Hujan deras pada Sabtu (19/7/2019) malam tak menghalangi Supriyanto, petugas Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai Taman Nasional Rinjani, Nusa Tenggara Barat, mencari sumber suara celepuk rinjani (Otus jolandae) di tepian hutan Desa Kembang Kuning, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur. Hanya berbekal senter, ia tak memedulikan kucuran air hujan membasahi hampir sekujur tubuhnya.
”Seharusnya tidak susah mendapati celepuk di sini,” tutur Supriyanto, yang tampak dibayangi sedikit kecemasan tidak bisa mengantarkan tamunya, Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas, memotret sosok sang celepuk. Hujan deras malam itu mengharuskan tim bersabar menunggu sang celepuk bertengger di dahan yang mudah untuk dipotret. Sorotan lampu senter menyeruak di sela-sela rimbun pepohonan di hutan Kembang Kuning.
”Pwookk....” Suaranya datar saja, tak semerdu dan semeriah kicauan burung-burung peliharaan manusia. Seperti halnya satwa lain yang aktif di malam hari, dua matanya bulat kekuningan menghadap ke depan dengan tatapan yang tajam. Hiasan sepasang bulu yang meruncing di atas kedua mata kian mengesankan kegagahan sang celepuk rinjani.
Hampir terancam
Seperti halnya burung hantu (pungguk), celepuk rinjani juga memiliki sorot mata yang khas dan warna bulu burik. Dari postur tubuh, burung hantu memiliki ukuran yang lebih besar daripada ukuran celepuk. Rata-rata panjang celepuk 20-23 sentimeter. Lantaran banyak kemiripan secara fisik, untuk membedakan spesies celepuk, ilmuwan mengelompokkannya sampai ke tingkat perbedaan suara.
Kendati diidentifikasi sebagai jenis baru pada 2013, jenis celepuk ini pernah ditemukan oleh Alfred Everett, naturalis asal Inggris, pada 1896 di kawasan yang sekarang ditetapkan sebagai Taman Nasional (TN) Gunung Rinjani. Status burung ini, berdasar daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN), adalah hampir terancam (near threatened). Status tersebut diberikan kepada spesies yang mungkin ada pada kondisi terancam untuk punah.
Sejauh ini, pengamatan populasi celepuk rinjani oleh Balai TN Gunung Rinjani hanya di dua lokasi, yaitu di hutan Kembang Kuning dan di hutan Senaru di Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Temuan terbanyak ada di Kembang Kuning yang mencapai 242 ekor pada Januari sampai Juni 2019. Pada periode yang sama, hanya ditemukan 14 ekor di Senaru.
”Temuan tertinggi ada di tahun 2018 di mana dijumpai 249 ekor celepuk rinjani di kawasan Kembang Kuning dan 19 ekor di kawasan Senaru,” tutur Dian Sulastini, Pengendali Ekosistem Hutan Balai TN Rinjani.
Seperti halnya burung lain, celepuk rinjani juga berperan penting dalam sebuah ekosistem. Jenis ini adalah pemakan serangga dan belalang. Bahkan, beberapa jenis dalam famili ini adalah pemburu tikus, binatang yang dianggap sebagai hama oleh petani, yang paling efektif.
Struktur sayap yang unik pada burung jenis ini menghasilkan kepakan yang senyap atau nyaris tak bersuara. Keunggulan tersebut kian mematikan bagi mangsanya dengan tambahan ketajaman pandangan mata di malam yang gelap gulita, plus cakar yang setajam mata pisau.
”Burung ini gemar memakan serangga pemakan daun. Cukup membantu petani,” tutur Nasrudin (45), salah satu warga yang tinggal di tepian hutan Desa Pesanggrahan dekat kawasan TN Gunung Rinjani.
Celepuk rinjani benar-benar mengandalkan kelestarian hutan sebagai habitatnya. Di kawasan TN Gunung Rinjani, burung ini bisa ditemukan di wilayah dengan ketinggian 25- 1.350 meter di atas permukaan laut. Berkurangnya luasan hutan akibat penebangan liar dan alih fungsi kawasan mengancam kelestarian burung endemik ini.
Burung ini juga memberi inspirasi bagi ilmu pengetahuan, seperti yang dialami Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris yang menjelajah Nusantara pada 1854-1862. Setelah menyeberang ke Lombok dari Bali pada 1856, ia berkirim surat kepada Samuel Stevens, rekannya di Inggris. Ia menulis bahwa meskipun tanah di Bali dan Lombok sama, ketinggian dan iklim serupa, jenis burungnya sangat berbeda. Keunikan itu menginspirasi Wallace tentang teori seleksi alam. (APO/NIT/LUK)