Balkondes, Magnet Kedua Borobudur
Di balik kemegahan Candi Borobudur terselip kekayaan Balai Perekonomian Desa yang berarsitektur tradisional dan difungsikan sebagai homestay di Kecamatan Borobudur.
Candi Borobudur, warisan budaya bangsa Indonesia, menjadi magnet yang kuat untuk mendatangkan wisatawan. Di balik kemegahan candi yang tak habis dikupas tuntas, terselip kekayaan bangunan-bangunan berarsitektur tradisional yang difungsikan sebagai homestay di Kecamatan Borobudur.
Dalam 2,5 tahun terakhir, 20 bangunan berbentuk joglo - rumah khas Jawa - didirikan di 20 desa. Rumah joglo yang berfungsi sebagai tempat berkumpul dan restoran itu dikelilingi oleh bangunan-bangunan tradisional lain difungsikan sebagai tempat penginapan
Kompleks bangunan yang berdiri di tanah milik setiap desa itu disebut Balai Perekonomian Desa atau Balkondes. Balkondes-balkondes tersebut dibangun sebagai tanggun jawab sosial 20 perusahaan Badan Usaha Milik Negara untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa di Kecamatan Borobudur.
Joglo sebagai bangunan utama di posisi depan menjadi daya tarik utama bagi wisatawan untuk datang dan berfoto di rumah tradisional tersebut. Dengan bentuk yang terbuka lebar di bagian tengah, rumah joglo juga mengundang para wisatawan untuk duduk dan menikmati hidangan yang disuguhkan di rumah makan di dalam joglo tersebut.
Rumah joglo juga difungsikan sebagai tempat penjualan barang-barang kerajinan rakyat dan produk pertanian yang dihasilkan masyarakat setempat. Dengan halaman yang luas, area di sekitar rumah joglo juga sering digunakan untuk berbagai keperluan lain, mulai dari ajang arisan, reuni, resepsi pernikahan, sampai pergelaran musik
Hadirnya Balkondes membuat kawasan Borobudur memiliki alternatif tempat wisata selain Candi Borobudur. Balkondes juga menjadi pilihan bagi wisatawan yang sudah bosan menginap di Yogyakarta dan ingin menikmati suasana Borobudur dari pagi sampai malam.
Bisnis perhotelan di seputaran Candi Borobudur memang semakin marak. Tak sedikit, rumah-rumah penduduk “disulap” fungsinya menjadi penginapan yang disebut homestay. Sayangnya, penginapan-penginapan itu masih sangat bergantung pada event-event di seputaran Candi Borobudur, seperti Borobudur Marathon, pementasan musik, pentas budaya, pergelaran wayang, maupun kegiatan komunitas lainnya.
Direktur Manajemen CBT Nusantara (MCN), selaku operator Balkondes, Jatmika Budi Santoso menyatakan, kehadiran Balkondes memberi warna baru bagi masyarakat Candi Borobudur. Intinya, pemerataan ekonomi berbasis pariwisata.
“Balkondes-balkondes yang dibangun itu adalah bangunan fisik sebagai pusat pengolahan potensi desa. Secara arsitektur, Balkondes dibangun dengan menyesuaikan kondisi tanah desa yang berbeda-beda,” tegas Jatmika.
Mengacu pada potensi yang dimiliki setiap desa, aktivitas Balkondes juga didasarkan pada kearifan lokal. Inilah yang sesungguhnya menjadi daya tarik, meskipun menjangkau sebagian Balkondes tidaklah mudah.
Balkondes Kenalan, misalnya, terletak di ketinggian lebih dari 400 meter di atas permukaan laut, tepatnya di kaki Pegunungan Menoreh. Boleh jadi, Balkondes ini yang terjauh dari Candi Borobudur. Lokasinya yang terletak 14 kilometer dari Candi Borobudur itu merupakan tanggung jawab sosial atau CSR dari Bank Mandiri. Letaknya dekat perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Papan penunjuk yang sangat minim membuat perjalanan menuju ke sana menjadi tidak mudah. Namun, apabila bermalam di balkondes ini, pengunjung akan mendapat suguhan pemandangan matahari terbit di Bukit Gondopuro Wangi dan air terjun Curug Pitulasan.
Di lokasi tersebut, deretan homestay berbentuk rumah joglo berada di perbukitan. Terbayang, mentari terbenam. Tinggal kesunyian dan suara gesekan pepohonan, serta binatang-binatang kecil yang terdengar. Mirip dengan Balkondes Bigaran di desa terdekatnya.
Jatmika mengatakan, “Setiap Balkondes digarap secara berbeda-beda. Tujuannya agar bisa mendongkrak tingkat hunian dan lamanya tinggal di homestay. Selama ini, lamanya tinggal masih menjadi masalah bagi pengelolaan Balkondes.”
Berbagai solusi dicari, termasuk mendorong adanya event-event yang mendatangkan pengunjung. Borobudur Marathon, misalnya, menjadi ajang kegiatan massal yang mendatangkan pengunjung luar biasa. Bahkan, beberapa bulan sebelum lomba lari skala internasional ini, homestay maupun hotel sudah banyak dipesan.
Selain Borobudur Marathon, digelar juga ajang musk jazz yang diberi nama Balkonjazz. Balkondes Tuksongo menjadi lokasi penyelenggaraan Balkonjazz tersebut.
Keunikan homestay di balkondes-balkondes terlihat dari arsitektural bangunannya. Balkondes Tuksongo lebih menyerupai rumah-rumah warga desa. Bangunan sederhana, tetapi dengan sentuhan kemewahan di bagian dalamnya. Balkondes dari CSR Telkom Indonesia itu juga menyediakan fasilitas teknologi infomasi seperti wifi.
Hamdan, staf pengelola Balkondes Tuksongo, mengatakan, “Homestay ini diinspirasi oleh kerajaan Majapahit. Hampir setiap sudut penginapan ini sengaja ditanami pohon buah maja.”
Panorama alam yang mengitari Balkondes ini bukan hanya pegunungan, tetapi juga keberadaan sawah dan kebun, seperti kebun tembakau. Bangunan khas dan panorama pedesaan menghadirkan tema “kembali ke desa” di Balkondes ini. Apalagi, kata Hamdan, warga desa juga dilibatkan dalam menyajikan kuliner khas desa, seperti oseng-oseng, mi lethek, kue ongol, cenolan, dan sebagainya.
Tak jauh dari Candi Borobudur, Balkondes Borobudur di Desa Borobudur boleh dibilang menjadi pilot project CSR BUMN. Proyek percontohan Balkondes ini kini juga memiliki homestay dengan pemandangan pepohonan jati. Memanfaatkan kayu-kayu desa setempat, sebanyak 23 unit penginapan itu memiliki tiga tipe kamar sesuai kebutuhan, mulai dari single, couple hingga family.
Arsitektur bangunannya tetap menunjukkan bentuk rumah panggung. Kontur bilik-bilik kayu dipertahankan sebagai gambaran rumah pedesaan yang mirip rumah warga pedesaan. Penginapan ini relatif tidak terlampau jauh dengan rumah warga desa setempat.
Dari penelusuran Kompas, kekhasan bangunan joglo sangat mendominasi, seperti juga terlihat dari Balkondes Candirejo, Ngadiharjo, Wanurejo, Wringin Putih, Karanganyar, Karangrejo, Majaksingi, Tanjungsari, Bigaran, Bumiharjo, Kebonsari, Ngargogondo, dan Giri Tengah. Sementara, Balkondes Saka Pitu (Tegal Arum) lebih mengedepankan arsitektural homestay yang berbeda dan terkesan modern dan Balkondes Kembang Limus menyajikan arsitektural Balkondes yang alami dengan perpaduan material bambu dan jerami.
Jatmika tak menampik bahwa arsitektural bangunan modern, seperti Balkondes Saka Pitu di Desa Tegal Arum yang didukung Angkasa Pura II, justru menjadi homestay yang paling happening alias menakjubkan. Bagi masyarakat Jawa, bangunan berbentuk joglo sudah biasa dikenal dan dimiliki masyarakat. Justru, Balkondes Saka Pitu memberikan sentuhan lain.
“Enggak heran, bangunan yang sangat happening membuat okupansinya sangat tinggi. Padahal, posisinya di ujung, sekitar 4 kilometer dari Candi Borobudur. Bangunannya berkualitas bagus, compact dan tidak terlalu ribet. Bahkan, orang bilangnya, Balkondes Saka Pitu sangat kekininan dan instagramable,” kata Jatmika.
BUMN menyadari, tidaklah mudah merealisasikan bangunan joglo, antara lain joglo Pesisiran dan Kudusan, sebagai kekhasan setiap balkondes. Selain sulit, membutuhkan waktu lama dan biaya sangat tinggi. Joglo Kudusan saja, minimal mencapai lebih dari Rp 1 miliar per unit. Biaya perawatannya pun akan sangat tinggi. Sedangkan, masyarakat dinilai belum terbiasa merawatnya.
Seluruh balkondes itu merupakan hasil CSR BUMN. Kemudian, aset ini diserahkan sepenuhnya ke pemerintah desa dan dikelola oleh badan usaha milik desa (BUMDes). Sementara, MCN sebagai anak perusahaan BUMN diberikan tugas pendampingan agar seluruh balkondes dan homestay ini bisa berjalan dan terstandardisasi dengan baik, serta mandiri.
Kehadiran Balkondes-Balkondes semestinya bisa menjadi “magnet” kedua bagi kawasan Borobudur. Para pengunjung dapat lebih dekat dengan warga desa, menikmati keindahan alam, sekaligus merasakan suasana kesunyian untuk sejenak meninggalkan hiruk-pikuk dan keramaian kota.