Tiga Hari Jelang "Kematian" KPK, Presiden Tak Kunjung Terbitkan Perppu
Dalam tiga hari ke depan, 17 Oktober 2019, saat Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi mulai berlaku, maka upaya pemberantasan korupsi pun mulai terhambat.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam tiga hari ke depan, 17 Oktober 2019, saat Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi mulai berlaku, maka upaya pemberantasan korupsi pun mulai terhambat. Untuk itu, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu oleh Presiden Joko Widodo diyakini masih menjadi satu-satunya pilihan yang rasional untuk menyelamatkan pemberantasan korupsi.
Namun tiga hari menjelang "kematian" KPK akibat pemberlakuan undang-undang yang baru, Presiden Joko Widodo tak kunjung menunjukkan tanda-tanda bakal menerbitkan Perppu KPK. Padahal dalam pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat usai demonstrasi mahasiswa besar-besaran menolak beberapa UU dan RUU kontroversial di sejumlah kota besar, Presiden sempat mempertimbangkan bakal mengeluarkan Perppu KPK.
“Kami masih berharap ada kebijakan dari Presiden untuk menunda dahulu UU (KPK hasil revisi) ini berlaku, apakah dengan Perppu atau cara lain. Karena memang terlalu banyak kesalahan di dalamnya, salah satunya nanti ada Dewan Pengawas yang berwenang menyetujui penyitaan, penggeledahan, bahkan penyadapan” ujar Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, saat ditemui di Gedung Pusat Edukasi AntiKorupsi, Jakarta, Senin (14/10/2019).
Menurut Laode, yang paling berbahaya dari UU KPK yang baru bahwa pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum, sehingga hanya bersifat administratif. Sementara Dewan Pengawas yang berwenang memberi izin atas penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan pun tidak memiliki status yang jelas, sehingga bisa dianggap ilegal.
“Inilah akibat dari pembuatan UU yang terburu-buru dan sembunyi-sembunyi jadi banyak kesalahan. Seperti Pak Alexander Marwata (Wakil Ketua KPK) pernah mengatakan bahwa UU KPK yang baru itu sama dengan membuat baju tanpa mengukur orang yang akan memakai baju. Saya pikir itu analogi yang pas,” kata dia.
Apabila memang UU KPK tetap akan berlaku, maka sebisa mungkin akan disesuaikan dengan standar operasional prosedur yang berlaku saat ini. Laode menjelaskan, saat ini para pimpinan KPK pun terus berdiskusi dengan internal bagian penindakan dari KPK agar tidak terjadi pertentangan dalam menjalankan upaya pemberantasan korupsi berdasarkan UU KPK baru.
Secara terpisah, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menjelaskan bahwa secara umum, semua ketentuan di UU KPK yang baru itu memang akan langsung berlaku, kecuali yang menyangkut kewenangan Dewan Pengawas karena diatur dalam Pasal 69D.
Memang dalam pasal 70C UU KPK hasil revisi disampaikan, pada saat UU ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU ini.
Namun, khusus untuk tugas dari Dewan Pengawas, dalam Pasal 69D dikatakan bahwa sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah.
Artinya, selama Dewan Pengawas belum dibentuk maka penyidik tidak memerlukan izin dari siapa pun, termasuk pimpinan KPK, dalam penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan. Sebab, pimpinan KPK pun per tanggal 17 Oktober 2019 bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum.
“Mereka (Pimpinan KPK) tidak lagi memiliki kewenangan pro justitia atau kewenangan penegak hukum sehingga semua (penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan) bisa dilakukan oleh penyidik dan penuntut secara langsung,” ujar Oce.
Meski begitu, ada implikasi berupa hukuman pidana bagi penyidik yang diatur dalam Pasal 12D ayat (2) dan (3) bahwa hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK wajib dimusnahkan seketika. Apabila tidak dilaksanakan, pejabat dan/atau orang yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oce menilai, Pasal 12D ini menimbulkan kebingungan karena tidak diatur secara jelas siapa yang bewenang menentukan bahwa hasil penyadapan tidak terkait dengan penanganan kasus. Tidak diatur pula kapan harus dimusnahkan dan bagaimana bentuk dari hukuman pidana yang akan diterima oleh penyidik.
Rasionalitas penerbitan perppu
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz menyampaikan, Perppu menjadi langkah paling rasional untuk menunda atau membatalkan UU KPK hasil revisi. Memang ada upaya judicial review di MK atau melalui legislative review oleh DPR, namun akan memakan waktu lama dan tidak pasti.
“Ini kan persoalan rasionalitas saja, Perppu itu prosesnya cepat untuk menyelamatkan UU KPK. Tapi, kalau Perppu saja lama keluarnya, bagaimana melalui dua jalur lainnya (judicial review dan legislative review),” kata Donal.
Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable, Firmansyah Arifin mengatakan, penerbitan Perppu akan memberikan kepastian hukum terhadap KPK secara kelembagaan. Sebab, masih terlalu banyak implikasi yuridis yang harus direspon oleh Presiden dan KPK untuk mengefektifkan UU KPK baru, yang tidak mungkin dilakukan dalam jangka waktu pendek.
“Setidaknya perlu dua atau tiga tahun untuk memastikan semua peraturan pendukung tersebut ada, padahal KPK harus terus bekerja tanpa menunggu kekosongan hukum,” ujar Firmansyah.
Selain itu, Firmansyah menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensiil, bukan parlementer, sehingga posisi konstitusional Presiden sangat kuat. Oleh karena itu, Presiden harus mandiri dan memiliki posisi yang jelas di hadapan parlemen untuk mempertahankan kebijakannya dalam menerbitkan Perppu KPK untuk menyelamatkan asa pemberantasan korupsi.