JAKARTA, KOMPAS — Kesetaraan jender dalam relasi keluarga merupakan salah satu pondasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Hal tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pembagian peran suami dan istri dalam mengerjakan aktivitas kehidupan keluarga, termasuk praktik pengasuhan dalam rangka perlindungan anak.
Oleh karena itulah, setiap keluarga dituntut untuk menjalankan kehidupan sehari-hari dengan cara kemitraan peran jender. Sebab, kemitraan peran jender antara suami istri dalam pembagian peran dan pengambilan keputusan, akan mempermudah dalam melakukan semua fungsi keluarga.
“Perempuan Indonesia mempunyai peranan yang sangat besar baik di sektor publik maupun domestik, serta sosial kemasyarakatan,” ujar Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu, saat mewakili Menteri PPPA pada Seminar Nasional “Kesetaraan Gender dan Ketahanan Keluarga Menuju Sumber Daya Manusia Unggul, Indonesia Maju” di Auditorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Senin (14/10/2019).
Selain Pribudiarta, tampil sebagai pembicara kunci Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo.
Menurut Pribudiarta, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan dan berekspresi sesuai hati nuraninya, termasuk pilihan dalam balancing work and family. Perempuan dan laki-laki dapat meraih dua hal sekaligus dalam hidupnya yaitu sukses dalam karir dan keluarganya. Untuk mewujudkan hal tersebut, kemitraan jender suami istri menjadi menjadi kunci.
Perempuan dan laki-laki dapat meraih dua hal sekaligus dalam hidupnya yaitu sukses dalam karir dan keluarganya. Untuk mewujudkan hal tersebut, kemitraan jender suami istri menjadi menjadi kunci.
Ada sejumlah pendekatan kesetaraan jender yang dapat diterapkan dalam keluarga. Misalnya, membiasakan kerja sama dalam menjalankan peran antara anggota keluarga, kerja sama antara anak dan orang tua dalam melakukan tugas dan kewajiban keluarga.
Meski berperan sebagai faktor penentu utama dalam banyak hal di dalam kehidupan rumah tangga, menurut Hasto, perempuan menghadapi berbagai persoalan. Selain problem kesehatan di usia lanjut, saat ini banyak perempuan yang bercerai. Data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung bahwa sekitar 70 persen gugatan perceraian dilakukan perempuan. Penyebab perceraian adalah tidak harmonis, ekonomi, cemburu, tidak bertanggung jawab, dan ada pihak ketiga
Tidak hanya itu, jumlah janda di Tanah Air juga lebih besar dibandingkan duda. Kondisi tersebut menyumbang angka kemiskinan. “Ke depan ini menjadi bagian penting untuk kita perhatikan. Tentu LIPI bisa meneliti berapa kontribusi ketika rumah tangga di mana perempuan jadi kepala keluarga jadi sumber kemiskinan,” kata Hasto.
Indeks Pembangunan Keluarga
Saat ini, BKKBN saat ini melakukan sensus untuk mendapatkan Indeks Pembangunan Keluarga (IPK) untuk mendapatkan gambaran peran dan fungsi keluarga di Indonesia. IPK tersebut nantinya menjadi dasar bagi pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan/program agar tepat sasaran. Dimensi yang diukur dalam IPK adalah ketenteraman, kemandirian, dan kebahagiaan.
“Nanti pemerintah punya indikator baru dalam bentuk potret, profil keluarga, maka indikator baru menjadi senjata bagi pemerintah untuk melakukan treatment. Ibaratnya pemerintah tahu diagnosis sebenarnya tentang keluarga. Selama ini diagnosisnya lebih banyak data makro, untuk keluarga belum,” ujarnya.
Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan, jika nanti pemerintah memiliki data per keluarga maka diharapkan penanganan berbagai persoalan akan lebih terarah dan tepat sasaran. Bantuan yang diberikan akan sesuai kebutuhan keluarga, tidak sama semua.
Bonus demografi
Adapun isu kesetaraan jender dan ketahanan keluarga, menurut Tri Handoko, menjadi penting mengingat bonus demografi yang akan dinikmati pada periode 2020-2035. Karena itulah, peran perempuan dalam membangun sumber daya manusia dalam keluarga tidak bisa diabaikan.
Apalagi, berbagai kajian menunjukkan bahwa kontribusi perempuan dalam membangun sumber daya manusia telah dimulai sejak 1.000 hari pertama kehidupan, mengawali tumbuh kembang anak dan remaja, hingga siap memasuki dunia kerja. Tak hanya itu, menurut Handoko, sejumlah data statistik juga memberikan gambaran tentang peran perempuan.
“Saat ini persentase usia kerja antara laki-laki dan perempuan berada dalam posisi yang berimbang. Hal ini menunjukkan posisi perempuan sebagai penghasil pendapatan keluarga cukup signifikan. Namun di sisi lain terdapat tantangan yang harus dihadapi dengan meningkatnya peran perempuan ini, yakni munculnya disharmonisasi keluarga,” ujar Handoko.
Agustina Situmorang, Peneliti Senior Pusat Kependudukan LIPI memaparkan selama lima tahun terakhir LIPI melakukan penelitian tentang “Perubahan Keluarga dan Perilaku Kesehatan di Era Globalisasi” dan penelitian “Social, Economic and Political Change and Family Pattern in Reformasi Indonesia” (2104) menemukan bahwa sejumlah perubahan terkait keluarga dan perempuan. Misalnya, meningkatnya jumlah penduduk usia 35 tahun ke atas yang belum menikah, namun ada juga fenomena peningkatan perkawinan anak pada tahun 2015.