Mengenyam pendidikan sejak dini, awalnya, hanya sebatas angan bagi anak para pedagang asongan, pengemis, tukang parkir, dan pekerja jalanan di Kota Tegal. Berkat kehadiran PAUD Sakila Kerti, mimpi itu mewujud.
Oleh
KRISTI UTAMI
·5 menit baca
Mengenyam pendidikan sejak usia dini awalnya hanya sebatas angan bagi anak para pedagang asongan, pengemis, tukang parkir, dan pekerja jalanan di Kota Tegal, Jawa Tengah. Berkat kehadiran PAUD Sakila Kerti, mimpi itu mewujud. Harapan generasi penerus yang lebih berpendidikan pun bersemi.
Eka Purwanti (34) dan sejumlah pekerja informal di Terminal Kota Tegal, Jumat (4/10/2019), berkumpul bersama anak-anak mereka di depan sebuah ruangan bekas kantor perusahaan otobus di terminal tersebut. Beberapa bulan terakhir, ruangan itu disulap menjadi tempat belajar-mengajar untuk anak usia dini. Namanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Sakila Kerti yang berarti ’kecerdasan hati’, tetapi orang-orang lebih mengenalnya sebagai PAUD terminal.
Setelah ruangan berukuran sekitar 8 meter x 6 meter itu dibuka, anak-anak pun masuk ”kelas”. Riuh mesin dan klakson kendaraan yang lalu lalang di terminal tak dihiraukan para bocah. Telinga mereka seperti sudah akrab dengan kebisingan.
Riuh mesin dan klakson kendaraan yang lalu lalang di terminal tak dihiraukan para bocah. Telinga mereka seperti sudah akrab dengan kebisingan.
Tak hanya bising, ruang ”kelas” PAUD terminal pun tak semenarik kelas-kelas PAUD pada umumnya. Ruang PAUD biasanya dilengkapi banyak mainan, alat peraga pelajaran yang menarik, atau dinding warna-warni. Namun, PAUD terminal tidak. Jika di PAUD lain ada meja dan kursi untuk belajar, di PAUD terminal, anak-anak belajar beralaskan spanduk bekas.
Karena ruangannya sempit, kegiatan belajar sering harus dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok belajar di dalam ruangan dan kelompok yang lain belajar di luar, tepatnya di teras. Meski begitu, anak-anak ini tetap antusias.
Eka, yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang asongan, mengaku sangat terbantu dengan kehadiran PAUD di Terminal Tipe A Kota Tegal tersebut. Anak ketiganya, Muhammad Ibnu Hakim (3), akhirnya bisa bersekolah PAUD secara gratis.
Dari hasil berjualan kopi saset dan mi cepat saji, Eka setiap hari membawa pulang uang sekitar Rp 40.000. Sementara suami Eka yang bekerja sebagai buruh serabutan rata-rata mendapat upah Rp 80.000. Jika digabung, penghasilan Eka dan suaminya hanya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari keluarga.
”Saya tidak punya uang lebih untuk menyekolahkan Hakim di PAUD lain. Di PAUD lain, biaya sekolahnya sudah setara dengan biaya bulanan anak saya yang bersekolah di SMP, yaitu Rp 350.000,” ujarnya.
Di PAUD lain, biaya sekolahnya sudah setara dengan biaya bulanan anak saya yang bersekolah di SMP, yaitu Rp 350.000.
Saat Hakim bersekolah, Eka bisa memiliki ruang lebih leluasa untuk bekerja. Jika sebelumnya Eka hanya bisa berjualan pada pukul 06.00-08.00, kini dia bisa lanjut berjualan sampai waktu belajar Hakim selesai, yakni pukul 10.00. Dengan begitu, penghasilannya pun bertambah.
Nur Hikmah (35), penjaga toilet umum di Terminal Tegal, juga merasa terbantu dengan adanya PAUD terminal. Sebab, Raffa Rifanda (4), anaknya yang dulu hanya bisa bermain di sekitar toilet karena menemani dirinya, kini bisa bermain dan belajar bersama teman-teman baru yang sebaya. ”Saya senang Raffa bisa belajar bersama anak-anak lainnya. Sekarang Raffa juga sudah bisa bernyanyi dan berdoa,” ucap Nur.
Nur berharap bisa menyekolahkan Raffa setinggi mungkin. Dengan begitu, kelak Raffa bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik dari Nur dan suaminya yang hanya lulusan SD dan SMP.
Ade Setiawati (30), salah seorang pengajar di PAUD terminal, mengatakan, sama seperti di tempat lain, di PAUD terminal, anak-anak diajari untuk mengenal angka, huruf, bernyanyi, menggambar, dan mewarnai. Tak hanya itu, mereka juga diberi pelajaran budi pekerti serta pendidikan keagamaan, seperti berdoa dan baca tulis Al Quran.
”Dengan segala keterbatasan, kami berupaya semaksimal mungkin memberikan akses pendidikan kepada anak-anak. Sebab, melalui pendidikan, anak-anak ini berpotensi membantu memperbaiki perekonomian diri dan keluarganya di masa mendatang,” tuturnya.
Saat ini, menurut Ade, ada sekitar 30 anak yang bersekolah di PAUD terminal. Mereka adalah anak-anak para pekerja jalanan di Terminal Kota Tegal, seperti pedagang asongan, pengemis, tukang parkir, penjaga toilet umum, dan tukang becak. Karena dikhususkan bagi anak-anak pekerja jalanan, tak ada pungutan biaya apa pun bagi anak yang bersekolah di PAUD terminal.
Pengelola sekaligus pendiri PAUD Sakila Kerti, Yusqon, mengatakan, kelas pertama PAUD tersebut dibuka pada Juni 2019. Yusqon mengaku mendirikan PAUD di terminal tersebut untuk membantu memberikan akses pendidikan gratis kepada anak-anak para pekerja jalanan. Selain itu, ia juga ingin menunjukkan bahwa masyarakat pun mampu menyelenggarakan pendidikan.
”Jika ada kemauan, masyarakat bisa menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Tidak perlu menunggu pemerintah. Jadi, konsep PAUD terminal itu dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat,” ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai guru mata pelajaran Akuntansi di SMKN 2 Kota Tegal itu.
Yusqon mengakui, PAUD terminal belum sempurna. Masih ada kendala seperti keterbatasan sarana dan prasarana belajar-mengajar. Dia berharap, selanjutnya PAUD terminal dapat dilengkapi media pembelajaran atraktif, wahana bermain, dengan ruang belajar yang lebih luas. Harapannya, anak-anak bisa belajar dengan nyaman.
Jika ada kemauan, masyarakat bisa menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Tidak perlu menunggu pemerintah. Jadi, konsep PAUD terminal itu dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
Yusqon menuturkan, selama ini dirinya menggunakan uang pribadi dan bantuan donatur untuk membiayai operasional PAUD, seperti membeli media belajar hingga menggaji dua pengajar. Tak hanya PAUD, pria yang sudah bergerak di bidang pendidikan berbasis masyarakat sejak 1995 tersebut juga mengembangkan taman bacaan, Kejar Paket A, B, dan C, serta program pengentasan buta aksara melalui kegiatan baca-tulis Al Quran untuk warga lansia di Terminal Kota Tegal. Semua diselenggarakan gratis.
Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara pernah mengungkapkan, pendidikan adalah tuntunan di dalam tumbuh kembang anak-anak, yakni menuntun segala kekuatan yang ada pada anak-anak berupa potensi agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan serta kebahagiaan setinggi-tingginya. Lewat pendidikan, bocah-bocah terminal itu berharap menapak masa depan lebih terang.