Perkuat Sistem Presidensial dengan Mendesain Ulang Pemilu
Penyelenggaraan pemilu serentak 2019 dengan sistem proporsional terbuka dinilai menjadi penyebab utama kemunculan sejumlah masalah.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan pemilu serentak 2019 dengan sistem proporsional terbuka dinilai menjadi penyebab utama kemunculan sejumlah masalah. Mulai dari biaya politik yang tinggi, maraknya praktik politik uang, hingga kegagalan penyederhanaan sistem kepartaian. Redesain sistem pemilu perlu dilakukan segera agar sistem presidensial yang efektif dapat terwujud.
Valina Singka Subekti menyampaikan hal itu dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), di Jakarta, Sabtu (11/10/2019). Dalam acara itu, suami Valina, Imam Subekti, juga dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran UI.
Acara pengukuhan dihadiri sejumlah tokoh. Selain Rektor UI Muhammad Anis, hadir pula Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir, Ketua KPU Arief Budiman, Ketua Bawaslu Abhan, Ketua MPR 2014-2019 Zulkifli Hasan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Valina mengatakan, pemilu merupakan pintu masuk dari seluruh dinamika politik dalam negeri. Oleh karena itu, dibutuhkan rekayasa sedemikian rupa untuk menciptakan sistem penyelenggaraan yang mampu meningkatkan kualitas demokrasi.
Salah satunya, pemilu harus bisa menghasilkan sistem kepartaian sederhana. Dengan kata lain, jumlah partai politik pascapemilu tak lebih dari lima partai. ”Desain pemilu pun harus mudah dilaksanakan dan berbiaya rendah untuk memutus mata rantai praktik politik transaksional,” kata Valina.
Menurut Valina, sejumlah tujuan itu bisa dicapai dengan menerapkan sistem proporsional tertutup. Artinya, mengubah sistem pemilu saat ini yang memilih langsung calon presiden/wakil presiden atau calon anggota legislatif (candidacy centered) menjadi memilih partai saja (party centered).
”Sistem pemilu proporsional tertutup dapat dipertimbangkan kembali sebagai salah satu alternatif untuk digunakan dalam pemilu serentak 2024,” ujar Valina.
Dia mengusulkan agar sistem proporsional tertutup diterapkan dengan tiga terobosan. Pertama, memperketat persyaratan bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Kedua, menyempitkan besaran daerah pemilihan (dapil), sejalan dengan pengurangan alokasi kursi di setiap dapil, yaitu dari 3-12 kursi menjadi 3-8 kursi per dapil. Terakhir, meningkatkan ambang batas parlemen dari 4 persen menjadi 5 persen.
Bagi Valina, penyederhanaan sistem kepartaian penting karena jumlah partai yang terlalu banyak dapat memperlemah sistem presidensial. Presiden terpilih bisa saja tidak berasal dari partai yang memiliki kekuatan mayoritas di parlemen sehingga kedua pihak berpotensi tak sejalan dalam merumuskan kebijakan. Perbedaan pandangan antara presiden dan parlemen juga berpotensi memperlambat pembuatan undang-undang.
Reformasi partai
Keberadaan partai politik saat ini dinilai tak sehat karena masih menunjukkan fenomena oligarki. Ada aliansi antara kekuatan ekonomi dan bisnis yang mendominasi arena kekuasaan dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, persiapan penyelenggaraan sistem proporsional tertutup yang berpusat pada partai harus dibarengi dengan reformasi di internal partai. Setiap partai perlu membangun sistem demokrasi internal yang terukur dan transparan.
Proses perekrutan, kaderisasi, dan pencalonan harus terbuka dan melibatkan pengurus partai mulai dari tingkat nasional hingga daerah serta masyarakat umum.
Pendanaan partai pun semestinya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Dengan prinsip keterbukaan itu, kekhawatiran bahwa sistem pemilu party centered akan melanggengkan oligarki partai semestinya bisa dikikis.
Serentak
Meski mengusulkan pengubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup, Valina mengatakan, konsep pemilu serentak lima kotak masih perlu dilakukan.
Artinya, pemilihan calon presiden/wakil presiden, DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tetap dilaksanakan secara bersamaan. Sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi mengenai konsep keserentakan pemilu.
Penyelenggaraan pemilu serentak sebenarnya juga bisa lebih efektif dan efisien jika pemanfaatan teknologi dioptimalkan. Oleh karena itu, lanjut Valina, ke depan, penggunaan sistem rekapitulasi suara elektronik tak bisa ditangguhkan.
Dekan FISIP UI Arie S Susilo mengatakan, gagasan Valina merupakan refleksi atas perjalanan sistem pemilu Indonesia. Valina setidaknya sudah 18 tahun menekuni bidang kepemiluan, baik sebagai akademisi maupun praktisi.
Arie pernah menjabat sebagai anggota KPU (2001-2007) dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (2012-2017).
Ide mengenai sistem proporsional tertutup bertujuan agar penyelenggaraan pemilu tepat sasaran. Penyelenggara dan pemilih pun tidak direpotkan dengan urusan teknis yang berbelit.
”Ide yang disampaikan Profesor Valina bisa jadi tidak mudah diimplementasikan, tetapi ini bisa menjadi masukan penting yang perlu dipertimbangkan seluruh pemangku kepentingan,” kata Arie.