Indonesia berupaya menangkap peluang investasi asing di tengah kondisi likuiditas global yang berlimpah. Salah satunya dengan menawarkan skema penyertaan saham untuk pembiayaan proyek infrastruktur.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berupaya menangkap peluang investasi asing di tengah kondisi likuiditas global yang berlimpah. Salah satunya dengan menawarkan skema penyertaan saham (equity financing) untuk pembiayaan proyek infrastruktur.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong mengatakan, potensi resesi ekonomi global direspons sejumlah bank sentral negara-negara maju dengan suntikan likuiditas tambahan. Situasi itu membuka peluang bagi Indonesia untuk mengarahkan likuiditas global ke instrumen investasi proyek infrastruktur.
Likuiditas global diperkirakan kembali melimpah setelah Bank Sentral Uni Eropa memutuskan kembali memulai program cetak uang setiap bulan (quantitative easing). Langkah itu untuk merespons lebih dari 15 triliun dollar AS saham obligasi dengan suku bunga negatif. Likuiditas darurat juga dikucurkan bank sentral AS, The Fed, senilai 100 miliar dollar AS.
”Likuiditas global mencukupi, tetapi bagaimana agar likuiditas itu bisa disalurkan dari (investasi) dana pensiun dan asuransi ke proyek-proyek yang menawarkan imbal hasil atraktif,” kata Thomas dalam acara penandatanganan perjanjian pendahuluan (head of agreement) proyek yang difasilitasi PINA Center for Private investment, di Jakarta, Senin (14/10/2019).
Menurut Thomas, investasi proyek infrastruktur yang ditawarkan harus menarik, terutama dari sisi prospek dan imbal hasil. Untuk itu, skema pembiayaan dan bagi hasil harus disusun secara detail dengan tetap mempertimbangkan kondisi masing-masing proyek. Tujuannya menumbuhkan keyakinan investor terlibat dalam pembiayaan infrastruktur Indonesia.
Dengan skema penyertaan saham, investor asing bisa ikut membiayai pembangunan sejumlah proyek infrastruktur nasional. Modal diberikan dalam bentuk investasi saham ke anak perusahaan atau pengelola infrastruktur dalam negeri.
”Skema pembiayaan kreatif ini semakin mendesak mengingat target penerimaan pajak akan terpeleset tahun ini,” kata Thomas.
Skema pembiayaan kreatif diperlukan karena kebutuhan dana infrastruktur tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Kapasitas fiskal APBN semakin ketat seiring risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik dan global. Realisasi penerimaan pajak dipastikan tidak mencapai target.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, skema penyertaan saham jadi pembiayaan infrastruktur yang tengah diprioritaskan pemerintah. Skema penyertaan modal itu ditawarkan untuk proyek infrastruktur jalan tol, pelabuhan, dan kelistrikan.
”Modal yang masuk adalah investasi atau saham. Nantinya investor dan perusahaan akan menentukan pembagian dividen sesuai aktivitas pembiayaan infrastruktur yang mendatangkan keuntungan,” kata Bambang.
Skema pembiayaan infrastruktur dengan skema penyertaan saham dinilai lebih menguntungkan ketimbang penerbitan obligasi (debt financing). Perusahaan atau pengelola infrastruktur tidak terbebani pembiayaan dan bunga utang sehingga neraca keuangan terjaga. Namun, skema penyertaan saham dalam proyek infrastruktur ini terbilang baru sehingga cukup menantang.
Proyek terbaru
Proyek infrastruktur terbaru yang dibiayai dengan skema penyertaan saham adalah jalan tol ruas Probolinggo-Banyuwangi sepanjang 172,91 kilometer. Proyek dengan nilai investasi Rp 23,39 triliun itu dilakukan antara PT Jasa Marga (Persero) Tbk dan PT China Communication Construction Indonesia (CCCI).
Chief Executive Officer of the Non-Government Budget Investment Financing (PINA Center for Private Investment) Eko Putro Adijayanto mengatakan, kepemilikan saham pemerintah atas proyek infrastruktur itu sebesar 51 persen. Sisa saham baru dibagi dengan skema business to business antara PT Jasa Marga dan PT CCCI.
Skema penyertaan saham menimbulkan efek berganda. Dengan skema itu, perusahaan atau pengelola infrastruktur tidak akan dibebani masalah peningkatan utang terhadap ekuitas (debt to equity). Selama ini kendala pembangunan infrastruktur menyebabkan debt to equity meningkat karena pembiayaan bersumber dari utang.
”Dengan penambahan ekuitas, neraca keuangan perusahaan akan semakin baik untuk mengembangkan proyek-proyek berikutnya,” ujar Eko.
Alokasi pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 sebesar Rp 4.667 triliun. Pada RPJMN 2020-2024, alokasi pembiayaan infrastruktur meningkat 23 persen menjadi Rp 6.174 triliun. Dari estimasi pembiayaan infrastruktur itu, sekitar 40 persen bersumber dari APBN, sementara 60 persen non-APBN.
Adapun pembiayaan infrastruktur yang difasilitasi PINA Center for Private Investment hingga Oktober 2019 sebanyak 29 proyek senilai Rp 630 triliun. Saat ini investor utama proyek infrastruktur, antara lain PT Taspen, BPJS Ketenagakerjaan, dan Canada Pension Plan Investment Board.
Direktur Pengembangan Usaha PT Jasa Marga (Persero) Tbk Adrian Priohutomo menambahkan, skema penyertaan saham jadi alternatif pembiayaan infrastruktur yang tidak terlalu membebani neraca perusahaan. Ke depan diharapkan terjalin kolaborasi yang lebih agresif untuk mempercepat realisasi sejumlah proyek.