya harus diaplikasikan dengan menggunakan dunia digital,” katanya.
Paradigma sentral pendidikan negara ini adalah mendidik orang-orang memiliki karakter untuk hidup bersama dalam perbedaan.
Kristiadi mengatakan, radikalisme atau unsur konservatisme sudah masuk ke Indonesia selama 30 tahun dan telah melahirkan kader-kader yang sangat militan. Negara harus melawan radikalisme dengan melibatkan kekuatan masyarakat.
Negara harus melawannya melalui politik pendidikan. ”Negara harus mempunyai politik pendidikan. Maksudnya bahwa paradigma sentral pendidikan negara ini adalah mendidik orang-orang memiliki karakter untuk hidup bersama dalam perbedaan,” ucapnya.
Apolo menambahkan, negara Indonesia dilahirkan berdasarkan kesepakatan. Pancasila menjadi sebuah pengikat dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”Maka, kewajiban kita menjaga, merawat, dan memelihara Pancasila,” katanya.