Selamatkan Generasi Penerus dari Gangguan Mental
Anak adalah generasi penerus harapan bangsa. Namun, di negara yang memiliki banyak anak dan remaja yang mengalami gangguan mental, harapan yang ditanam seperti bangunan rapuh.
Anak adalah generasi penerus harapan bangsa. Namun, di negara yang memiliki banyak anak dan remaja yang mengalami gangguan mental, harapan yang ditanam seperti bangunan rapuh. Indonesia kini mesti waspada dengan kasus anak yang mengalami gangguan mental.
Mengacu pada laporan Data Kesehatan Dunia (Global Health Data Exchange) tahun 2017, prevalensi gangguan mental yang tertinggi di Indonesia berada di kelompok usia 15-19 tahun, yaitu 9,86 persen. Kelompok itu diikuti kelompok usia 10-14 tahun sebesar 9,25 persen.
Data mengenai anak atau remaja yang mengalami gangguan mental juga ditunjukkan hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat dalam Global School-Based Student Health Survey (GSHS) tahun 2015. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa 60,17 persen pelajar SMP-SMA di Indonesia diindikasikan mengalami gejala gangguan mental emosional.
Tingginya angka gangguan mental pada anak dan remaja ini bisa saja terjadi karena orangtua dan masyarakat abai atau tidak paham terhadap gejala yang terjadi. Mereka menganggap perubahan sikap dan perilaku sebagai hal yang lumrah dalam pertumbuhan anak. Perkembangan mental anak menjadi terabaikan.
Multifaktor
Pemicu gangguan kesehatan mental anak dan remaja meliputi berbagai faktor. Fase perkembangan masa remaja memang merupakan periode kritis dalam perkembangan seseorang. Dari masa kanak-kanak, seseorang menjadi remaja dan selanjutnya masuk ke masa dewasa awal.
Pada masa peralihan ini, terjadi perkembangan fisik, hormonal, psikologis, dan sosial yang cepat. Remaja mengalami masa pencarian jati diri dengan faktor psikologis dan sosial berperan dalam perkembangan emosi serta perilaku.
Dalam masa pencarian jati diri ini, remaja melakukan berbagai percobaan (trial and error) untuk membuktikan diri sebagai orang yang siap menjadi manusia dewasa. Mereka mulai berani mencoba hal baru dan berisiko, seperti mengonsumsi alkohol, narkoba, memiliki pacar, serta berbeda pendapat dan membantah orangtua.
Perkembangan teknologi dan digital yang pesat menambah tantangan baru bagi kehidupan remaja. Keberadaan gawai menjadi faktor signifikan yang memengaruhi perilaku. Bahkan, anak sudah mengenal gawai sejak berusia balita.
Mereka pun sangat mudah terpapar pengaruh buruk gawai karena sifatnya yang adiktif. Paparan negatif dari teknologi ini bisa dalam bentuk kecanduan gim, pornografi, ataupun ketidakmampuan mencerna informasi yang masif dari dunia maya dan media sosial, seperti berita hoaks yang bisa memengaruhi emosi dan perilakunya.
Selain penggunaan teknologi dan gawai, yang tak kalah membahayakan perkembangan mental anak adalah perundungan (bullying). Hal ini bisa terjadi baik secara verbal maupun non- verbal, yang diperoleh dari lingkungan sekolah atau pertemanannya.
Pemicu stres di usia ini lebih banyak, baik yang berasal dari sekolah, teman-teman, keluarga, tuntutan studi, maupun lingkungan. Adaptasi terhadap perubahan dapat menimbulkan stres akibat kemampuan kognitif yang belum terbentuk matang. Anak muda yang tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan perkembangan zaman rentan tergelincir dalam pelbagai persoalan sosial.
Meskipun tak berbeda jauh, anak laki-laki lebih rentan mendapat gangguan kejiwaan dibandingkan anak perempuan, yaitu 53,76 persen dibanding 46,24 persen. Kelompok usia 15-19 tahun merupakan yang paling banyak menderita gangguan jiwa untuk keduanya.
Cemas dan hiperaktif
Berdasarkan laporan Global Health Data Exchange tahun 2017, dari 10 jenis gangguan mental, tiga yang paling dominan dialami anak-anak dan remaja adalah gangguan perilaku (conduct disorders). Gangguan perilaku ini dialami hampir 30 persen anak dan remaja.
Urutan kedua adalah gangguan kecemasan (anxiety disorders) sebesar 25,18 persen. Adapun urutan ketiga ialah gangguan konsentrasi (attention deficit/hyperactivity disorder, sering disebut ADHD atau hiperaktif) yang dialami 12,19 persen anak usia 1-19 tahun.
Dari tiga jenis gangguan mental tersebut, separuh anak perempuan mengalami gangguan kecemasan. Mayoritas terjadi pada remaja usia 15-19 tahun. Pada anak perempuan, masalah-masalah mental ini dipengaruhi faktor hormonal saat masa pubertas sehingga anak perempuan mudah sensitif.
Adapun pada anak laki-laki, mereka umumnya mengalami gangguan perilaku (48,87 perilaku). Jenis gangguan konsentrasi, seperti hiperaktif, juga lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Anak yang mengalami gangguan perilaku memiliki pola menetap dan berulang, yang tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang dianut masyarakat atau norma sosial untuk rata- rata usianya. Gejala-gelajanya bisa ditunjukkan dengan perilaku sering berbohong, bolos dari sekolah, minggat dari rumah, suka berkelahi, menyulut pertengkaran, merusak barang milik sendiri dan orang lain, mencuri, serta melakukan kekerasan fisik kepada orang lain atau hewan.
Gangguan perilaku ini biasanya lebih sulit dideteksi, tak hanya karena karakteristiknya yang beragam dan tipe penyimpangannya berbeda-beda, tetapi juga karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai gejalanya. Orangtua perlu memberi perhatian khusus jika memiliki anak kecil sampai usia pubertas yang menunjukkan gejala perubahan perilaku. Jika dibiarkan bertahun-tahun, hal itu akan terbawa hingga usia dewasa.
Anak yang hiperaktif sering didiagnosis mengalami gangguan pemusatan perhatian. Mereka memiliki kesulitan untuk fokus pada sesuatu, terkadang disertai aktivitas gerakan yang terus-menerus (repetitif), susah diam atau impulsif. Penyandang hiperaktif umumnya mengalami gangguan saraf dengan faktor genetik sebagai penyebabnya. Apabila dibiarkan, anak menjadi susah mengendalikan diri.
Salah satu gangguan emosi yang ditakuti banyak orangtua adalah gangguan kecemasan atau kegelisahan. Sebenarnya rasa cemas adalah sesuatu yang wajar. Namun, rasa cemas bisa menjadi tak sehat jika muncul berlebihan, sulit dikontrol, atau sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.
Kecemasan datang dalam berbagai bentuk yang berbeda- beda, seperti rasa takut, panik, fobia, khawatir, dan tidak percaya diri. Dalam jangka panjang, efek negatif dari gangguan kecemasan dapat menyebabkan depresi, insomnia, nyeri kronis, penyalahgunaan zat adiktif, dan pikiran untuk bunuh diri.
Bunuh diri
Remaja rentan mengalami gangguan kejiwaan akibat perubahan emosi dan sosial. Gangguan perilaku dan kecemasan yang berulang dan berlangsung lama dapat menimbulkan depresi.
Jika dibiarkan, remaja akan terjerumus ke dalam perilaku tidak sehat sampai berujung dengan bunuh diri. Bahkan, kadang kala bunuh diri dipicu masalah yang sederhana, seperti tak tepenuhinya keinginan tertentu dari anak.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, bunuh diri adalah penyebab utama kematian pada kelompok usia 15-29 tahun. Di Indonesia, temuan penelitian Nova Riyanti Yusuf dalam sebuah survei terhadap 910 pelajar dari SMAN dan SMKN terakreditasi A di DKI Jakarta tahun 2018 menunjukkan, 5 persen pelajar memiliki ide bunuh diri.
Penelitian yang sama pernah dilakukan bersama Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN) Kementerian Kesehatan pada 2015 dengan mendapatkan angka yang lebih besar. Dari 1.014 sampel, ditemukan 19 persen responden memiliki ide bunuh diri dan 1 persen mengaku serius ingin melakukan bunuh diri.
Penelitian serupa pada tahun yang sama dilakukan Kementerian Kesehatan dalam Global School-Based Student Health Survey (GSHS) terhadap 10.837 pelajar SMP dan SMA. Hasilnya, 5,2 persen responden pelajar memiliki ide bunuh diri, 5,5 persen sudah memiliki rencana bunuh diri, dan 3,9 persen telah melakukan percobaan bunuh diri.
Fenomena ini menjadi ”alarm” bahwa jangan abaikan sekecil apa pun gangguan mental pada anak dan remaja. Anak dan remaja secara umum belum mampu berpikir rasional dalam menghadapi tekanan atau masalah yang dialaminya.
Pembiaran pada anak sehingga mengalami gangguan kecemasan, gangguan perilaku, dan hiperaktif bisa membelenggu mereka saat dewasa. Deteksi dan penanganan sejak dini diharapkan mencegah gangguan mental emosional tidak berkembang menjadi lebih serius.
Untuk mencegah gangguan mental pada anak, selain peran masyarakat, kuncinya tentu terletak pada orangtua. Mereka perlu menerapkan pola pengasuhan sebaik-baiknya dan menjaga lingkungan anak tetap mendukung.
Masalahnya, masih banyak orangtua memiliki literasi yang minim soal kesehatan jiwa sehingga tak mampu mengenali gejala gangguan mental yang dialami buah hati.
Tentunya sangat mengkhawatirkan jika banyak dari anak usia 10-19 tahun, yang jumlahnya hampir seperlima penduduk Indonesia, mengalami gangguan mental. Pada masa mendatang, mereka merupakan penggerak ekonomi dan perubahan sosial bangsa.
(MB Dewi Pancawati, Litbang Kompas)