Apendi Ditahan Sebelum Menanam Bibit Ketimun
Apendi dan Edi merupakan dua dari 26 petani yang ditangkap karena membakar lahan. Satu tersangka lain, AK, merupakan Direktur Operasional PT Hutan Bumi Lestari (HBL).
Di tengah terik matahari, Apendi (65), berjalan bersama 26 tersangka pembakar lahan lainnya dengan kawalan ketat aparat Polda Sumatera selatan, Senin (25/9/2019). Kepalanya menunduk dan terus melangkah tanpa alas kaki dengan kedua tangan keriputnya terikat kabel. Apendi tak menyangka harus terpisah dari keluarga untuk kejahatan yang tak pernah ia sadari.
Rabu (9/10) itu, genap 20 hari ia mendekam di sel karena ketahuan membakar lahan di Kecamatan Pedamaran, Ogan Komering Ilir. Lahan pertanian seluas 15 meter x 10 meter milik orang lain itu rencananya akan ia gunakan membudidayakan mentimun.
Untuk memulai menanam timun, ia harus membersihkan lahan tersebut karena sebelumnya digunakan untuk menanam padi. Jerami bekas panen ia kumpulkan ke tengah ladang lalu dibakar. Tidak ada cara lain selain membakar, karena Apendi tidak memiliki alat memadai untuk menggarap lahan.
Saat itu, saya tidak tahu saya ditangkap karena apa.
Sehari-hari Apendi mencari ikan, tetapi di tengah musim kemarau, sungai kering dan ikan semakin sulit didapat. Dia pun mencoba peruntungan menjadi petani. “Rencananya, timun itu bisa dijadikan pendapatan tambahan untuk sekedar membeli beras,” kata dia. Itu pengakuannya.
Apendi mengaku tidak tahu jika membakar lahan itu dilarang. Itulah sebabnya, saat membakar tumpukan jerami, ia tidak pergi. Matanya terpaku mengawasi bakaran jerami itu agar api tidak menjalar ke lahan milik orang lain. Apalagi, dia tinggal mengontrak di rumah pemilik lahan yang letaknya tidak jauh dari ladang pertanian tersebut.
Namun, niat baiknya berbuah malapetaka, ketika sejumlah petugas polisi mendekatinya dan menangkapnya karena ketahuan membakar lahan. Ia tak melawan, pasrah mengikuti perintah petugas yang membawanya ke kantor polisi. “Saat itu, saya tidak tahu saya ditangkap karena apa,” ungkapnya. Memang sebelumnya, tidak ada sosialisasi dari pemerintah desa soal larangan membakar lahan.
Dari bayangan mengolah lahan dan bertanam ketimun, ia harus mendekam di sel polisi. Sehari-hari, ia tinggal bersama istrinya yang adalah buruh panen tebu di PTPN VII Cinta Manis, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Kedua anak mereka berada di Bangka menjadi pekerja tambang timah.
Nasib serupa juga dialami Edi Nopiarman (54), petani semangka di Desa Timbangan, Kecamatan Indralaya Utara. Kabupaten Ogan Ilir. Saat itu, dia ditangkap karena membakar tiga hektar lahan untuk memulai budidaya semangka. “Membakar sudah jadi warisan nenek moyang sejak turun-temurun,” katanya. Kegiatan itu dilakukan untuk membersihkan ilalang yang tumbuh tinggi setiap kali dia akan memulai masa tanam.
Tidak ada cara lain selain membakar, karena pemerintah tidak pernah membantunya membuka lahan. “Saya tidak tergabung dalam kelompok tani, selain itu tidak pernah ada tawaran alat berat untuk membuka lahan,” ungkapnya.
Di sisi lain, Edi beranggapan dengan membakar maka lahan pertaniannya akan lebih subur. Hasil semangka miliknya akan lebih besar jika ditanam di atas lahan bekas terbakar. “Sisa bakaran menjadi pupuk yang baik untuk tanaman,” kata dia.
Edi menuturkan, dia akan mengikuti seluruh proses hukum yang tengah dialaminya. “Kalaupun harus dipenjara saya terima, karena saya tidak ada uang untuk membayar polisi,” ungkap dia. Penjara pun tidak akan menghentikan niatnya untuk membakar. “Kalau tidak membakar, saya tidak makan,” katanya.
Apendi dan Edi merupakan dua dari 26 petani yang ditangkap karena membakar lahan. Satu tersangka lain, AK, merupakan Direktur Operasional PT Hutan Bumi Lestari (HBL). Lahan yang terbakar akibat perbuatan para tersangka sekitar 1.784 hektar, dimana 1.745 hektar berada di lahan konsesi PT HBL yang terletak di Kawasan Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin. Adapun lahan milik perseorangan yang terbakar sekitar 36 hektar.
PT HBL dijerat dengan pasal berlapis karena disangka tidak memiliki alat pemadam yang memadai untuk menangani kebakaran di atas lahan konsesinya seluas 2.800 hektar. Selain itu, perusahaan yang sudah bekerjasama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lalan Mangsang Mendis selama tiga tahun ini juga menyalahgunakan izin dengan menanam sawit di dalam kawasan hutan produksi.
Saat ditanya, AK hanya mengatakan, kebakaran terjadi di luar lahan konsesi perusahaanya. Dia pun menyangkal bahwa perusahaannya sengaja membakar. "Tidak mungkin saya membakar lahan milik perusahaan sendiri," katanya. Namun, ia mengaku alat pemadam yang dimiliki perusahaannya kurang memadai.
Keterangan ahli
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Komisaris Besar Zulkarnain menjelaskan untuk dapat menjerat korporasi sebagai pelaku pembakar lahan, perlu ada keterangan dari sejumlah saksi ahli. “Untuk kasus PT HBL, kami meminta keterangan dari tujuh saksi ahli,” katanya.
Kementerian LHK akan memeriksa rekam jejak dari perusahaan yang lahan konsesinya terbakar tahun ini.
Selain PT HBL, pihaknya tengah memeriksa dua perusahaan yang lahannya juga terbakar. “Sekarang dua perusahaan tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Kami juga menunggu keterangan dari saksi ahli untuk dapat membawa kasus tersebut ke tahap penyidikan,” kata Zulkarnain.
Tidak hanya pihak kepolisian Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) juga menyegel laham milik 8 perusahaan di Sumsel. Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Pengenaan Sanksi Administrasi Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sugeng Priyanto mengatakan pada periode Agustus-Oktober, ada delapan perusahaan di Sumsel yang disegel dengan Luas lahan terbakar di konsesi di Sumsel 5.400 hektar.
Ke delapan perusahaan yang disegel adalah PT WAG, MBJ, dan DGS di Ogan Komering Ilir, PT DIL dan TIA di Musi Rawas, PT LPI (perusahaan asal Singapura) di Ogan Komering Ulu, serta PT HBL dan PT TCP di Kabupaten Musi Banyuasin. Sugeng mengatakan, pihaknya akan memeriksa rekam jejak dari perusahaan yang lahan konsesinya terbakar tahun ini. Apabila lahannya terbakar di tahun sebelumnya, bukan tidak mungkin izinnya akan dicabut.
Manajer Area PT DGS Kenedi mengatakan, pihaknya telah berupaya memadamkan api. Sebanyak 240 orang dari satgas karhutla dikerahkan. Dikerahkan pula 22 alat berat, 20 sumur, dan pompa untuk membuat sekat bakar. Asal api berasal dari luar konsesi. Namun, karena lahan yang terbakar adalah lahan gambut, api pun menjalar masuk ke kawasan konsesi.
Setengah hati
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hairul Sobri berharap tindakan aparat tidak hanya sebatas gaya-gayaan. "Jangan sampai ini hanya mau menunjukan bahwa pemerintah seakan bekerja di tengah bencana kebakaran," kata dia.
Ia khawatir kasus ini perlahan hilang seiring hilangnya asap karena diguyur hujan. Walhi menilai, penanganan kasus kebakaran lahan yang melibatkan perusahaan juga setengah hati. Dari kasus kebakaran tahun 2015 sudah menjerat beberapa perusahaan, tetapi hingga saat ini tidak ada satupun perusahaan yang dicabut izinnya.
Selama ini, kata Hairul, aparat hanya fokus untuk menangkap para petani yang memiliki lahan tidak seberapa dibanding dengan luas lahan izin konsesi yang dimiliki perusahaan. “Lahan yang terbakar di Sumsel mencapai puluhan ribu. Sebagian besar terjadi di lahan konsesi perusahaan,” ungkapnya.
Asap yang merebak di Sumsel berasal dari terbakarnya gambut dalam di Sumatera Selatan. Hairul menjelaskan, dari 1,2 juta hektar gambut di Sumatera selatan, sekitar 700.000 hektar di antaranya sudah dibebani izin untuk penanaman akasia dan sejumlah tanaman komoditi perkebunan.
Untuk itu, perlu ada komitmen tegas dari pemerintah untuk meninjau kembali izin yang sudah diberikan. “Sepanjang tidak ada tindakan tegas dari pemerintah mengenai hal ini, maka kebakaran lahan di Sumsel akan terus terjadi,” ungkap Hairul.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru juga berkomitmen akan mencabut izin perusahaan yang terbukti lalai menjaga lahan konsesinya. “Kalau perusahaan itu terbukti bersalah di pengadilan, pasti akan saya cabut izinnya,” tegas Gubenur.
Namun, pencabutan izin tidak bisa dilakukan dengan serampangan dan emosional, harus berdasarkan tahapan yang dapat dibuktikan. “Terkait perizinan sangat berkaitan dengan investasi,” kata Herman.
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 ini disebut-sebut sama atau bahkan melebihi kondisi tahun 2015. Asap kebakaran dari Pulau Sumatera dan Kalimantan tak hanya menyesakkan warga di sana, tetapi juga sampai ke negara tetangga, Singapura dan Malaysia.
Harus diakui, tak sedikit perusahaan pemegang konsesi yang berjibaku mengantisipasi kebakaran. Tak sedikit pula anggaran yang dikucurkan untuk pemadaman. Bagaimanapun, penegakan hukum tetap harus ditegakan terhadap siapa saja yang bersalah. Jangan sampai rasa keadilan masyarakat terkoyak karena kasus-kasus terhadap petani kecil seperti Apendi.