Presiden Joko Widodo menghadapi tantangan untuk membentuk kabinet pemerintahan yang tidak tersandera kepentingan oligarkis partai-partai politik.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menghadapi tantangan untuk membentuk kabinet pemerintahan yang tidak tersandera kepentingan oligarkis partai-partai politik. Profesionalitas kabinet yang lebih didominasi oleh menteri-menteri dari kalangan profesional itu dipertaruhkan di tengah penjajakan koalisi partai pendukung pemerintah yang semakin gemuk.
Presiden Jokowi memiliki desain penyusunan kabinet dengan komposisi 55 persen menteri dari kalangan profesional dan 45 persen dari kalangan partai politik. Komposisi kabinet yang menitikberatkan pada menteri profesional itu sudah diterapkan Jokowi di periode pertama pemerintahannya, dengan komposisi 21 menteri profesional dari total 34 menteri.
Akan tetapi, meski berulang kali mengklaim tidak memiliki beban di periode kedua pemerintahannya ini, Presiden Joko Widodo berpotensi tetap tersandera kepentingan elite partai di sekitarnya. Perkembangan lobi-lobi politik terbaru menunjukkan, keinginan Jokowi membentuk kabinet profesional itu akan menjadi tantangan tersendiri.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 9-10 Oktober 2019, sebesar 56,6 persen responden menilai, pemilihan menteri di kabinet pemerintahan periode kedua Jokowi-Ma\'ruf Amin lebih banyak dipengaruhi oleh faktor transaksi politik dibandingkan keputusan independen Presiden sendiri. Hanya 29,9 persen responden yang menilai Jokowi bisa memilih menterinya secara independen. Tidak hanya itu, sebanyak 50,2 persen responden juga memandang sosok menteri dari partai politik akan cenderung lebih banyak menjalankan visi-misi partai.
Itu semakin dipersulit karena Jokowi tidak hanya harus mengelola kepentingan partai-partai koalisi pendukung pemerintahannya sejak Pemilihan Umum 2019 lalu, tetapi juga partai-partai non-pendukung pemerintah yang saat ini sedang berusaha merapat, seperti Partai Gerindra dan Partai Demokrat.
Pasca-pertemuan antara Jokowi dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (10/10/2019) lalu, sinyal merapatnya Gerindra ke pemerintah semakin menguat. Setelah bertemu Jokowi, Minggu (13/10/2019) malam, Prabowo juga bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Jakarta.
Sebelumnya, Prabowo juga sudah bertemu dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pada 24 Juli 2019. Dalam pertemuan itu, kedua tokoh itu juga menunjukkan sinyal-sinyal menjajaki kerja sama untuk lima tahun ke depan.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, lobi-lobi antara Gerindra dengan pemerintahan Jokowi-Ma\'ruf sampai saat ini masih difinalkan. Gerindra sudah menawarkan konsep program di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi, bidang pertahanan keamanan, serta di bidang ekonomi.
”Kalau konsep kami diterima, Presiden nanti yang akan menentukan, bidang mana saja yang dimaksud itu,” kata Dasco saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Jika konsepnya diterima, Prabowo akan menentukan nama-nama yang akan diajukan untuk mengisi kursi menteri terkait. Menurut Dasco, masih ada dua kemungkinan, antara Gerindra mengajukan sosok profesional non-kader atau mengajukan kader Gerindra sendiri untuk menduduki posisi tersebut.
”Itu sepenuhnya nanti tergantung Pak Prabowo,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto meyakini, jika Jokowi dan para ketua umum partai pendukungnya memutuskan memperluas koalisi, tidak akan ada konteks bagi-bagi kekuasaan yang mengancam profesionalitas kabinet.
”Kami percaya dialog politik yang akan dilakukan Presiden dengan ketua umum partai untuk memfinalkan (kabinet) dalam beberapa hari ke depan ini akan mencapai titik keseimbangan itu,” ujarnya.
Hasto menilai, komposisi kabinet tidak perlu ditempatkan dalam dikotomi menteri partai versus menteri profesional. Menurut dia, selain memiliki profesionalitas dan kompetensi di bidangnya, idealnya seorang menteri juga harus memiliki dukungan kuat di parlemen agar program pemerintah lebih lancar dijalankan.
”Menteri profesional jika tidak memahami bagaimana menjalin hubungan dengan DPR juga akan mengalami kendala. Kami tidak setuju dengan dikotomi menteri profesional versus menteri partai karena kader-kader partai juga sosok yang profesional di bidangnya,” kata Hasto.
Peneliti Center for Strategic and International Studies Arya Fernandes menilai, kebutuhan akan pembentukan kabinet pemerintahan yang didominasi menteri dari kalangan profesional semakin mendesak di tengah kondisi Presiden yang terdesak kekuatan partai-partai.
Jika Jokowi ingin menjalankan program-program di periode kedua pemerintahannya dengan lancar serta meninggalkan warisan yang membekas, ia pertama-tama harus memprioritaskan pengisian kabinetnya dengan menteri-menteri dari kalangan profesional.
”Karena tidak akan maju lagi, Jokowi justru semakin membutuhkan kabinet yang profesional agar fokus dan komitmen terhadap agenda pemerintah. Menteri-menteri dari partai relatif akan disibukkan urusan membesarkan partai dan punya konflik kepentingan,” kata Arya.
Menurut Arya, Jokowi perlu meningkatkan posisi tawarnya dan mengambil alih kontrol di periode kedua pemerintahannya. Ia seharusnya tidak perlu tersandera partai-partai di sekitarnya karena sudah tidak akan maju lagi di Pemilu 2024.
Penyeimbang
Adapun dengan sinyal bergabungnya Gerindra ke pemerintahan Jokowi-Ma\'ruf, kekuatan partai pendukung pemerintah di parlemen akan semakin menguat, sementara kekuatan penyeimbang semakin melemah. Sejauh ini, baru Partai Keadilan Sejahtera yang tegas memosisikan diri sebagai kekuatan penyeimbang terhadap pemerintah.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor mengatakan, ketika partai-partai politik tidak bisa lagi diandalkan menjadi kekuatan penyeimbang untuk pemerintah, peran publik dan elemen masyarakat sipil yang kritis menjadi sangat penting. Peluang muncul dalam bentuk aktivisme dan kepedulian politik masyarakat yang belakangan ini sedang menguat.
”Di sini, peran partai penyeimbang harus kuat, serta memiliki hubungan kuat dengan elemen masyarakat sipil, media, mahasiswa, dan masyarakat akar rumput. Kekuatan publik di luar parlemen ini bisa jadi kekuatan ketiga yang menjadi penyeimbang bagi penguasa,” kata Firman.