Pasca-serangan yang dilakukan simpatisan kelompok teroris JAD kepada Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, tim Densus 88 Antiteror Polri meningkatkan langkah pencegahan dengan menangkap sejumlah sel jaringan itu.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasca-serangan yang dilakukan simpatisan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri meningkatkan langkah pencegahan dengan menangkap sejumlah sel jaringan itu di beberapa wilayah di Tanah Air. Pola serangan JAD yang dilakukan sporadis dan tanpa berkelompok menjadi penyebab gerakan kelompok itu sulit terdeteksi.
Sejak peristiwa bom Thamrin, Januari 2016, kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) berada di balik seluruh peristiwa teror yang terjadi di Indonesia. Sebagai kelompok yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), JAD melakukan sejumlah serangan teror yang mirip dengan simpatisan NIIS di sejumlah negara. Misalnya, aksi teror berkelompok dengan senjata api, serangan dengan senjata tajam, hingga aksi bom bunuh diri keluarga.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, Sabtu (12/10/2019), di Jakarta, mengungkapkan, pelaku penusukan terhadap Wiranto, yaitu FA alias Abu Rara, memiliki hubungan dengan sel JAD di Sibolga, Sumatera Utara. Hal itu didasari keterlibatan Abu Rara dengan jaringan JAD Bekasi, Jawa Barat, pimpinan Abu Zee.
Dalam dua tahun terakhir, Abu Zee dan pemimpin sel JAD Sibolga, Husein alias Abu Hamzah, rajin berkomunikasi melalui media sosial dan aplikas pesan instan. Adapun Abu Hamzah ditangkap tim Densus 88 Antiteror Polri pada Maret 2019, sedangkan Abu Zee ditangkap, akhir September 2019.
Jaringan JAD itu, lanjut Dedi, bertanggung jawab dalam sejumlah aksi teror tunggal di Indonesia selama 2019. Misalnya, penyerangan pos kepolisian Kartasura, Jawa Tengah (Juni 2019), dan penyerangan Markas Kepolisian sektor Wonokromo, Jawa Timur (Agustus 2019).
Langkah pencegahan melalui penangkapan akan terus dilakukan.
”Tim Densus 88 Antiteror Polri masih terus mengejar mastermind atau tokoh utama yang selama ini mengondisikan kelompok tersebut. Langkah pencegahan melalui penangkapan akan terus dilakukan, khususnya yang berpotensi menganggu sejumlah kegiatan nasional,” ujar Dedi.
Selama Kamis dan Jumat lalu, tim Densus 88 Antiteror Polri menangkap empat tersangka terorisme di tiga wilayah berbeda. Sebanyak dua teroris ditangkap di Bali, yaitu AT dan ZA, mereka adalah bapak dan anak, kemudian JS ditangkap di Manado, Sulawesi Utara, dan WB yang diamankan di Bandung, Jawa Barat.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, penangkapan sejumlah amir atau pemimpin jaringan JAD oleh tim Densus 88 Antiteror Polri membangkitkan keinginan para simpatisan dan anggota kelompok itu untuk melakukan balasan. Oleh karena itu, serangan secara fokus menargetkan pejabat negara dan aparat kepolisian.
”Mereka memang berlomba-lomba untuk beraksi sebagai bentuk solidaritas. Tetapi, aksi teror yang dilakukan bukan gerakan yang terstruktur rapi dan tanpa komando,” kata Huda.
Menurut Huda, sejumlah serangan teror yang dilakukan simpatisan JAD dalam beberapa waktu terakhir lebih pada aksi-aksi sporadis. Koordinasi untuk melakukan persiapan dan perencanaan aksi itu, tambahnya, dilakukan melalui grup Telegram tertutup. Serangan tanpa komando dan sporadis itu mengakibatkan pola serangan mayoritas dilakukan oleh pelaku tunggal (lonewolf) dan sulit terdeteksi.
Pola perekrutan
Dedi mengungkapkan, terdapat lima tahapan perekrutan yang dilakukan jaringan JAD. Pertama, diawali melalui komunikasi intens di media sosial dan aplikasi pesan instan. Kedua, pemimpin dalam jaringan JAD itu mulai menyebarkan paham radikal dan tata cara berjihad. Ketiga, setelah cukup intens berkomunikasi di media sosial, mereka melakukan pertemuan langsung untuk melanjutkan tahap penyebaran doktrin paham radikal.
Selanjutnya, pasca-pertemuan yang bersifat berbagi ilmu itu, pemimpin jaringan JAD akan mengatur rencana pelatihan paramiliter (idad) sebagai langkah awal sebelum merencanakan aski teror. Terakhir, mereka melakukan amaliyah atau aksi teror dengan berbagai pola serangan dan sasaran.