Presiden menyayangkan aksi unjuk rasa tersebut diwarnai ejekan dan lontaran tuduhan kepada para pembantu saya, para Menteri. Mereka telah bersusah payah bekerja untuk menaikkan dan mengatasi kesulitan ekonomi.
Oleh
JOHNNY TG
·5 menit baca
Aksi unjuk rasa yang marak belakangan ini, antara lain oleh mahasiswa, dilakukan di kawasan gedung parlemen Senayan, Jakarta. Peristiwa ini mengingatkan tentang apa yang pernah terjadi pada tahun 1966. Mahasiswa-mahasiswa Jakarta yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa) menyuarakan aspirasi rakyat soal makin beratnya beban hidup.
Hari Rabu (12/1/1966) pagi dengan tertib rombongan mahasiswa berjalan dari kampus UI Salemba menuju gedung DPR Gotong Royong (DPR GR) di Senayan. Sepanjang jalan mereka menyanyikan lagu-lagu yang membakar semangat. Ribuan mahasiswa itu mendapat sambutan dari rakyat di sepanjang jalan yang dilewati. Dari atas jembatan Semanggi, sejauh mata memandang tampak lautan mahasiswa yang membawa bendera-bendera organisasinya, poster-poster. Sesampainya di DPR GR, Cosmas Batubara yang mewakili mahasiswa, diterima oleh Menko/Ketua DPR GR Arudji Kartawinata, Menteri Subamia dan Menteri Laksamana Muda (L) Mursalin. Ketiga anggota dewan berjanji akan menyampaikan pesan mahasiswa ini secepatnya dalam tempo 3 x 24 jam kepada Presiden Soekarno.
Dalam sambutannya, Menko Arudji mengatakan bahwa DPR GR merupakan tempat mengadukan protes kepada pemerintah. Hal ini membuat mahasiswa senang dan menggendong Menko Arudji ke dalam gedung parlemen. Setelah menyanyikan lagu-lagu yang membakar semangat, para mahasiswa kembali dengan tertib ke kampusnya. Selama enam hari ke depan, mahasiswa tetap menggelar demo selama enam hari ke depan, termasuk mogok kuliah.
Tidak perlu menunggu lama, Rabu (12/1) malam sekitar pukul 20.00, Menko/Ketua Arudji, didampingi para Wakil Ketua I GG Subamia, dan Laksamana Muda (L) Mursalin menghadap Presiden Soekarno. Mereka menyampaikan tuntutan-tuntutan dicabutnya segala peratuan pemerintah tentang kenaikan harga dan tarif pengangkutan.
Presiden mengatakan bahwa dirinya mengerti sepenuhnya isi hati tuntutan mahasiswa. Perbaikan suatu keadaan membutuhkan proses yang tidak sebentar dan belum tentu memenuhi keinginan setiap orang. Namun, Presiden juga menyayangkan aksi unjuk rasa tersebut diwarnai ejekan dan lontaran tuduhan kepada para pembantu saya, para Menteri. Mereka telah bersusah payah bekerja untuk menaikkan dan mengatasi kesulitan ekonomi (Kompas, Jumat, 14/1/1966, hlm 1).
Pada perayaan Lebaran Desember 1969, sekitar 100 mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta mengirimkan paket Lebaran kepada anggota DPR GR yang berasal dari mahasiswa. Isi paket tersebut adalah 1 lipstik murahan seharga @ Rp 75, bedak, sisir, benang, jarum, dan cermin kecil. Hadiah ini sebagai protes terhadap sikap mereka yang dianggap mengkhianati cita-cita perjuangan tahun 1966 lalu, karena lebih bersikap pro pemerintah. Mereka yang mendapat paket Lebaran itu adalah Harjadi Darmawan, Hutta Mustafa, Liem Bian Koen, Cosmas Batubara, Zamroni, Mar’ie Mohammad, Salam Sumangat, Slamet Sukirnanto, Rahman Tolleng, Rohali Sani, Jacob Tobing, Nono Makarim, David Napitupulu, John Simanjuntak. Pada Januari 1967, mereka ditunjuk menjadi perwakilan mahasiswa di DPR GR yang semuanya berasal dari KAMI Pusat, Jakarta. (Kompas, Senin, 15/12/1969, hlm 1).
Isu lain yang cukup menarik diangkat mahasiswa dalam aksi unjuk rasa adalah soal korupsi. Senin (24/8/1970) pagi, sebuah delegasi bernama ”Angkatan Muda” menemui Wakil Ketua DPR GR Dr Sjarif Thajeb di ruang kerjanya. Delegasi yang berjumlah 10 orang ini terdiri atas pemuda, mahasiswa dan pelajar yang anti korupsi. Julius Usman sebagai pembicara utama delegasi menyodorkan dua hal berkaitan dengan Rancangan Undang Undang (RUU) Antikorupsi yang akan dibahas pada 28 Agustus 1970. Pertama, agar mengadakan polling (jajak pendapat) dari masyarakat mengenai RUU tersebut.
Kedua, meminta agar produk hukum tersebut bukan merupakan hasil konsensus kongkalikong antara DPR GR dan Pemerintah. DPR GR merupakan cerminan masyarakat karena berisi wakil-wakil rakyat. Kenyataannya saat membahas RUU Anti Korupsi, ruang sidang terlihat sepi. Sementara keadaan sebaliknya, ruang sidang penuh ketika membicarkan soal Holden (Kompas, Rabu, 16/9/1970, hlm 4).
Persoalan ini muncul ketika sebanyak 380 unit mobil Holden dipesan untuk anggota DPR GR, Oktober 1967. Masyarakat pun protes, apalagi kondisi perekonomian Indonesia saat itu belum bagus. Daripada Holden, lebih baik membeli traktor dan pupuk yang memiliki kegunaan bagi banyak orang (Kompas, Selasa, 24/10/1967, hlm 1).
Karena itu, sikap delegasi terhadap pembahasan RUU Antikorupsi bersifat skeptis. Julius Usman menunjukkan janji Ketua DPR GR Sjaichu yang akan menyelesaikan pembahasan RUU Pokok-pokok Pendidikan dalam satu tahun. Nyatanya sudah tiga tahun berlangsung, hal tersebut belum juga selesai. Lamanya proses pembahasan, antara lain, disebabkan keputusan itu harus didasarkan atas musyawarah mufakat. Dan perbedaan pendapat yang terjadi merupakan hak anggota, kata Dr Sjarif Thayeb. Ia juga menyarankan agar permintaan dari delegasi ”Angkatan Muda” dibuat dalam sebuah konsep yang konkrit dan dikirimkan ke fraksi-fraksi yang ada dalam DPR GR.
Aksi protes yang dilakukan mahasiswa kepada parlemen pada 60-70-an yang kerap dibumbui humor ternyata menarik bagi Ajip Rosidi, seorang sastrawan dan budayawan. Pemberian bingkisan lebaran berisi peralatan make up; mengusung keranda mayat yang bertuliskan ”Harapan rakyat telah jadi mayat”; ajarilah kami ilmunya saat pelajar menyikapi pernyataan seorang pemimpin yang mengatakan kalau korupsi sudah menjadi kebudayaan bangsa Indonesia; dan pemberian gelar Pahlawan Nasional dan bintang jasa dari kertas timah warna-warni kepada Jaksa Agung Mayjen Sugih Arto yang berhasil menyeret sembilan perkara korupsi, antara lain yang besarnya Rp 150. Bagi Ajip, kalau segala usaha untuk berbuat sebaik-baiknya tidak bisa lagi dilakukan, maka bangsa ini (Indonesia) lari kepada bahasa humor, lelucon atau tertawa. Hal ini lebih baik agar tidak sampai terdampar di pantai putus asa, katanya (Kompas, Kamis, 17/9/1970, hlm 4). Atau dalam bahasa kekinian, ”Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang,” kata grup lawak Warkop.