Rumah tradisional di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terbukti tahan gempa dibandingkan dengan rumah berdinding bata. Trauma gempa menyisakan keinginan sebagian masyarakat kembali ke rumah asli. Namun, keinginan itu tak mudah diwujudkan.
”Sebenarnya, kami ingin kembali ke rumah yang dulu. Rasanya lebih nyaman,” ujar Maryam (50) kepada Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas sembari memandangi tukang yang tengah membuat fondasi rumah beton bantuan pemerintah. Maryam adalah salah satu korban gempa di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Namun, seperti keinginan sejumlah warga lain, tak mudah mendirikan lagi rumah adat di kampung mereka.
Gempa berturut-turut pada Juli-Agustus 2018 masih menyisakan trauma pada diri Maryam. Rumah berdinding batako berukuran kurang dari 36 meter persegi runtuh diguncang gempa. Beruntung, tak ada korban jiwa dari keluarganya pada peristiwa itu.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan, gempa bermagnitudo 6,4 yang mengguncang Lombok pada 29 Juli 2018 mengakibatkan 20 orang meninggal dengan kerusakan bangunan hingga 10.000 unit. Selanjutnya, gempa bermagnitudo 7 pada 5 Agustus 2018 mengakibatkan 564 orang meninggal dan 216.489 rumah rusak.
Dari 10 rumah adat yang tersisa di Bayan, semuanya utuh dan masih tegak berdiri kendati dihajar gempa berulang-ulang. Sementara di sekeliling rumah adat, terutama rumah yang berdinding bata, sebagian retak-retak, bahkan ada yang runtuh sama sekali.
Rumah adat di Bayan seluruhnya berbahan kayu dan bambu. Adapun atap rumah adat berbahan alang-alang dan dinding rumah terbuat dari bilah bambu yang dijalin rapi. Dinding bambu tersebut didirikan di atas bongkahan batu yang ditata sedemikian rupa sebagai fondasi.
Menurut Karyadi, Pejabat Kepala Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, banyak warga yang menginginkan rumah mereka dibangun menggunakan bahan kayu layaknya rumah adat. Namun, tak mudah mendapat bahan-bahan alami untuk membangun rumah adat tersebut.
”Pemerintah belum bisa menjamin ketersediaan bahan baku rumah adat tersebut. Di satu sisi, masih ada kekhawatiran bakal terjadi perusakan hutan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan rumah adat,” ucap Karyadi.
Desa adat lainnya di Kecamatan Bayan, yakni Desa Senaru, juga terbukti tangguh dari guncangan gempa. Dari 20 rumah adat di desa tersebut, tak satu pun yang rusak dari hantaman gempa. Rumah yang beratap alang-alang, berdinding bambu, dan ditopang dengan tiang dari kayu itu masih tegak berdiri.
”Saya kapok dan ingin kembali lagi ke rumah asli (rumah adat). Rumah yang saya tinggali sekarang sudah hancur,” kata Sardi (27), salah satu warga Desa Senaru.
Stigma
Karyadi mengakui, rumah adat di mata pemerintah dianggap sebagai rumah yang tak layak huni. Apalagi, bantuan korban gempa untuk membangun kembali rumah yang rusak mensyaratkan rumah harus dibangun dengan dinding bata dan berlantai semen. Sebagian besar masyarakat juga berpandangan bahwa rumah berdinding bata dan berlantai semen lebih modern.
Nirahat (60), warga Desa Segenter di Kecamatan Bayan, membenarkan bahwa sebagian warga di desanya merasa malu tinggal di rumah adat. Rumah asli di Segenter juga terbuat dari kayu, berdinding bambu, dan beratapkan alang-alang. Mendiami rumah semacam itu, katanya, dianggap masih miskin dan tertinggal. Padahal, tak satu pun rumah asli di Segenter rusak akibat gempa beberapa waktu lalu.
Meski demikian, tak mudah bagi warga untuk membangun lagi rumah asli seperti warisan nenek moyang mereka. Salah satu penyebabnya adalah kian menipisnya bahan baku kayu dan alang-alang yang menjadi material utama untuk mendirikan rumah adat di Lombok. Atap alang-alang mengharuskan diganti setidaknya setiap 5-7 tahun sekali. Untuk menyiasatinya, sebagian warga mengganti atap alang-alang dengan seng yang lebih murah dan awet.
Rumah berugak atau rumah adat di Segenter butuh setidaknya 50 ikat alang-alang. Harga per ikat bisa mencapai Rp 75.000. Padahal, setiap 5 atau 7 tahun atap alang-alang itu harus diganti. Dengan atap seng, menurut Nirahat, bisa awet sampai 20 tahun dengan harga yang lebih murah.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTB Ahsanul Khalik mengakui, perencanaan pembangunan di NTB belum ramah pada pengurangan risiko bencana. Terkait keinginan warga untuk membangun rumah dengan konstruksi atau arsitektur tradisional, menurut dia, hal itu juga belum bisa diakomodasi.
”Sampai saat ini, kita belum punya hasil pengujian yang disahkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, kalau rumah tradisional kita masuk kategori rumah tahan gempa,” kata Ahsanul.
Bagi Staf Ahli Menteri Pariwisata Bidang Arsitektur Anneke Prasyanti, struktur rumah tradisional relatif tahan gempa lantaran di setiap rangkaian bangunan kayu terdapat ruang. Ruang tersebut menciptakan elastisitas saat terjadi guncangan akibat gempa. Dengan demikian, kata Anneke, struktur bangunan tidak menjadi kaku dan relatif tahan terhadap guncangan akibat gempa. (ZAK/NIT/LUK)