Kepuasan Warga Menurun di Dua Tahun Kepemimpinan Anies
Tingkat kepuasan warga terhadap kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menurun satu tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh kebijakan gubernur yang fokus pada janji-janji politiknya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, menurun dalam satu tahun terakhir. Kebijakan gubernur dinilai masih terjebak pada pemenuhan janji politik sehingga mengesampingkan kepentingan publik. Pemerintah juga tidak menjaga keberlanjutan program yang berhasil di era sebelumnya.
Kesimpulan itu terpotret dari survei Populi Center kepada 600 responden yang tersebar di enam kabupaten/kota adiministrasi DKI Jakarta. Survei dilakukan pada periode 9-18 September 2019 dengan pertimbangan target toleransi kesalahan (margin of error) sebesar 4 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Ada dua hal yang disurvei. Pertama, pandangan publik terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Anies selama dua tahun masa kepemimpinannya. Kedua, untuk melihat reaksi publik, jika dihadapkan pada pertanyaan komparasi antara program Anies dengan program dari gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama.
Terkait pandangan publik secara umum terhadap kinerja Pemerintah DKI, sebanyak 65,5 persen responden menjawab puas, sedangkan 28,1 persen menyatakan tidak puas, dan 6,3 persen menjawab tidak tahu/tidak jawab.
Peneliti Populi Center, Jefri Adriansyah, mengatakan, angka kepuasan itu menurun dibandingkan tahun pertama Anies menjabat sebagai gubernur DKI saat masih bersama Wakil Gubernur DKI Sandiaga Salahuddin Uno.
Sebelumnya, pada Oktober 2018, hasil survei Populi Center menunjukkan, masyarakat yang mengaku puas terhadap kinerja Pemerintah DKI sebesar 69,8 persen, sedangkan 27,9 persen menyatakan tidak puas, dan 2,5 persen menjawab tidak tahu/tidak jawab.
"Jadi, ada kecenderungan penurunan kepuasan masyarakat untuk tahun kedua Anies memimpin Jakarta. Sebelumnya, ada indikasi publik masih dalam masa euforia. Polarisasi, kan, masih luas, pasca-pemilu. Jadi, ada sedikit rasa kemaluan masyarakat kalau mengakui kebijakan-kebijakan yang dilakukan Anies tidak tepat," ujar Jefri, dalam pemaparan "Survei Eksperimental terkait Kebijakan Publik dan Rasionalitas Warga Jakarta dalam Dua Tahun Pemerintahan Anies Baswedan", di Jakarta, Senin (14/10).
Hadir sebagai penanggap, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, pengamat tata kota Nirwono Joga, dan Deputi Direktur Eksekutif Populi Center Afrimadona.
Dari hasil survei, ada sejumlah alasan responden yang mendasari jawaban atas penurunan kinerja Pemerintah DKI tersebut, seperti tidak ada perubahan (13,1 persen), tidak transparan (2,2 persen), lapangan kerja susah (1,8 persen), kemacetan (1,7 persen), ekonomi sulit (1,6 persen), dan program tidak jalan (1,4 persen).
Selain itu, responden juga menyebutkan sejumlah program atau kebijakan pemerintah yang paling tidak dirasakan manfaatnya, antara lain program rumah dengan uang muka 0 rupiah atau rumah DP 0 persen (16,5 persen), lapangan kerja sulit (6,2 persen), dan program One Kecamatan, One Center of Entrepreneurship atau OK Oce (2,4 persen).
Jefri menuturkan, reaksi publik atas kinerja pemerintahan itu sangat bisa menjadi acuan karena memotret situasi kelas menengah ke bawah. Dalam survei, persentase responden dengan tingkat pendidikan SD-SMP sebesar 35,6 persen dari 600 koresponden, kemudian 16,7 persen responden memiliki pengeluaran kurang dari Rp 2 juta setiap bulan.
"Rumah DP 0 persen dan kebutuhan lapangan kerja sangat dibutuhkan oleh mereka, tetapi mereka merasa tidak bisa mengakses itu. Ini harus jadi bahan evaluasi," kata Jefri.
Polarisasi kuat
Selain itu, Populi Center juga berhasil memotret masih kuatnya polarisasi di akar rumput meski pemilu telah lewat hampir dua tahun yang lalu. Perbandingan dilakukan antara kebijakan Anies dan Basuki.
Dari 600 responden, sampel dipecah menjadi dua grup yang tersebar secara proporsional dan merata di enam kabupaten dan kota administratif di DKI. Dua grup tersebut adalah treatment group dan control group.
Pada treatment group, pertanyaan kebijakan memunculkan nama gubernur pemilik kebijakan tersebut (Ahok dan Anies). Sementara itu, pada control group, tidak dimunculkan nama gubernur pemilik kebijakan.
Control group ini hanya digunakan untuk kebijakan-kebijakan yang diferensiasinya besar, misal Kartu Jakarta Pintar (KJP) program Basuki dan KJP Plus program Anies. Lalu, ada program penanggulangan banjir dengan cara Normalisasi dari Basuki dan program Naturalisasi dari Anies.
Secara umum, ketika dilekatkan pada nama gubernur dan kebijakan gubernur, hasilnya tak jauh berbeda dengan kondisi persentase keterpilihan gubernur tersebut pada pemilihan kepala daerah sebelumnya.
"Ini menunjukkan masih ada indikasi kelekatan nama program itu dengan gubernurnya. Subjektivitas tinggi. Jadi publik tidak menilai, apakah kebijakan itu bermanfaat atau tidak bagi dia, tetapi tergantung dari kepala daerahnya. Ini dampak dari polarisasi yang muncul," tutur Jefri.
Bahan evaluasi
Agus Pambagio berpendapat, Anies masih terpaku dengan pemenuhan janji politiknya sehingga mengesampingkan kepentingan publik yang lebih luas. Padahal, seharusnya, menurut dia, janji politik itu bisa tidak perlu diteruskan apabila memang tidak memungkinkan. "Yang penting hasil evaluasi. Kita itu malas melakukan evaluasi. Evaluasi penting dan melihat apa kebutuhan masyarakat. Jangan sampai malah melawan aturan yang ada," tutur Agus.
Menurut Agus, sebenarnya Anies tidak perlu membuat program-program baru. Program-program dari gubernur sebelumnya yang telah berhasil diimplementasikan di masyarakat sebaiknya diteruskan agar ada keberlanjutan, seperti Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA).
"Beberapa program, yang sudah berjalan dengan baik dan dinikmati warga Jakarta jangan dihapus, tetapi diteruskan. RPTRA itu program baik untuk keluarga berencana. Anak-anak sudah tak main di ruang gelap, tetapi pakai RPTRA untuk berdiskusi dan bermain di situ," ucap Agus.
Nirwono Joga menambahkan, kebijakan pemerintah seharusnya mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dengan begitu, pembangunan Ibu Kota akan lebih berkelanjutan dan tidak menyalahi aturan. "Siapa pun gubernurnya sebenarnya tinggal lihat (RDTR dan RTRW) itu dan evaluasi kenapa tak berhasil. Jangan membuat program dan nama-nama baru yang pasti tak ada berkelanjutan," tegas Nirwono.
Dipelajari
Secara terpisah, di Gedung DPRD DKI, Anies menyampaikan, hasil survei Populi Center akan dipelajari lebih lanjut. Kemudian, itu juga akan menjadi bahan evaluasi untuk peningkatan kinerja. "Semua hasil (survei) akan kami gunakan untuk meningkatkan kinerja kami," kata Anies.
Terhadap sejumlah program yang dinilai tak bermanfaat, Anies enggan berkomentar banyak. "Saya enggak tahu tuh caranya (survei). Nanti saya akan baca secara lengkap. Tetapi kalau survei, ya tempatkan saja sebagai survei, tidak lebih dari itu," ujarnya.