Cita-cita negara bangsa untuk menyejahterakan rakyat akan menjadi sukar tercapai apabila negara terpapar korupsi. Hal ini tidak terlepas dari dampak korupsi yang bisa begitu merusak, yakni menggerogoti keuangan negara, serta mengakibatkan perbaikan ekonomi semu yang rapuh. Dampak korupsi sejatinya begitu dekat dengan keseharian rakyat.
Suasana pagi di Pasar Slipi, Jakarta Barat, sudah ramai suatu hari pada awal Oktober. Transaksi jual beli sudah dimulai sejak pukul 05.00. Yanti (45) sibuk memenuhi daftar belanja yang harus dibelinya untuk persediaan dua hari. Setidaknya uang Rp 100.000 yang disiapkannya mencukupi, termasuk untuk membeli bumbu dasar, salah satunya bawang putih. Warga Kemanggisan, Jakarta Barat, itu hanya membeli seperempat kilogram bawang putih dengan harga Rp 8.750.
”Ini harganya sudah normal. Kalau sekilonya kan sekitar Rp 35.000. Dibilang murah ya rata- rata aja. Tetapi, tetap butuh, kalau enggak pake bawang putih, enggak ada rasanya dong,” ungkap Yanti.
Harga pangan di pasar kerap berfluktuasi, termasuk komoditas pangan yang harus diimpor, seperti bawang putih. Mengacu data Badan Pusat Statistik yang disarikan Indonesia Corruption Watch (ICW), harga bawang putih di pasar bisa 3-4 kali lipat lebih mahal dari harga impor. Pada 2018, BPS mencatat harga impor Rp 11.279 per kilogram, sedangkan harga eceran bawang putih di pasar berada di angka Rp 37.910 per kilogram. Pada tahun 2017, harga impor Rp 14.356 per kilogram, sedangkan harga eceran Rp 45.994 per kilogram.
Selisih harga itu tidak terlepas dari adanya biaya angkut dan biaya distribusi bawang putih. Namun, ada pula indikasi selisih harga itu juga ikut disumbang praktik korup dalam impor pangan itu. Awal Agustus 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap anggota Komisi VI DPR RI, Nyoman Dhamantra, di Bandar Udara Soekarno- Hatta, Jakarta. Nyoman dan lima orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka karena memanipulasi perizinan impor bawang putih pada 2019.
Dalam kasus ini, KPK menemukan ada alokasi fee Rp 1.700-Rp 1.800 untuk tiap kilogram bawang putih yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, tiap membeli bawang putih, masyarakat menyisihkan Rp 1.700-Rp 1.800 untuk praktik korup itu. Mengacu data Badan Pusat Statistik, volume impor bawang putih Januari-Mei 2019 mencapai 70.834 ton. Dari jumlah ini, Nyoman mematok fee untuk impor 20.000 ton bawang putih.
Selain dugaan suap impor bawang putih itu, KPK juga mengungkap dugaan korupsi impor gula dan impor ikan. Berkaca pada kasus-kasus itu terlihat bahwa korupsi yang dilakukan elite telah membajak hak dasar warga dan membebani daya beli masyarakat.
Bisa jadi, praktik semacam itu juga merusak daya saing ekonomi. Melalui metode korelasi Pearson, ditemukan hubungan yang sangat kuat antara tingkat korupsi suatu negara dan tingkat kebebasan ekonomi. Dengan membandingkan hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2018 dengan Economic Freedom Index 2019, didapati nilai koefisien 0,8.
Skala -1 hingga 0 berarti tak ada hubungan antarvariabel yang dibandingkan, sedangkan 0 hingga 1 menunjukkan ada hubungan, dengan rincian 0-0,25 berarti hubungan sangat rendah, 0,25-0,5 hubungan rendah, 0,5-0,75 hubungan kuat, dan 0,75-1 berarti hubungan sangat kuat. Dari data yang diolah pun diketahui, sejumlah negara, seperti Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia, yang tingkat korupsinya rendah, juga memiliki tingkat kebebasan ekonomi yang baik.
Untuk Indonesia, skor IPK 2018 mencapai 38, sedikit membaik dari nilai 2017 yang mencapai 37. Dari skala 0-100, semakin baik IPK sebuah negara. Sementara itu, untuk Economic Freedom Index 2019, skor Indonesia 65,8 dari 12 dimensi yang diukur. Indonesia memiliki skor terendah terkait integritas pemerintah, yakni hanya 39,5. Kemudian disusul kebebasan berinvestasi dengan skor 45, kebebasan tenaga kerja dengan 49,3, dan efektivitas hukum dengan 53,5.
Faktor lain
Transparency International Indonesia (TII) mencatat, sekitar 70 persen korupsi terjadi pada sektor pengadaan barang/ jasa. KPK menangani 188 kasus korupsi pengadaan barang/jasa sepanjang 2004-2019, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kasus terkait pengadaan barang/jasa, didominasi pengadaan barang/jasa untuk pembangunan infrastruktur.
Modus yang terjadi adalah melakukan lelang terbuka bahkan dengan sistem daring, tetapi pemenang telah diatur. Bahkan, terkadang yang ikut lelang juga perusahaan dari orang-orang yang terkait. Spesifikasinya diatur agar yang bisa ikut perusahaan yang sudah mencapai kesepakatan dengan pejabat daerah atau pusat. ”Ini memberikan dampak buruk yang masif terhadap masyarakat dalam berbagai lini kehidupan,” kata Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko.
Hafiz Akhand dan Kanhaya Gupta dalam buku Economic Development in Pacific Asia (2005) mengungkapkan, celah korupsi muncul karena kompleksnya aturan dan regulasi. Selain itu, ketiadaan transparansi dan akuntabilitas, terutama terkait informasi persaingan harga, juga berpotensi memicu kecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa.
Mereka menyimpulkan korupsi memiliki efek membahayakan bagi kondisi ekonomi, bahkan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Investasi domestik dapat terganggu, sedangkan investasi asing bisa jadi tetap berupaya masuk dengan memanfaatkan maraknya korupsi sehingga justru menggerogoti sumber daya dalam negeri. Bahkan, dalam kondisi terburuk, korupsi dapat mengakibatkan krisis ekonomi.
Ahli ekonomi dari Fakultas Ekonomi Bisnis UGM, Rimawan Pradiptyo, mengatakan, kerugian negara akibat korupsi di Indonesia hingga 2015 mencapai Rp 203,9 triliun. Namun, hukuman finansial hanya Rp 21,26 triliun atau sekitar 10 persen saja.
Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan, upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi akan sia-sia jika korupsi yang dilakukan politisi, kepala daerah, swasta, BUMN, dan penegak hukum hanya diberantas setengah hati.
”Semestinya praktik ekonomi biaya tinggi tidak perlu terjadi, dan masyarakat bisa membeli produk pangan dengan harga lebih murah dan menikmati hasil pembangunan jika tidak terjadi korupsi,” ujar Agus.
Pertanyaannya, bisakah hal itu benar-benar terealisasi?
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.