Pemberian Nobel Sastra 2018 dan 2019 masing-masing kepada Olga Tokarczuk dan Peter Handke membuka kembali ingatan publik tentang luka lama akibat konflik ideologi dan politik. Yang menarik, Handke dan Tokarczuk berdiri di kubu yang berbeda, bahkan berseberangan.
Akademi Swedia mengumumkan nama Tokarczuk dan Handke sebagai peraih Nobel Sastra 2018 dan 2019, Kamis (10/10/2019) siang waktu Stockholm, Swedia. Lembaga independen itu menjelaskan, Tokarczuk pantas menerima Nobel Sastra 2018 karena imajinasi naratifnya yang penuh hasrat ensiklopedis, mampu melintasi batas-batas kehidupan. Sementara itu, Handke dianugerahi Nobel Sastra 2019 karena kecerdikannya dalam berbahasa berhasil mengeksplorasi batas-batas luar dan kekhususan pengalaman manusia.
Alih-alih memperdebatkan ukuran-ukuran sastrawi yang digunakan Akademi Swedia dalam menentukan dua pemenang itu, publik justru menyoroti sosok sang pemenang dengan nada yang berbeda. Hal ini tidak bisa dihindari karena Tokarczuk dan Handke berada di dalam pusaran persaingan politik.
Tokarczuk dikenal sebagai aktivis sayap kiri. Ia gigih melawan konservatisme politisi sayap kanan yang sedang berkuasa di Polandia. Sementara itu, Handke dikenal sebagai pengagum Slobodan Milosevic, politisi ultrakanan yang menjadi aktor pembantaian etnis di negara-negara pecahan Yugoslavia pada era 1990-an.
Kemenangan Tokarczuk serta-merta menjadi polemik di Polandia, apalagi Nobel diberikan hanya tiga hari sebelum pemilu nasional Polandia digelar, Minggu (13/10/2019). Bagi kelompok kiri, kemenangan Tokarczuk memberikan dorongan moral tambahan terhadap perjuangan mereka. Sebaliknya, bagi kelompok konservatif, kemenangan itu bagai sebuah tantangan karena bagaimanapun Tokarczuk adalah tokoh populer di Polandia.
Jumat (11/10/2019), Tokarczuk mengatakan, kemenangannya merepresentasikan kesempatan Polandia untuk memperbaiki demokrasi meski pemilu akan melempangkan jalan bagi partai sayap kanan untuk melanjutkan kekuasaannya. Survei menunjukkan, pemilu besok telah diatur untuk kemenangan Partai Keadilan dan Hukum (PiS) yang berkuasa.
Meski begitu, ia tidak memanfaatkan kemenangannya untuk mengampanyekan perlawanan terhadap penguasa. Ia justru meminta pendukungnya tetap datang ke tempat pemungutan suara dan menggunakan suaranya dengan baik. Terlepas dari persoalan politik, lanjut Tokarczuk, ”masih ada sesuatu yang bisa dibanggakan Polandia kepada dunia”.
Beberapa pejabat Polandia memberikan ucapan selamat dan menyatakan kemenangan Tokarczuk penting bagi pengembangan sastra di Polandia. Namun, ucapan selamat itu terdengar seperti basa-basi karena pemimpin PiS Jaroslaw Kaczynski baru saja pekan lalu menyatakan, para pembuat film dan seniman elite adalah musuh mereka. Mereka dituduh telah menghancurkan reputasi Polandia dengan mengangkat keterlibatan negara itu dalam pembunuhan terhadap kaum Yahudi selama Perang Dunia.
Sisi gelap
Sebelum terjun sebagai penulis, Tokarczuk adalah seorang psikolog. Dia baru memublikasikan novel pertamanya pada 1993. Tiga tahun kemudian, ia mulai membuat terobosan dengan menerbitkan novel Primeval and Other Times yang bercerita tentang sebuah desa yang mistis. Novel itu sekaligus melacak sisi gelap sejarah Polandia dari Perang Dunia I hingga tahun 1980-an. Sebuah episode sejarah yang berusaha ditutupi penguasa selama bertahun-tahun.
Untuk melawan ”sejarah resmi” versi penguasa, karya-karya Tokarczuk berusaha merayakan masa lalu Polandia di mana berbagai budaya dan agama bisa melebur dan hidup berdampingan. Itu terjadi sebelum era Nazi Jerman dan pemindahan populasi etnis tertentu secara besar-besaran pascaperang. Warna seperti itu ada dalam novel Flights yang tahun lalu memenangi Man Booker International Prize.
”Saya percaya pada novel. Saya kira novel adalah sesuatu yang menakjubkan. Ini adalah cara untuk berkomunikasi secara dalam, melampaui batas-batas, di atas bahasa, di atas budaya. Novel mengajarkan kita soal empati,” kata Tokarczuk yang menjadi perempuan ke-15 yang meraih Nobel Sastra. Jumlah yang sangat sedikit mengingat pemenang Nobel Sastra secara keseluruhan ada 116 orang.
Selain lewat karya, ia melawan lewat pernyataan. Dalam sebuah wawancara di televisi tahun lalu, Tokarczuk berujar, ”Polandia selalu berusaha membangun citra sebagai pihak yang selamat dari penindasan (ketika Perang Dunia). Tapi, Polandia sendiri melakukan tindakan mengerikan dalam sejarahnya, yakni melakukan kolonisasi.”
Pernyataannya membuat kelompok konservatif meradang. Mereka lantas memberi cap targowiczanin atau pengkhianat kepada Tokarczuk. Ia juga diancam akan dibunuh. Sejak saat itu, ia terpaksa pergi ke mana-mana diiringi pengawal yang disewa penerbit buku-bukunya.
Peter Handke
Jika kemenangan Tokarczuk menjadi polemik di Polandia, kemenangan Peter Handke memicu polemik di banyak negara. Betapa tidak, laki-laki asal Austria ini sebelumnya dikenal sebagai pengagum dan pembela fanatik Slobodan Milosevic, pemimpin Serbia yang menjadi otak pembersihan etnis di negara-negara pecahan Yugoslavia pada era 1990-an.
Handke berkali-kali membantah pembersihan etnis terjadi di Srebrenica, Bosnia, di mana 8.000 dibantai tentara Serbia pada 1995. Buat dia, kejadian itu tak pernah ada. Posisi sebagai pembela Milosevic semakin paripurna di mata publik ketika ia hadir pada pemakaman Milosevic yang meninggal di sel tahanannya selama diadili sebagai penjahat perang dan penjahat atas kemanusiaan di Den Haag, Belanda, pada 2006. Ia bahkan memberikan pidato di tengah-tengah pengikut Milosevic yang sedang berduka.
Kemenangan Handke tak pelak membuka luka lama yang berusaha dikubur oleh para keluarga korban pembantaian itu. Sehari setelah pengumuman Handke sebagai pemenang Nobel Sastra, gelombang kemarahan muncul di Kosovo dan Bosnia. Publik di kedua negeri itu mempertanyakan mengapa pendukung fanatik ”seorang monster” bisa diberikan Nobel. ”Penggemar Milosevic dan penyangkal genosida mendapat Nobel Sastra. Bagaimana bisa,” ujar Suljagic, profesor hubungan internasional asal Sarajevo.
Reaksi keras juga datang dari lembaga PEN America yang mengecam keras keputusan Akademi Swedia yang memberikan Nobel kepada Handke. ”PEN America umumnya tidak mengomentari penghargaan sastra yang diberikan lembaga lain. Kami mengakui keputusan-keputusan seperti itu bersifat subyektif dan kriterianya tidak seragam. Namun, pemberian Nobel Sastra 2019 hari ini kepada Peter Handke adalah pengecualian,” ujar Presiden PEN America sekaligus pemenang Pulitzer, Jennifer Egan.
”Kami menolak keputusan ini. Penulis yang secara terus-menerus mengajukan pertanyaan tentang kejahatan perang tidak layak untuk dirayakan hanya karena alasan kecerdikan linguistiknya,” tambah Egan. Di tengah riuhnya kecaman, Handke akhirnya tergerak bicara. Dia dengan enteng mengaku heran bisa mendapat Nobel. ”Ya, saya heran. Akademi Swedia sangat berani membuat keputusan seperti ini,” ujarnya di rumahnya di luar kota Paris.
Sebelumnya, Handke mengaku tidak pernah berharap bisa memenangi Nobel. Kepada The New York Times pada 2006 ia mengatakan tidak peduli apakah akan mendapat Nobel atau tidak. ”Saya pikir (kesempatan itu) sudah selesai sejak saya mengekspresikan pendapat saya tentang Yugoslavia,” katanya. (AFP/REUTERS/THE GUARDIANS/ ALJAZEERA)