Manusia Indonesia
Saya tidak tahu apakah auktor intelektualis demonstrasi yang mengandalkan dalih ”kebebasan berpendapat” sebagai indikator demokrasi, lalu memprovokasi massa untuk unjuk rasa yang berujung kekerasan, adalah sosok manusia Indonesia atau bukan. Saya juga tidak tahu apakah penelusuran DNA manusia Indonesia secara antropo-biologis menunjukkan bahwa kita keturunan makhluk kejam yang tega mengorbankan sesama demi kepentingan sendiri.
Saya ragu apakah mereka sebenar-benarnya manusia Indonesia atau hanya manusia yang semula ”menumpang hidup” dan kemudian ”ingin menguasai” negeri ini. Bak benalu yang menancap kuat di pepohonan dan akhirnya mematikan sang pohon yang menghidupinya. Saya juga tidak tahu apakah kita keturunan makhluk Tuhan yang berhak menguasai dan melakukan apa saja.
Jadi, siapakah manusia Indonesia itu? Apakah mereka yang ”mendorong” remaja belia, yang berpikiran pendek, untuk beringas dan berbenturan dengan aparat?Jangan-jangan sayalah yang bukan manusia Indonesia. Orangtua saya, mertua saya, juga kakek-nenek saya, yang berasal dari beragam budaya Nusantara ini, mengajarkan bahwa dalam hidup ini manusia itu harus berbuat baik bagi sesama. Kalau bertindak, apalagi melibatkan orang lain, harus dipikirkan masak-masak.
Dari ajaran mereka, saya memahami bahwa berbuat baik adalah kewajiban. Saya juga belajar bahwa jika hendak berbuat baik harus ikhlas, bukan karena ada tawaran ganjaran dunia dan akhirat. Ganjaran yang mungkin akan saya dapatkan ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Adil, bukan oleh manusia.
Saya tidak tahu apakah saya memiliki hak untuk mencitrakan diri saya sebagai Manusia Indonesia. Apakah menginginkan kehidupan yang serba harmonis dan berisikan kebaikan sudah jadi delusi dan halusinasi?
Saat ini, tampaknya kita tidak bisa lagi hidup dengan ”rasa” (afeksi) dan menjaga keseimbangan antara kerja nalar dan hati. Kita harus serba pragmatis, ”tega”, dan kalau perlu berlaku ”kejam” siap mengorbankan sesama. Inikah gambaran manusia Indonesia saat ini? Sungguh, saya merasa terasing di negeri sendiri.
Zainoel B Biran Perumahan Dosen UI Ciputat, Tangerang Selatan
Halo PT Pos
Minggu, 18 Agustus 2019, kami alumni SMAN 3 Yogyakarta—lulusan 1956-1958— yang berdomisili di Jakarta mengadakan acara reuni. Undangan dalam amplop biasa, total 55 buah, kami kirim pada 1 Agustus 2019 memakai jasa pos dengan prangko Rp 4.000. Ini sesuai penjelasan petugas Kantor Pos Pembantu Pondok Bambu untuk pengiriman dalam kota.
Ternyata banyak undangan tersebut yang baru diterima setelah 18 Agustus 2019. Akibatnya, acara reuni jadi sepi. Tiga teman yang tinggal satu kompleks di Cipinang Jaya dan tiga teman lain yang tinggal satu kompleks di Perumahan TNI AU Jati Waringin Permai masing-masing hanya satu orang yang menerima undangan sebelum 18 Agustus.
Logikanya, karena satu kompleks, petugas pos yang mengantar surat tentunya sama sehingga seharusnya semua undangan juga diterima pada saat yang bersamaan. Beberapa teman lain yang tersebar di Jakarta juga menerima undangan setelah 18 Agustus. Sebaliknya teman yang tinggal di Pulo Gebang, Cipayung, dan Pejompongan sudah menerima undangan seminggu sesudah 1 Agustus.
Bagaimana ini bisa terjadi? Surat pos dengan prangko cukup dan dikirim dalam kota memerlukan waktu lebih dari 18 hari untuk sampai. Kami yang rata-rata sudah berusia 80 tahun tidak mempunyai cukup dana untuk mengirim undangan dengan kilat khusus yang berbiaya Rp 9.000.
Mohon PT Pos Indonesia memperbaiki kinerja layanan yang buruk itu.
Pramono Kompleks Billy & Moon,Jakarta Timur