Bangun Sumur dan Bak Antisipasi Krisis Air di Sekitar Bengawan Solo
Kekeringan yang menyusutkan air permukaan Bengawan Solo di Jawa Timur sepatutnya mendorong semua pihak melaskanakan program penanganan dan antisipasi bencana lebih terarah dan utuh.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS - Kemarau panjang mengakibatkan debit air Bengawan Solo di Jawa Timur menyusut. Bahkan, sungai terpanjang di Pulau Jawa ini mengering hingga memperlihatkan pasir bagian dasar, antara lain di Lamongan dan Gresik.
Untuk mengatasi dan mengantisipasi krisis air akibat kekeringan di tahun-tahun mendatang, masyarakat diimbau membuat sumur resapan dan bak tadah hujan. Selain itu, program berskala dan berbiaya antara lain pembangunan waduk, embung, dan bendungan menjadi tanggungjawab pemerintah.
Pada Senin, (14/0/2019), di sejumlah desa di Gresik, dasar Bengawan Solo terlihat jelas. Bahkan, batang air yang di musim hujan amat berbahaya untuk diseberangi itu saat ini bisa dilintasi dengan berjalan kaki.
Kondisi minimnya air di Bengawan Solo diperkirakan tak akan cukup untuk menyuplai air irigasi sampai bulan depan. “Padahal, musim hujan diperkirakan baru terjadi November atau bulan depan,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim Subhan Wahyudiono, Minggu (13/10/2019), di Surabaya.
Subhan mengatakan, telah menerima laporan kekeringan yang sampai membuat dasar Bengawan Solo terlihat. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengirim air ke Bengawan Solo sebab sungai, embung, waduk, dan bendungan penyuplai juga kering.
Subhan mengatakan, jika hujan tidak segera turun, bisa diyakini musim tanam pertama akan mundur dari prediksi November nanti. Mundurnya musim tanam bisa sebulan atau lebih bergantung pada kapan hujan turun dan intensitasnya.
Kepala SNVT Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo Tesar Hidayat Musowir yang dihubungi secara terpisah mengatakan, kekeringan di batang air ini hanya bisa diatasi dengan pasokan baru dari jaringan sungai dan sumber.
“Untuk penanganan jangka pendek kekeringan, kami membantu pemerintah dan masyarakat membuat sumur dan bak tadah hujan,” kata Tesar. Sumur untuk rumah keluarga sedangkan bak untuk fasilitas publik antara lain sekolah, puskesmas, kantor desa, dan tempat ibadah.
Menurut Tesar, pembangunan sumur dan bak itu dikonsentrasikan di daerah pelik yang masih dalam wilayah sungai Bengawan Solo. Yang dimaksud antara lain Pacitan, Ponorogo, Magetan, Ngawi, dan Madiun. Program serupa juga coba ditularkan ke Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik yang notabene kehidupan pertaniannya bergantung pada irigasi dari Bengawan Solo.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim Hadi Sulistyo mengatakan, kekeringan di Bengawan Solo harus diantisipasi dan diatasi untuk memelihara ketahanan produksi pertanian. Kondisi serupa diharapkan juga dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai Brantas.
Pertanian Jatim sebagai lumbung utama pangan nasional bergantung pada sistem pengairan dari dua batang air terbesar dan terpanjang di Pulau Jawa tadi yakni Bengawan Solo dan Bengawan Brantas. Untuk itu, kekeringan di Bengawan Solo, menurut Hadi, tidak boleh disepelekan. Jangan sampai kondisi serupa terjadi di Sungai Brantas.
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, berupaya menekan pemerintah pusat yang bertanggungjawab dalam pembangunan proyek besar bendungan, dam, waduk, dan embung-embung. “Untuk penanganan yang menjadi tanggungjawab provinsi kami penuhi,” katanya.
Emil mengakui, kerja sama kabupaten/kota, provinsi, dan pusat amat penting untuk mengatasi dampak negatif iklim tropis. Di musim hujan bagaimana agar bencana banjir dan tanah longsor bisa diatasi dan dicegah. Hal serupa juga harus dilaksanakan di musim kemarau seperti saat ini.
Masalahnya, menurut pakar kebencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Amien Widodo, pemerintah melupakan aspek utama yakni warga. “Saya belum melihat semangat program penanganan dan antisipasi bencana berbasis pada mengupayakan korban jiwa nihil,” katanya.
Maksudnya, dalam kekeringan seperti ini, misalnya, strategi lazim yang ditempuh dengan pembangunan prasarana dan sarana. Namun, ada yang dilupakan, bagaimana krisis air mempengaruhi kesehatan hidup masyarakat dan ketersediaan pangan. “Unsur manusianya kurang disentuh,” ujar Amien.
Untuk itu, penanganan bencana sebaiknya menyeluruh dengan mengutamakan keselamatan publik. Pembangunan prasarana dan sarana penting tetapi aspek manusianya jangan ditinggalkan. Membangun waduk, embung, dam, dan bendungan bukan semata untuk mengantisipasi kekeringan melainkan memelihara produksi pertanian warga sehingga ketahanan pangan tak terganggu.
Masalah air erat kaitannya dengan penggundulan hutan atau minimnya tutupan tumbuhan
“Masalah air erat kaitannya dengan penggundulan hutan atau minimnya tutupan tumbuhan,” kata Amien.
Diharapkan program rehabilitasi kawasan kritis dengan penanaman pohon berkarakter pemanen dan penyimpan air dapat diwujudkan terus. Saat musim hujan, lahan dengan tutupan yang baik akan menyerap dan menyimpan air. Harapannya saat musim kemarau, sumber air yang “disimpan” alam akan keluar dan bisa dimanfaatkan untuk keberlangsungan kehidupan.