Cendana dalam Genggaman Gubernur
Operasi Nusa Hijau yang dicanangkan Gubernur Ben Mboy berhasil mengangkat cendana menjadi prioritas budidaya di NTT. Pamor cendana ambruk saat kepemimpinan Gubernur Herman Musakabe. Cendana kembali bersinar pada masa Gubernur Frans Lebu Raya. Namun, dikhawatirkan kembali meredup pada masa Gubernur Viktor Laiskodat.
Cendana (Santalum album linn) di Nusa Tenggara Timur memiliki sejarah panjang. Kehadiran bangsa asing di tanah NTT, yakni Portugis dan Belanda, mengawali pasang surut wangi cendana di kepulauan ini.
Salah satu wilayah yang menjadi pusat kunjungan bangsa Portugis (1555-1603) adalah Pulau Solor di Flores Timur. Di pulau ini, Portugis membangun sebuah dermaga di Lohayong, Solor Timur, sebagai pusat perdagangan cendana. Dibangun pula benteng pertahanan, yakni Port Henricus XVII, yang kini dikenal sebagai Benteng Lohayong.
Setelah cendana habis dieksploitasi pada 1580, Portugis pindah ke Pulau Timor. Portugis membangun benteng di Kupang, yaitu Port Concordia, yang kini menjadi markas TNI AD Yonif 743/PSY.
Benteng ini sempat diluluhlantakkan Belanda pada 1603. Belanda dan Portugis berebut wilayah ini karena kekayaan cendana di Timor dan sekitarnya.
Pada 1958, NTT menjadi daerah otonom. Setidaknya ada delapan gubernur termasuk penjabat gubernur memimpin daerah yang disebut Flobamorata (Flores, Sumba, Timor, Rote, Alor, dan Lembata).
Gubernur paling berpengaruh dalam program budidaya cendana adalah Ben Mboi (1978-1988). Program penghijauan, Operasi Nusa Hijau (ONH), saat itu berhasil menghijaukan sejumlah daratan pulau-pulau di NTT dengan berbagai jenis tanaman perdagangan, di antaranya cendana.
Saat itu, Pulau Timor fokus pada pengembangan cendana. Di Flores dikembangkan kopi arabika dan kelapa. Di Sumba diutamakan cendana dan pertanian. Alor ditanami cendana, kemiri, dan kenari. Di Rote dan Sabu dikembangkan cendana dan lontar.
Cendana hasil ONH di hutan-hutan Timor berusia 30-41 tahun. Kebanyakan cendana ONH ditebang masyarakat pada periode Gubernur Herman Musakabe (1993-1998).
Kepunahan cendana diawali dengan penerbitan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1996 tentang Cendana. Isi perda, antara lain, cendana yang tumbuh di pekarangan rumah dan lahan warga menjadi milik pemerintah provinsi. Tata niaga cendana juga diatur pemprov.
Perda ini memicu amarah warga. Semua tanaman cendana dibabat kemudian dibakar. Mereka tidak mau cendana didata sebagai aset pemda. Hal ini membuat pohon cendana nyaris punah. Hilanglah wangi cendana di NTT.
Masa kepemimpinan Gubernur Piet Talo (1998-2008), masyarakat diberi kesempatan menanam dan memiliki cendana. Akan tetapi, Perda No 16/1996 belum dicabut. Masyarakat pun masih ragu dengan kebijakan penanaman cendana ini.
Mulai bangkit
Kepala Dinas Kehutanan NTT Ferdinand Kapitan di Kupang, Selasa (1/10/2019), menuturkan, di masa Gubernur Frans Lebu Raya (2008-2018), cendana mulai mendapat porsi pengembangan multiyears (tahun jamak). Perda No 16/1996 dicabut. Sebagai gantinya, terbit Perda No 5/2008 tentang Cendana Rakyat.
Perda No 5/2008 ini mengatur semua persoalan seputar cendana. Paling utama, masyarakat diberi keleluasaan menanam cendana di pekarangan, lahan pertanian, dan lahan kering, yang terpenting menjadi milik pribadi. Warga juga boleh menjual.
Harga bibit (biji) cendana yang sebelumnya Rp 50.000 per kg menjadi Rp 550.000 per kg. Harga anakan cendana usia di bawah 1 tahun yang semula Rp 2.000 per pohon naik jadi Rp 25.000 per pohon. Adapun anakan usia 1-2 tahun dihargai Rp 100.000 per pohon.
Harga 1 kilogram kayu cendana yang sebelumnya Rp 10.000-Rp 25.000 menjadi Rp 50.000-Rp 300.000 per kg. Harga kayu cendana ditentukan jenis dan usia cendana, dalam hal ini kualitas wanginya.
Usia kayu cendana di atas 30 tahun tergolong cendana premium, usia 20-29 tahun termasuk kelas medium, dan usia 10-20 tahun kelas rendah.
Minyak kayu cendana yang sebelumnya dihargai Rp 5.000 per 100 mililiter menjadi Rp 10.000-Rp 20.000 per ml. Serbuk cendana dari Rp 25.000 per kg menjadi Rp 75.000 per kg.
Pengusaha yang menggunakan bahan baku cendana wajib menanam pohon cendana di lahan milik masyarakat atau milik pribadi.
Kabid Pembinaan Dinas Kehutanan NTT Rudi Lismono menambahkan, melalui perda ditetapkan pula pola hutan keluarga di pekarangan dan lahan milik warga. Pemprov menetapkan program budi daya cendana tahun jamak, terdiri dari proses pemeliharaan, penanaman, penjarangan, penyulangan, dan pembibitan.
Program cendana multiyears ini merupakan bagian dari gerakan moral cinta cendana di NTT. Program ini bertujuan mengembalikan kejayaan cendana NTT.
”Pada periode ini wangi cendana kembali di NTT. Juli 2019, kami mengevaluasi program cendana kurun 2010-2018. Tingkat kegagalan budidaya cendana tinggi. Dari 3.344.317 batang cendana yang ditanam, yang berhasil tumbuh hanya 1.337.349 batang atau sekitar 40 persen,” tutur Lismono.
Jumlah ini yang ditanam pemda, belum termasuk tanaman milik masyarakat, baik sebelumnya maupun cendana yang ditanam bersama dengan program pemerintah.
Jumlah ini juga belum termasuk pohon cendana yang ada di UPT-UPT, seperti Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), UPT Dirjen Kehutanan dan Tanaman Perkebunan. Mereka juga bersemangat mengembalikan kejayaan cendana di NTT.
Sejauh ini, pemprov belum memiliki data seluruh cendana di NTT. Namun, diperkirakan yang tumbuh dan berkembang dengan baik sekitar 5 juta pohon. Ini melebihi target, yakni 1,5 juta pohon.
Pada tahun-tahun awal penanaman, cendana perlu mendapatkan perlakuan khusus karena termasuk jenis tanaman yang unik. Apalagi, ada kendala keterbatasan air dan kebakaran hutan. Terkadang sesudah berusia 2-7 tahun, tiba-tiba pucuk daun menjadi layu dan pohon perlahan-lahan mati.
”Kami minta Balitbang Kehutanan untuk melakukan penelitian. Dugaan kami, ini pengaruh genetik cendana. Bibit cendana yang diambil dari hasil perkawinan serumpun tidak bagus. Bisa juga karena benih belum siap. Seharusnya usia induk kayu cendana minimal di atas 18 tahun,” paparnya.
Setelah berumur 7 tahun, barulah cendana tidak perlu mendapat perhatian. Cendana bisa tumbuh kembang sampai usia produksi 30 tahun.
Dalam rencana induk cendana, tahun 2030 mimpi NTT sebagai gudang cendana agaknya bisa tercapai. Harapan Lebu Raya terkait target cendana yang sudah ditanam telah terlampaui.
Pengembangan cendana dilakukan dengan silvikultur intensif, diikuti pemberian pupuk, penyiraman, dan pembersihan rutin tahunan. Sistem ini cocok bagi generasi saat ini yang mewariskan cendana kepada generasi berikut.
Menurut Kepala Subbagian Program Data dan Evaluasi Dinas Kehutanan NTT Semuel Lada, ada tiga skema pengembangan cendana dalam rangka pelestarian, konservasi, dan sumber benih, juga jangka panjang untuk produksi.
Skema pertama, hutan tanaman cendana secara berkelanjutan. Skema kedua, gerakan menanam cendana untuk memberi pemahaman dan memulihkan masyarakat dari trauma agar mereka mau melakukan penanaman.
Skema ketiga, gerakan cendana pelajar. Ini untuk memberi pemahaman sejak usia dini kepada warga NTT dan untuk mencintai cendana.
Budidaya cendana lebih ditekankan pada asal-usul sumber cendana. Misalnya, di Flores Timur ada di Pulau Solor. Pulau itu konon merupakan pusat cendana dengan kualitas terbaik tahun 1400-an.
Sebagian lagi cendana ditanam di Alor, Timor, Rote, dan Sumba. Ini prioritas pelestarian tanaman cendana menurut asal-usul tanaman.
Kebijakan tersebut digagas sejak 2010. Usia cendana saat ini berkisar 1-9 tahun. Tinggi cendana mencapai 5 meter, seperti di Pulau Solor dan di Alor.
Menurut Lada, pola pembibitan ada dua cara, yakni pembibitan permanen dari Dinas Kehutanan di Mapoli, pembibitan oleh BPDAS Fatukoa, dan BPDAS Noelmina.
BPDAS Fatukoa melayani pembibitan cendana di seluruh daratan Pulau Timor. Lembaga ini ada juga di Lembata, Ngada, dan Sumba Tengah.
Masyarakat juga didorong untuk melakukan pembibitan. Pemerintah memberi penghargaan kepada masyarakat yang melakukan pembibitan cendana. Bibit dibeli pemerintah kemudian dibagikan ke masyarakat.
Anggaran
Saat itu, dana alokasi khusus (DAK) 15 persen untuk rehabilitasi dan penanaman cendana di kabupaten/kota. Ada pula alokasi dana dari BUMN (Perhutani, Angkasa Pura, PLN, Telkom) 16 persen untuk budidaya cendana. LSM juga terlibat menanam cendana, seperti di sepanjang jalan menuju Bandara El Tari Kupang.
Sayangnya, pada masa kepemimpinan Viktor Laiskodat (2018-2023), cendana dimasukkan dalam salah satu tanaman endemik lokal. Cendana bukan lagi fokus utama pengembangan.
”Endemik lokal masuk dalam kategori tanaman untuk ekowisata. Anggaran untuk perawatan dan penanaman tidak lagi seperti sebelumnya,” kata Lada.
Hal lain, masalah klasik yang dihadapi cendana adalah kebakaran. Misalnya, kebun percontohan cendana di Kelurahan Naioni, Kecamatan Alak, Kupang. Sekitar 500 pohon cendana di areal seluas 2.000 meter persegi itu mengalami kebakaran setiap tahun. Biasanya dimulai oleh kebakaran lahan di luar lokasi, yang kemudian merambat masuk.
Marthen Klakik, petani cendana di Desa Kabola, Kecamatan Alor Timur, Kabupaten Alor, mengatakan, jika program budidaya cendana itu untuk kesejahteraan masyarakat dan mendorong pengembangan potensi daerah, seharusnya dilanjutkan.
Cendana merupakan ikon NTT, selain komodo, alat musik Sasando, danau tiga warna Kelimutu, dan tenun ikat. Kebijakan budidaya cendana seharusnya dipertahankan oleh semua gubernur NTT.
”Jangan merasa gengsi melanjutkan kebijakan gubernur sebelumnya kalau memang bermanfaat untuk NTT. Cendana kalau diabaikan dalam periode tertentu akan punah lagi karena cendana butuh perhatian berkesinambungan,” kata Klakik.