Hari pertama selalu saja bisa dipakai sebagai momentum. Momentum yang tercipta harus dimanfaatkan dan dipelihara untuk menumbuhkan harapan. Harapan untuk lebih baik.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·3 menit baca
Hari pertama selalu saja bisa dipakai sebagai momentum. Momentum yang tercipta harus dimanfaatkan dan dipelihara untuk menumbuhkan harapan. Harapan untuk lebih baik. Harapan untuk menggapai impian kemerdekaan.
Begitu juga halnya dengan momentum pelantikan 575 anggota DPR 2019-2024, 1 Oktober 2019. Terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR perempuan pertama adalah momentum. Sama halnya juga dengan pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada Minggu 20 Oktober 2019.
Pasangan capres-cawapres Jokowi-Jusuf Kalla dan kemudian dilanjutkan Jokowi-Amin adalah wujud kepemimpinan sipil pertama setelah reformasi yang bisa menggenapkan periode pemerintahan selama lima tahun.
Ketika momentum tercipta, pekerjaan rumah berikutnya adalah bagaimana memanfaatkan momentum itu. Saat pelantikan anggota DPR, Selasa 1 Oktober 2019, seorang politisi senior berkirim pesan lewat Whatsapp. Pesan Whatsapp itu sebagai respons atas ucapan selamat yang diterimanya. Purnawirawan TNI berpangkat mayor jenderal itu, kini meniti karier sebagai anggota DPR.
Dia menulis pesan demikian, ”sahabat dan para senior. Terima kasih atas doa dan ucapan selamatnya. Semoga anggota DPR kali ini lebih baik dari sebelumnya. Walaupun jujur saya pesimistis. Bagaimana mau baik kalau paripurna pada hari pertama saja yang hadir kurang dari 300 orang? Ini saya bandingkan dengan DPR masa bakti 2009/2014 dan 2014/2019. Saat itu pada tahun pertama masih ramai”, tulisnya.
Curhat politisi senior itu bisa mewakili perasaan publik. Momentum pelantikan hari pertama seharusnya menimbulkan harapan. Namun, yang ramai di media sosial justru isu pinggiran, termasuk kosongnya kursi DPR. Isu privat mengemuka dalam panggung politik. Padahal, publik berharap peta jalan bagaimana DPR modern yang pernah dikatakan Ketua DPR Puan Maharani akan diwujudkan.
Politisi itu meneruskan pesannya. ”Modal anggota legislatif itu kan kehadiran. Dalam kehadiran itu, kita parle (bicara) ... kalau kehadiran hanya diukur dengan jumlah tanda tangan. Kalau kuorum itu hanya dihitung dengan tanda tangan, lalu siapa yang bicara ide? Bicara kepentingan publik,” tulisnya.
Modal anggota DPR memang berbicara. Namun, berbicara bukan hanya soal berdebat atau malah menyerang dan merendahkan lawan bicara. Berbicara secara beradab. DPR harus juga mau mendengar aspirasi rakyat dan punya keadaban pula ketika berbicara. Berbicara sebagai DPR adalah an exertion of power, mengerjakan kekuasaan, mengolah kekuasaan, dan mengarahkan kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kuasa wicara (the power of speech) harus dimanfaatkan untuk kepentingan konstituen, kepentingan masyarakat bangsa.
Menjadi pekerjaan rumah bagi pimpinan DPR memelihara momentum. Momentum menjadikan DPR modern. DPR dan anggota DPR yang lebih akuntabel terhadap pemilih di daerah pemilihannya. Anggota DPR yang always online berinteraksi dengan pemilihnya, minimal di daerah pemilihan. Melalui teknologi digital, semua itu bisa dilakukan. Para pemilih juga membutuhkan informasi mengenai posisi politik dari anggota DPR terhadap isu tertentu. Rekaman pada saat pemungutan suara (voting record) menjadi sesuatu yang penting.
Kisruh legislasi di ujung periode DPR 2014-2019 adalah pelajaran berharga. Bagaimana DPR ke depan lebih awal menyosialisasikan program legislasi yang sedang dibahasnya. Bagaimana DPR mengelola ”kebuntuan” RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, ataupun revisi UU KPK yang masih menjadi kontroversi. Begitu juga halnya dengan RUU Ketenagakerjaan yang bisa menimbulkan kontroversi baru.
Memanfaatkan momentum juga menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin. Konsolidasi politik menjadi penting, setelah nanti kabinet baru terbentuk. Para menteri harus langsung bekerja dan tidak direpotkan dengan perubahan nomenklatur kementerian atau penggabungan kementerian. Apalagi, tantangan ada di depan mata. Pelambatan ekonomi di depan mata. Kisruh legislasi berada di depan Istana. Perubahan nomenklatur kementerian akan memakan waktu lama untuk konsolidasi birokrasi, termasuk urusan ganti kop surat.
Ketenangan elite politik saat ini bisa berubah ketika formasi kabinet diumumkan. Ketika kabinet tak sesuai ekspektasi—dalam teori politik tiada kawan dan lawan abadi selain kepentingan—ketenangan bisa berubah menjadi dinamika politik baru. Bangsa ini membutuhkan harapan. Tidak perlu memproduksi berlebihan program di luar janji kampanye, seperti pemindahan pusat pemerintahan atau amendemen konstitusi. Isu itu sejauh ini tidak pernah disampaikan dalam panggung kampanye. Tak perlu juga membuka kamar negosiasi terlalu banyak karena itu bisa menghilangkan momentum hari pertama.