AS Ingin Muhammadiyah Terus Menyuarakan Nasib Muslim Uighur
Pemerintah Amerika Serikat mengangkat masalah pelanggaran hak asasi manusia terhadap komunitas muslim di dunia dalam pertemuan dengan Muhammadiyah. Salah satunya adalah nasib komunitas Uighur di China
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Amerika Serikat mengangkat masalah pelanggaran hak asasi manusia terhadap komunitas muslim di dunia dalam pertemuan dengan Muhammadiyah. Salah satu topik utama bahasan adalah warga Uighur di Xinjiang, China. Organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia didorong agar terus menyuarakan masalah ini.
Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph R Donovan bertemu Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir di Jakarta, Selasa (15/10/2019). Donovan membahas sejumlah masalah yang menimpa warga Muslim di dunia, seperti diskriminasi warga Uighur dan persekusi yang dialami warga Rohingya di Myanmar.
“Saya menyampaikan kecemasan kami atas masalah yang terjadi di Uighur dan Kazakhstan yang memberi dampak kepada lebih dari satu juta orang. Kami mendorong Muhammadiyah untuk terus menyuarakan tindakan represif tersebut,” kata Donovan, seusai pertemuan.
Menurut dia, kondisi di Xinjiang semakin mengkhawatirkan. Sejumlah lembaga organisasi HAM, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, bahkan telah bersurat kepada PBB yang menyatakan tindakan diskriminatif yang dialami warga Uighur merupakan pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah.
Pertemuan itu terjadi setelah AS memberlakukan pembatasan visa terhadap pejabat di China yang dinilai bertanggung jawab atas tindakan represif yang terjadi terhadap warga Uighur pada 9 Oktober 2019. Warga Uighur yang kebanyakan beragama Muslim merupakan kelompok minoritas di China.
AS juga tengah berselisih dengan China terkait masalah perdagangan sejak 2018. Kedua negara adidaya ini sedang dalam proses negosiasi guna menemukan solusi.
Seperti yang diketahui, China menjadi sorotan dunia setelah dikabarkan membuat kamp untuk menahan dan melakukan indoktrinasi kepada warga Uighur di Xinjiang. KBRI China di Indonesia telah mengeluarkan tanggapan bahwa kamp tersebut untuk program pelatihan dan pelatihan vokasi.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, sebuah lembaga independen diperlukan untuk membuktikan mengenai dugaan pelanggaran yang terjadi kepada warga Uighur. Hal ini diperlukan guna mencegah masalah pelanggaran HAM dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh pihak tertentu.
“Yang pasti, kami menegaskan, Muhammadiyah mengecam segala tindakan pelanggaran HAM yang terjadi dimanapun oleh siapapun. Persoalan HAM sekarang terjadi dimana- mana, seperti Yaman, Myanmar, dan belahan dunia lainnya,” tutur Abdul.
Saya menyampaikan kecemasan kami atas masalah yang terjadi di Uighur dan Kazakhstan yang memberi dampak kepada lebih dari satu juta orang. Kami mendorong Muhammadiyah untuk terus menyuarakan tindakan represif tersebut
Adapun Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang telah berkunjung ke Xinjiang pada awal 2019.
Menurut Abdul, penyelesaian masalah diskriminasi dan persekusi terhadap etnis atau agama tertentu dalam beberapa kasus memerlukan keterlibatan masyarakat internasional. AS juga dapat berkontribusi.
“AS melalui PBB bisa memberikan pengaruh kepada Pemerintah Myanmar agar melakukan langkah politik, misalnya, untuk mencari solusi mengenai Rohingya. Demikian juga AS dapat menjadi jembatan atas konflik yang terjadi Yaman,” tuturnya.
Kunjungan biasa
Donovan menyampaikan, kunjungan ke Muhammadiyah merupakan kunjungan biasa untuk berkonsultasi dan berdiskusi dengan pemimpin organisasi dan lembaga agama di Indonesia. Menurut dirinya, rencana kunjungan ini telah muncul sejak awal tahun.
“Rencana kunjungan sudah lama. Tetapi, selama ini tidak pernah ada jadwal yang sesuai,” kata Donovan, yang juga akan mengunjungi kantor PB Nahdlatul Ulama (NU) pada Rabu (16/10/2019).
Abdul melanjutkan, perwakilan AS dan Muhammadiyah tidak bicara mengenai kondisi Muslim di dunia saja. Mereka juga membahas masalah nasional, seperti pengembangan Islam moderat di Indonesia dan konflik di Papua.
“Kami menyatakan dukungan atas pembangunan Universitas Islam Internasional di Indonesia. Soal Papua, kami sampaikan bahwa penyelesaian memerlukan pendekatan politik, sosial, ekonomi, dan budaya,” ucap Abdul. (REUTERS)