Polisi Geledah Rumah Jaringan Teroris Penyerang Wiranto di Bekasi
Tim Detasemen Khusus Antiteror Kepolisian Republik Indonesia menggeledah rumah kontrakan seorang terduga teroris berinisial NAS di Bekasi. NAS terindikasi terkait jaringan teroris yang menyerang Menteri Wiranto.
Oleh
Stefanus Ato
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Detasemen Khusus Antiteror Kepolisian Republik Indonesia menggeledah rumah kontrakan seorang terduga teroris berinisial NAS di Desa Karang Satria, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Minggu (13/10/2019). NAS terindikasi terkait jaringan teroris yang salah satu pelakunya menyerang Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
Kepala Kepolisian Sektor Tambun Komisaris Siswo mengatakan, penggeledahan dilakukan berlangsung mulai pukul 14.00 hingga pukul 16.00.
”NAS ini terindikasi terorisme Jaringan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) Bekasi. Dia masih ada hubungan dengan jaringan yang menyerang Pak Wiranto,” katanya di Bekasi, Minggu (13/10) malam.
Dari hasil penggeledahan itu, polisi menemukan beberapa dokumen, seperti buku panduan jihad dan satu kardus bekas data khilafatul muslimin. Polisi juga menyita sejumlah barang lain, seperti paku, kabel, dan plakban.
Siswo menjelaskan, NAS sudah menyerahkan diri ke aparat kepolisian di Bandar Lampung pada Minggu (13/10) pagi. Dia diduga menjadi bagian dari kelompok Abu Zee dan Abu Bara di Bekasi yang berbaiat kepada kelompok ISIS.
Rumah kontrakan yang digeledah itu, menurut Siswo, sudah sekitar dua bulan ditempati NAS. NAS tinggal bersama istri dan seorang anaknya.
”Dia sering bekerja sebagai tukang ojek daring dan kadang-kadang tidak bekerja. Tetapi, dia memang sering pulang malam,” katanya.
Catatan Kompas, bukan kali ini saja terduga teroris tinggal di Bekasi. Pada akhir September 2019, misalnya, Densus 88 Antiteror Polri menangkap tujuh terduga teroris di wilayah Bekasi. Mereka yang ditangkap saat itu juga bagian dari jaringan JAD Bekasi.
Di tempat terpisah, Ketua MPR Bambang Soesatyo mendorong pemerintah untuk memprioritaskan upaya merangkul komunitas atau kelompok masyarakat yang menolak takdir kebinekaan Indonesia. Rumusan pendekatan kepada kelompok atau komunitas-komunitas tersebut perlu diperbarui.
”Untuk mendapatkan rumusan yang tepat, pemerintah dan parlemen patut menjalin kerja sama dengan semua lembaga atau institusi keagamaan,” katanya.
Rongrongan terhadap kebinekaan disebutnya sudah sangat nyata karena sejumlah komunitas terang-terangan menyatakan tidak lagi mencintai fakta keberagaman yang menjadi takdir Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam tahun-tahun terakhir ini, kelompok atau komunitas intoleran itu terlihat di mana-mana. Di sekolah, kampus perguruan tinggi, di banyak tempat kerja, dan di banyak institusi negara atau institusi pemerintah.
”Negara memang sudah menyikapi kecenderungan ini dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Di luar BPIP, banyak tokoh masyarakat dan pemuka agama, termasuk pejabat pemerintah, tak henti-hentinya menyerukan perlunya menjaga kerukunan dan budaya toleran. Banyak kegiatan dialog lintas agama dan budaya sudah digelar,” ujarnya.
Namun, publik merasakan ragam program dan pendekatan untuk mereduksi perilaku intoleran itu belum membuahkan hasil. Kecenderungan saling hina antar-kelompok atau antar-golongan bahkan makin tinggi intensitasnya.
”Karena itu, perlu dicari dan dijajaki rumusan program dan model pendekatan lain. Utamakan program dan pendekatan baru yang bertujuan menghilangkan saling curiga,” tambah Bambang.