Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang diundangkan pada 2 Juli 2019 dinilai mempertahankan penempatan pekerja berbiaya mahal.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang diundangkan pada 2 Juli 2019 dinilai mempertahankan penempatan pekerja berbiaya mahal. Hal ini akan berdampak buruk bagi calon pekerja migran.
Ketua Pusat Studi Migrant Care Anis Hidayah, di Jakarta, Jumat (11/10/2019), mencontohkan Pasal 7 peraturan tersebut. Isinya, pekerja harus melalui sepuluh tahap sebelum penempatan, antara lain pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pengurusan visa kerja, dan orientasi prapenempatan.
Saat pemeriksaan kesehatan dan psikologi, sesuai Pasal 12 Ayat 1 (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan/Permenaker 9 Tahun 2019), calon pekerja bisa didampingi oleh agen Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Anis berpendapat, hal itu membuka peluang bisnis baru bagi agen.
Soal orientasi prapenempatan, menurut Anis, sebenarnya tidak diatur di Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia karena dianggap membuka ruang bisnis. Selain itu, sesuai amanat UU 18/2017, tanggung jawab agen swasta P3MI setidaknya juga mencakup mencari peluang kerja, menempatkan, dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi pekerja migran. Tanggung jawab ini sesuai ketentuan UU 18/2017.
”Artinya, Permenaker itu menyalahi amanat UU. Publik tidak diikutsertakan dalam pembahasannya. Kami hanya mengetahui (isi Permenaker) saat Permenaker sudah terbit,” kata Anis.
Pemerintah hingga sekarang juga masih memberlakukan permenaker tentang total biaya komponen pemberangkatan yang dibebankan kepada pekerja migran Indonesia. Padahal, peraturan yang dimaksud dikeluarkan tahun 2004 hingga 2012.
Selama pelaksanaan peraturan itu, kata Anis, banyak terjadi perbedaan. Misalnya, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 98 Tahun 2012 menyebutkan, total biaya komponen yang dibebankan kepada pekerja migran tujuan Hong Kong Rp 14,78 juta. Realitas di lapangan bisa membengkak di atas nilai itu.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagekerjaan Eva Trisiana, saat dikonfirmasi, menyatakan, ada perbedaan substansi signifikan penempatan pekerja migran melalui swasta P3MI antara Permenaker 9/2019 dan Permenaker 22/2014 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri.
Dalam Permenaker 9/2019, calon pekerja wajib mendaftarkan diri di layanan terpadu satu pintu atau dinas ketenagakerjaan dan mempunyai sertifikat kompetensi kerja. Dengan kata lain, ada pemisahan antara proses pelatihan, sertifikasi kompetensi, dan proses penempatan. Hal ini sejalan dengan amanat UU 18/2017.
”Fungsi P3MI tidak lagi hulu ke hilir, yakni merekrut, melatih, dan menempatkan. P3MI hanya menempatkan calon pekerja migran yang sudah mempunyai sertifikat kompetensi,” kata Eva.
Eva mengakui, ada sejumlah calon pekerja pada sektor pekerjaan tertentu yang mempunyai keterbatasan saat mengurus dokumen persyaratan secara mandiri. Oleh karena itu, dalam Permenaker 9/2019 disebutkan, pihak P3MI dapat membantu mereka, misalnya mengurus tes psikologi, visa kerja, dan orientasi prapenempatan.
Terkait revisi struktur nilai biaya komponen penempatan, peraturannya akan dibuat setelah ada badan baru untuk melaksanakan kebijakan pelindungan pekerja migran Indonesia.
Ketua Presidium Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATKI) Saiful Mashud, yang dihubungi secara terpisah, berpendapat, Permenaker 9/2019 tidak menyebutkan struktur komponen biaya penempatan yang harus dibayar oleh pekerja. Dengan demikian, dia tidak bisa menyimpulkan apakah beban pekerja tetap berat atau menjadi ringan.
Asosiasi menyoroti dokumen persyaratan wajib yang dipenuhi oleh calon pekerja. Salah satu bentuk dokumen adalah sertifikasi kompetensi kerja. ASPATKI menyambut positif persyaratan wajib itu. Artinya, calon pekerja yang pendaftarannya diterima hanya mereka yang kompeten dibuktikan dengan sertifikat kompetensi kerja.
Dalam Pasal 40a UU 18/2017 disebutkan, pemerintah daerah provinsi memiliki tugas dan tanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan dan pelatihan kerja milik pemerintah ataupun swasta terakreditasi. Meski sejalan dengan Permenaker 9/2019, menurut Saiful, pelatihan oleh pemerintah akan sulit.
ASPATKI berharap pemerintah konsisten menjalankan peraturan yang sudah dibuat. Hal ini penting untuk memberikan kepastian.