Warga Desa Tial, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, membuka jalur evakuasi mandiri yang dapat digunakan bila terjadi gempa besar yang berpotensi tsunami.
Oleh
FRANSIKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Warga Desa Tial, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, membuka jalur evakuasi mandiri yang dapat digunakan jika terjadi gempa besar yang berpotensi tsunami. Hal ini membuktikan tumbuhnya kesadaran masyarakat setempat hidup di tanah rawan bencana.
Pantauan Kompas pada Senin (14/10/2019), jalur evakuasi yang mulai dibuka satu pekan lalu itu kini telah mencapai 1 kilometer. Jalur itu berbentuk busur. Dimulai dari ujung perkampungan yang berada di pesisir pantai, lalu menuju ketinggian, kemudian turun lagi ke pesisir di sisi perkampungan lain. Lebar jalur itu sekitar 6 meter sehingga dapat dilewati kendaraan beroda lebih dari empat.
Samuraja Devinubun, Sekretaris Negeri (Desa) Tial, mengatakan, panjang keseluruhan jalur itu sekitar 2 kilometer. Setelah dibuka dengan bantuan alat berat, warga secara swadaya menimbun jalan dengan pasir dan batu. Anggaran yang diperlukan sekitar Rp 190 juta, yang bersumber dari dana desa. Warga yang lahannya dilewati jalur itu tidak menuntut ganti rugi.
Menurut dia, gempa bermagnitudo 6,5 pada 26 September 2019 itu membuat warga trauma hingga saat ini. Setelah gempa, warga yang khawatir akan terjadi tsunami kocar-kacir mencari jalan menuju ketinggian.
”Sementara tidak ada jalan ke sana. Hanya ada jalan setapak yang sempit dan menanjak tajam. Warga juga belum pernah dilatih melakukan penyelamatan diri saat gempa. Syukur, gempa itu tak berpotensi tsunami,” kata Samuraja.
Desa Tial yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Ambon itu berada di pesisir. Permukiman penduduk berjejer di pesisir sepanjang lebih kurang 1,5 km. Permukiman merentang sekitar 300 meter di antara kaki bukit dan pesisir pantai. Desa Tial terhubung langsung dengan Laut Banda.
”Menurut cerita turun-temurun, di desa ini dulu pernah terjadi gempa besar dan tsunami. Itu yang membuat kami sangat khawatir,” katanya.
Bakancing
Gempa pada 26 September 2019 menyebabkan 3.768 jiwa di desa itu mengungsi. Satu orang luka berat akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Sebanyak 121 rumah penduduk rusak berat, 135 rumah rusak sedang, dan 122 rumah rusak ringan. Selain itu, sebanyak 4 sekolah rusak sedang dan 2 rumah ibadah rusak sedang.
”Hampir semua bangunan yang rusak itu terbuat dari beton,” ujar Gusti Rolobessy, sukarelawan penanggulangan bencana di desa itu.
Padahal, di desa tersebut dan banyak desa lain di Maluku memiliki kearifan lokal dalam hal mitigasi bencana gempa. Kearifan lokal tersebut adalah membangun rumah tahan gempa yang dalam bahasa lokal disebut rumah bakancing. Hampir semua konstruksi rumah itu terbuat dari kayu. Pada dindingnya dipasang anyaman bambu kemudian dipelester dengan kapur. Untuk sambungan kayu digunakan pasak.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, surat kabar di Belanda, Algemeen Handelsblad, pada 16 April 1938 mengingatkan pentingnya bangunan tahan gempa di Ambon.
Dalam koran itu, Pemerintah Hindia Belanda tidak mengizinkan berdirinya bangunan batu besar di Ambon. Tinggi bata rumah yang diizinkan tidak boleh lebih dari 1 meter. Itu setelah gempa besar yang melanda Ambon beberapa kali sehingga banyak bangunan beton milik Belanda rusak parah.
Sebagian besar rumah bakancing yang ditemukan Kompas terakhir dibangun pada tahun 1970-an. Rumah itu masih awet berdiri di antara rumah-rumah beton yang roboh diguncang gempa. Ada rumah bakancing yang usianya hampir 100 tahun.
Sebenarnya tidak sulit bikin rumah bakancing. Hanya saja orang-orang sekarang menganggap kalau buat rumah bakancing itu ketinggalan zaman.
”Sebenarnya tidak sulit bikin rumah bakancing. Hanya saja orang-orang sekarang menganggap kalau buat rumah bakancing itu ketinggalan zaman,” kata Salam Lastaluhu (76), mantan tukang bangunan di Ambon.
Gempa berkurang
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin mengatakan, gempa susulan masih terus terjadi dalam 19 hari terakhir. Hingga Senin (14/10) pukul 19.30 WIT, total gempa susulan 1.522 kali dengan guncangan terasa 176 kali. Jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya, intensitas gempa semakin berkurang.
Total gempa susulan sebanyak 244 kali sehari pascagempa hingga tujuh kali di hari ke-19. ”Kekuatan gempa susulan lebih kecil dibandingkan gempa pertama. Warga jangan panik dan terpengaruh dengan isu dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” kata Andi.