Buruh Gendong, Wajah Sahaja di Tengah ”Cendol” Beringharjo
Saat peradaban modern menawarkan berbagai kemudahan dan kecanggihan, para perempuan perkasa ini masih mengandalkan tenaga demi penghidupan. Di usia yang kian senja mereka cawiskan sisa tenaga menjadi buruh gendong pasar.
Saat peradaban modern menawarkan berbagai kemudahan dan kecanggihan, para perempuan perkasa ini masih mengandalkan tenaga demi penghidupan. Di usia yang kian senja, mereka cawiskan sisa tenaga menjadi buruh gendong pasar. Kredo lama dipegang teguh, hidup adalah perjuangan.
Kaki Yisah (57) sedikit gemetar saat menuruni anak tangga Pasar Beringharjo sambil memikul keranjang bambu penuh berisi mentimun dan sayuran, Kamis (10/10/2019) siang. Sesekali mengusap peluh dengan jarik gendongan, dia menelusup di antara ribuan manusia yang berjubel layaknya cendol di pasar terpadat jantung Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Demi menghidupi diri dan keluarga, ia menawarkan jasa mengangkut barang belanjaan konsumen, terutama yang membeli dalam jumlah cukup banyak, dari lapak pedagang menuju tempat yang sudah disepakati. Upahnya tak banyak. Jasa pikulnya dihargai Rp 3.000 sekali angkut.
Meski semakin sepi, hal itu tak membuat Yisah dan puluhan buruh gendong pasar lainnya meninggalkan pekerjaan ini. Apalagi, saat mereka dihadapkan pada keterbatasan pilihan lain.
”Pengunjung pasar makin sepi dalam empat-lima tahun terakhir karena banyak konsumen memilih berbelanja di swalayan dan mal-mal besar yang lebih bersih,” tutur Yisah yang sudah puluhan tahun bekerja menjadi buruh gendong Pasar Beringharjo.
Meski semakin sepi, hal itu tak membuat Yisah dan puluhan buruh gendong pasar lainnya meninggalkan pekerjaan ini. Apalagi, saat mereka dihadapkan pada keterbatasan pilihan lain.
Baca juga: Kembali Meningkat, Rasio Gini Daerah Istimewa Yogyakarta Tertinggi Se-Indonesia
Yisah mengaku tak ingin merepotkan orang lain untuk hidupnya, apalagi mengharap belas kasihan dengan meminta-minta. ”Meski hanya Rp 2.000-Rp 3.000, kami ingin memiliki uang hasil keringat sendiri,” tuturnya.
Ibu tiga anak ini tak menampik, peradaban yang semakin modern membuat jasa mereka tak lagi banyak dibutuhkan seperti dulu. Sejak empat tahun terakhir, penghasilan para buruh gendong perlahan menurun. Jika sebelumnya seorang buruh gendong bisa mendapatkan uang Rp 50.000-Rp 150.000 per hari, kini mereka hanya bisa mendapatkan Rp 30.000-Rp 50.000 per hari.
Seiring usia yang kian senja, sejak dua tahun lalu, Yisah akhirnya lebih banyak memikul barang dari los-los batik Beringharjo di lantai satu. ”Makin tua, lutut enggak bisa naik-turun terlalu sering. Banyak gemetaran,” ucapnya.
Baca juga: Kemiskinan Masih Lekat dengan Perempuan
Tuntutan keadaan
Kebanyakan buruh gendong perempuan di Beringharjo menjalani pekerjaan tersebut karena tuntutan keadaan. Gemiyem (75), misalnya, buruh gendong asal Kulon Progo ini mengaku menawarkan jasa pikul di Pasar Beringharjo saat suaminya, Gito, meninggal. Gemiyem yang saat itu berusia 50 tahun pun mau tak mau harus bekerja menghidupi diri sendiri dan keluarga.
Ia mengisahkan, 25 tahun silam saat awal menekuni pekerjaan sebagai buruh gendong, keuntungan yang diperoleh jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sekarang. Belum lagi mempertimbangkan harga barang-barang yang semakin tinggi.
Gemiyem mencontohkan, medio 1990-an, harga bahan pokok jauh lebih murah. Beras, misalnya, hanya dengan uang Rp 1.000, ia sudah bisa mendapatkan 2-3 kilogram. Sementara kini, beras sudah mencapai Rp 12.000 per kg. Artinya, saat ini ia harus empat kali bolak-balik memikul barang dengan upah setiap angkut Rp 3.000 hanya untuk membeli 1 kg beras.
Kondisi ini semakin menjepit Gemiyem, terutama saat usianya kian renta. Bagaimanapun, usia tak bisa dibohongi. Apalagi, pekerjaan mereka murni mengandalkan tenaga.
Kondisi ini semakin menjepit Gemiyem, terutama saat usianya kian renta. Bagaimanapun, usia tak bisa dibohongi. Apalagi, pekerjaan mereka murni mengandalkan tenaga.
”Sekarang saya hanya bisa pikul 30 kg barang, itu pun berupa pakaian (batik). Sebelumnya, saya bisa pikul sampai 75 kg. Untuk jenis barang lain, saya tidak kuat lagi,” ucapnya saat berbincang dengan Kompas.
”Kalau sudah sampai 15 kali pikul, saya sudah merasa lelah dan harus istirahat. Satu hari, saya hanya bisa bawa pulang uang dari hasil pikul Rp 25.000. Tapi, ya, tetap disyukuri,” tutur Gemiyem datar.
Sulit bagi Gemiyem dan para buruh gendong lain jika hanya mengandalkan penghasilan dari buruh gendong pasar untuk menghidupi keluarga. Hal itu yang mendorong Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) ikut memfasilitasi para buruh gendong untuk mendapatkan penghasilan lain, yaitu dengan berdagang.
Yasanti membantu modal pinjaman yang dapat dikembalikan dengan cicilan sangat ringan kepada para buruh gendong Pasar Beringharjo yang tergabung dalam Paguyuban Buruh Gendong Sayuk Rukun. Paguyuban ini menampung 223 buruh gendong di Beringharjo.
Kini, selain sebagai pemikul barang, hampir semua buruh gendong juga menjual makanan ringan dan sayur sekadarnya. Bahan yang dijual, misalnya, sayur-sayuran, makanan ringan seperti ketoprak, kerupuk, dodol, kue, arem-arem, dan lemper. Ada pula yang berjualan tas dan topi kemah meski dengan jumlah terbatas.
Gemiyem, misalnya, kini mampu menghasilkan tambahan pendapatan Rp 50.000-Rp 60.000 per hari dari berjualan kerupuk. Pendapatan tambahan itu cukup membantu penghidupannya.
Baca juga: Perhatikan Pekerja Rumahan dan Rumah Tangga
Sewa toilet
Ibu empat anak ini mengaku, jika hanya mengandalkan uang dari jasa pikul, sulit bagi mereka untuk bertahan. Apalagi, dengan kondisi pasar yang tidak bersahabat. Hal itu, misalnya, aturan sewa toilet Rp 1.000-Rp 2.000 sekali masuk. Dengan tarif sekali pikul Rp 3.000, pendapatan mereka jelas akan semakin menipis.
Mariyam (49), pengurus Paguyuban Sayuk Rukun, mengaku, kondisi itu akhirnya membuat beberapa buruh gendong takut minum air dalam jumlah banyak sebelum ke pasar. Mereka khawatir tidak mendapatkan uang cukup karena habis untuk sewa toilet.
”Tetapi, kami selalu mengingatkan teman-teman agar tetap menjaga kesehatan. Minum air sesuai kebutuhan tubuh sehari, makan secukupnya, dan istirahat jika sudah merasa lelah atau capek. Anggota buruh gendong di pasar ini tidak muda lagi. Usia termuda 35 tahun dan tertua 77 tahun,” tuturnya.
Menurut Mariyam, para buruh gendong rutin menggelar pertemuan bulanan. Banyak hal dibahas, seperti usulan pembuatan toilet khusus bagi buruh gendong.
Baca juga: Pemeriksaan Kesehatan Pekerja Pasar Beringharjo
Pendamping lapangan buruh gendong Pasar Beringharjo dari Yasanti Yogyakarta, Umi Asih, mendukung pembangunan toilet khusus buruh gendong di dalam pasar. Menurut Umi, ada toilet yang dibangun pemda di dalam pasar, tetapi sudah diserahkan kepada pihak ketiga untuk dikelola.
”Setiap orang yang memanfaatkan toilet itu harus membayar tarif Rp 1.000-Rp 3.000 sekali pakai. Jika dalam satu hari mereka memanfaatkan toilet ini lima kali, paling kurang mereka harus bayar Rp 5.000,” tutur Umi.
Menurut dia, pengeluaran tersebut membuat para buruh gendong tidak nyaman karena mengurangi pendapatan mereka yang hanya sedikit. Akhirnya, sebagian memilih menahan keinginan ke toilet hanya demi menghemat penghasilan. ”Ini tidak baik karena akan mengganggu kesehatan,” kata Umi.
Baca juga:Buruh Gendong
Meski pendapatan mereka kecil, para buruh gendong di Beringharjo tetap bersyukur. Pertemuan bulanan paguyuban digunakan sebagai ajang cerita, bercanda, nggosip, hingga membicarakan hal-hal serius untuk meningkatkan taraf hidup.
Teranyar, simbok-simbok ini berencana menggelar Yoga Ketawa pada 20 Oktober. Selain olah tubuh, kegiatan tersebut diharapkan juga memberikan hiburan dan napas optimisme bagi para buruh gendong.
”Mereka ini tidak muda lagi sehingga butuh penyegaran dan kebersamaan dalam bentuk olahraga dan sejenisnya. Yoga Ketawa dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan,” tutur Mariyam yang menambahkan acara itu ditanggung para anggota paguyuban secara gotong royong.
Para buruh gendong pasar termasuk kelompok rentan. Sebagai pekerja informal, mereka tidak diatur di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997.
Menurut Umi, para buruh gendong pasar termasuk kelompok rentan. Sebagai pekerja informal, mereka tidak diatur di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997. Ia berharap pemerintah daerah lebih memperhatikan kondisi para perempuan ini.
Dengan segala keterbatasannya, Gemiyem, Yisah, dan ratusan buruh gendong Pasar Beringharjo tetap ikhlas menjalani pekerjaan. Mereka meyakini rezeki telah diatur Sang Pencipta. Dan, sebagai manusia, mereka berikhtiar terus berusaha mencari rezeki secara jujur, hidup bersahaja, dan berguna bagi sesama. Migunani tumraping liyan.