Menyusun Lempeng Perekonomian
Gesekan sesar Palu Koro akibat pergerakan lempeng bumi berujung pada gempa, tsunami, dan likuefaksi hingga akhirnya mematahkan perekonomian di Sulteng untuk beberapa waktu.
Sulawesi Tengah berupaya keras bangkit dari keterpurukan akibat bencana alam. Gesekan sesar Palu Koro akibat pergerakan lempeng bumi berujung pada gempa, tsunami, dan likuefaksi hingga akhirnya mematahkan perekonomian di Sulteng untuk beberapa waktu.
Peristiwa pada akhir September 2018 itu menjadi salah satu bencana terbesar di Indonesia. Serangkaian bencana alam geologi, mulai dari getaran gempa, terjangan air tsunami, hingga likuefaksi tanah, menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa teramat banyak.
Pemerintah Provinsi Sulteng melaporkan terjadinya kerusakan hunian warga sebanyak 110.214 unit yang tersebar di Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong. Selain itu, di empat daerah ini juga terjadi kerusakan fasilitas kesehatan sebanyak 325 unit, 1.299 sekolah, 2.764 tempat ibadah, serta sejumlah sarana perbelanjaan dan infrastruktur. Bahkan, jembatan ”kuning” Ponulele yang menjadi ikon kebanggaan kota Palu pun roboh diterjang tsunami.
Rusaknya bangunan itu juga disertai dengan tewasnya 4.845 jiwa manusia, yang 705 jiwa di antaranya dikabarkan hilang hingga kini. Selain itu, juga menimbulkan gelombang pengungsian karena sejumlah permukiman warga luluh lantak. Hingga akhir April 2019, setidaknya terdapat 400 titik pengungsian yang menampung sekitar 53.000 kepala keluarga, dengan jumlah total pengungsi hingga kisaran 172.000 orang.
Sentra perekonomian
Bencana alam itu berdampak besar bagi kemanusiaan dan berpengaruh signifikan pada perekonomian daerah setempat. Apalagi, dari 13 kabupaten kota di wilayah Sulteng, keempat daerah terdampak bencana itu sebagian adalah sentra perekonomian penting bagi Sulteng.
Sesuai data produk domestik regional bruto (PDRB) Sulteng, setidaknya lima daerah berkontribusi besar bagi perekonomian provinsi ini. Daerah-daerah itu meliputi Kota Palu, Parigi Moutong, Donggala, Morowali, dan Banggai. Kelima daerah ini rata-rata dalam setahun memberikan sumbangan bagi PDRB Sulteng, masing-masing lebih dari 9 persen. Bahkan, kontribusi kota Palu, Donggala, dan Banggai rata-rata lebih dari 12 persen setahun.
Dari kelima daerah sentra ekonomi itu, tiga di antaranya wilayah terdampak bencana, yakni Kota Palu, Donggala, dan Parigi Moutong. Untuk daerah bencana lainnya, yakni Kabupaten Sigi, tetap memiliki kontribusi penting bagi Sulteng karena per tahunnya menyumbang hingga kisaran 6,5 persen bagi kemajuan daerah. Jadi, terpuruknya keempat daerah ini berdampak sangat besar bagi lambatnya kemajuan ekonomi di Sulteng.
Andil bantuan sosial
Keprihatinan sejumlah warga di beberapa lokasi bencana di Sulteng itu mendapat perhatian segenap masyarakat dari berbagai daerah. Berbagai bantuan mengalir untuk meringankan beban warga terdampak bencana. Salah satu indikasinya, terlihat dari pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT), yang meningkat drastis.
Pada 2016 dan 2017, pengeluaran konsumsi LNPRT itu rata-rata per tahun kurang dari 9 persen, atau kurang dari Rp 2,5 triliun. Namun, pada 2018, pengeluaran LNPRT meningkat hingga Rp 16 persen atau berkisar Rp 2,9 triliun. Kenaikan pengeluaran LNPRT ini, salah satunya menunjukkan adanya peningkatan belanja sejumlah lembaga bantuan untuk menolong korban bencana alam.
Meski demikian, melonjaknya belanja LNPRT itu tidak berpengaruh signifikan bagi kemajuan ekonomi Sulteng. Pada 2016-2018, pertumbuhan ekonomi daerah Sulteng bergerak melambat. Pada 2016, PDRB Sulteng mampu tumbuh hingga angka 9,94 persen dan tahun 2017 masih naik mencapai 7,10 persen. Namun, pada 2018 melambat menjadi 6,30 persen.
Penurunan pertumbuhan ini, salah satu indikasinya karena masifnya dampak bencana yang menerjang empat daerah sentra perekonomian di Sulteng. Akibatnya, sejumlah sektor perekonomian tumbuh negatif dari periode sebelumnya.
Produksi yang melambat
Semenjak triwulan I-2017 hingga triwulan II-2019, rata- rata perolehan PDRB Sulteng tiap lapangan usaha terus meningkat. Dari 17 lapangan usaha pembentuk PDRB, hampir semuanya memberikan andil positif, terus naik setiap saat.
Namun, pada triwulan IV-2018 dan triwulan I-2019, sejumlah sektor utama pembentuk PDRB Sulteng menurun. Setidaknya ada 9 lapangan usaha pada triwulan IV-2018 yang menunjukkan pelambatan. Di antaranya, lapangan usaha penting, seperti sektor pertanian, pertambangan, konstruksi, penyediaan akomodasi dan makan minum, jasa keuangan, properti, serta jasa pendidikan.
Pertumbuhan melambat di sejumlah sektor secara bersamaan ini tergolong fenomena langka. Sebelumnya, hanya pernah terjadi notasi perkembangan negatif di sejumlah sektor saja. Itu pun tidak serempak dan dalam jumlah banyak, seperti 9 sektor ini.
Kondisi tersebut mengindikasikan keseriusan efek bencana alam bagi perekonomian daerah. Sebenarnya, rata-rata pertumbuhan year on year (YoY) ekonomi Sulteng di atas 7 persen. Namun, pada triwulan IV-2018, pertumbuhan YoY itu melambat di kisaran 5,37 persen. Dengan demikian, akumulasi pertumbuhan 2018 hanya 6,30 persen. Angka ini merupakan pertumbuhan terkecil sejak 2015 hingga kini.
Konsumsi terpuruk
Mengecilnya laju pertumbuhan juga tak lepas dari kenyataan menurunnya laju konsumsi rumah tangga. Pada 2016-2017, laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga (RT) dalam PDRB sisi pengeluaran rata-rata naik lebih dari 6 persen per tahun, tetapi pada 2018 menurun menjadi kisaran 5 persen.
Hal ini mengindikasikan jika kenaikan konsumsi RT tidak setinggi periode sebelumnya karena disinyalir terdampak bencana sehingga pendapatan masyarakat hilang, terbatas, atau tidak naik. Akibatnya, warga harus menghemat agar tidak mengalami kekurangan.
Apalagi bagi masyarakat terkena bencana yang akhirnya untuk sementara waktu harus mengungsi di posko darurat. Dalam catatan PDRB menurut pengeluaran di Sulteng, komponen utama pendorong perekonomian daerah adalah konsumsi masyarakat. Akibat bencana alam, pengeluaran konsumsi masyarakat melemah, sehingga kontribusinya bagi kemajuan daerah menurun.
Pada 2016 dan 2017, pengeluaran konsumsi masyarakat Sulteng rata-rata mencapai lebih dari 49 persen dari seluruh PDRB. Namun, pada 2018, struktur konsumsi masyarakat bagi PDRB hanya menyumbang sekitar 48 persen. Penurunan ini mengisyaratkan dampak bencana alam pada pelemahan daya beli masyarakat.
Memulihkan daya beli
Bencana alam geologi setahun silam di Sulteng menimbulkan sejumlah kerusakan dan kerugian yang nilainya sangat besar. Estimasinya mencapai Rp 24,15 triliun yang tersebar di Kota Palu Rp 6,98 triliun; Sigi Rp 11,06 triliun; Donggala Rp 4,41 triliun; dan Parigi Moutong Rp 1,69 triliun. Segala kerusakan itu perlu segera direhabilitasi agar pulih kembali seperti sedia kala. Dana untuk perbaikan permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi, dan lintas sektor mencapai kisaran Rp 36,43 triliun.
Sejumlah tahapan sudah dilaksanakan, terutama memulihkan daya beli masyarakat yang terdampak bencana. Beberapa penanganan yang sedang dilakukan adalah pembangunan hunian sementara (huntara); bantuan santunan duka; penyediaan jaminan hidup; pemberian stimulan kepada masyarakat yang huniannya terdampak dengan kategori rusak berat, ringan, dan sedang; relokasi pembangunan hunian tetap terhadap warga korban likuefaksi dan tsunami; serta rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas umum dan sosial.
Untuk huntara, yang sudah selesai dibangun Kementerian PUPR tercatat 699 unit, serta 10.767 unit yang dibangun BUMN dan LSM asing. Dana stimulan yang sudah disalurkan bagi masyarakat yang rumahnya rusak berat mencapai Rp 235,54 miliar.
Dana stimulan yang belum terealisasi diprediksi masih sekitar Rp 2,34 triliun. Bantuan jaminan hidup bagi warga terdampak di Kota Palu, Sigi, dan Donggala mayoritas sudah terealisasi bantuannya. Hanya saja masih ada beberapa warga di Kota Palu yang belum terdata secara lengkap sehingga masih menunggu proses administrasinya. Sejumlah bantuan sementara ini merupakan tahapan awal penanganan sekaligus transisi memasuki fase operasional pemulihan.
Segala proses operasional pemulihan pascabencana tersebut tersebut mulai dilaksanakan sejak triwulan II-2019 dan diperkirakan selesai pada akhir 2020. Dengan berakhirnya tahap pemulihan nanti, diharapkan kehidupan masyarakat terdampak bencana lebih baik lagi. Setidaknya, masyarakat sudah bermukim di lokasi yang lebih aman dari kerawanan bencana.
Segala upaya pemulihan tersebut berdampak positif mendongkrak konsumsi masyarakat yang berimbas positif pada perekonomian Sulteng. Pada triwulan II-2019, PDRB Sulteng sudah tumbuh YoY sebesar 6,62 persen. Angka ini meningkat lebih besar dari pertumbuhan YoY pada saat bencana terjadi pada triwulan IV-2018 yang sebesar 5,37 persen.
Kini, dengan besaran pertumbuhan sebesar 6,62 persen, Sulteng berada pada tiga besar dalam perekonomian Pulau Sulawesi, di bawah Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Pelan tapi pasti, Sulteng mulai bangkit dari keterpurukan akibat bencana alam.
(Budiawan Sidik A, Litbang Kompas)