Pendidikan literasi jauh lebih penting mencegah keluarga prajurit berkomentar di medsos dengan tak semestinya daripada penindakan disiplin yang bisa tinggalkan luka.
JAKARTA, KOMPAS - Kasus pengungkapan pendapat di media sosial oleh tiga istri perwira atau prajurit Tentara Nasional Indonesia terkait penusukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, yang berujung pada pencopotan suami masing-masing dari jabatan militer, merefleksikan literasi digital yang rendah dan krisis empati di publik.
Selain pendekatan dengan perspektif penegakan disiplin kedinasan, bagi kalangan militer, pendidikan komunikasi di era digital perlu menjadi perhatian agar hal serupa tak terulang kembali.
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi di Jakarta, Minggu (13/10/2019), mengatakan, tindakan tiga istri anggota TNI menunjukkan kepekaan dalam berkomunikasi di era digital kurang dimiliki publik, termasuk kalangan keluarga militer. Sebab, anak dan istri prajurit adalah warga sipil yang tidak terlatih dalam berkomunikasi.
”Literasi digital Istri dan anak prajurit belum tentu lebih baik dari warga sipil lainnya. Seperti halnya warga sipil secara umum, mereka memiliki preferensi politik atau pendapat tertentu terkait suatu hal,” kata Khairul.
Untuk itu, kata Khairul, pendidikan dan sosialisasi peningkatan literasi digital paling tepat untuk mencegah keluarga prajurit terjebak narasi-narasi yang terkesan tidak netral, apalagi menyudutkan pihak tertentu. Menurut Khairul, penegakan disiplin lewat pencopotan tiga prajurit TNI akibat komentar istri mereka, di satu sisi akan menimbulkan efek jera. Namun, untuk kepentingan jangka panjang, pendekatan itu sebaiknya dihindari.
”Pendidikan literasi jauh lebih penting untuk mencegah keluarga prajurit berkomentar di medsos dengan tak semestinya. Sebab, penindakan disiplin juga meninggalkan luka bagi keluarga dan jangan sampai hal itu menguatkan perspektif pembelahan di benak mereka,” katanya.
Lebih jauh, Khairul menyatakan, komentar-komentar yang dinilai kurang tepat, serta minim empati, pada dasarnya adalah residu dari kontestasi politik Pemilu 2019. Oleh karena itu, tindakan yang diambil hendaknya seminim mungkin menajamkan perasaan terbelah atau dikotomis dari preferensi politik. ”Literasi digital jadi kunci untuk mencegah keluarga TNI berkomentar yang tak sepatutnya,” ujar Khairul.
Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, menambahkan, postingan tiga istri TNI terkait penusukan terhadap Menkopolkam Wiranto menunjukkan pentingnya perluasan literasi digital di Indonesia. Rata-rata pengguna medsos diakui tidak sadar bahwa medsos adalah ruang privat sekaligus ruang publik.
”Mereka tak sadar unggahan mereka selalu merupakan mode komunikasi antarorang (interpersonal communication), komunikasi kelompok (small group communication), sekaligus komunikasi publik, bahkan komunikasi massa,” kata Agus.
Pengguna medsos, katanya, kerap kali terlambat menyadari unggahannya bisa menyebar ke mana-mana dan menimbulkan dampak publik, bukan hanya bagi pengunggah, melainkan juga orang lain.
Perlu diperkuat
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Sisriadi kemarin menyatakan, walaupun telah melaksanakan berbagai upaya, TNI memang perlu meningkatkan literasi digital. Hal itu karena TNI berada dalam ruang dengan segala dinamika di masyarakat. ”Sebenarnya kita terus sosialisasi lewat berbagai cara, tak putus-putus, tetapi memang perlu dilakukan dengan inovasi,” ujar Sisriadi.
TNI sendiri, kata Sisriadi, sering menyosialisasikan pentingnya pemahaman yang bijak jika bermedsos. Dalam forum-forum sosialisasi yang diisi komandan satuan, materi-materinya bisa dikatakan standar.
Hal senada diungkap Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama TNI Mohammad Zaenal. Pihaknya, terus-menerus menyosialisasikan pemahaman bermedsos. Kepala Dinas TNI AU Marsekal Pertama Fajar Adriyanto juga menyatakan, upaya penguatan literasi digital dilakukan dengan sosialisasi dan penggunaan teknologi.