Mengatur Asap Liar Rokok Elektrik
Keberadaan rokok elektrik atau vape masih terus menyisakan polemik di sejumlah negara. Bukan dari sisi bisnisnya, melainkan dari sisi kesehatan. Ketidakjelasan aturan hukum menjadikan vape dikonsumsi tanpa kriteria terukur, dengan berbagai akibat pada konsumennya.
Vape kembali menjadi sorotan dunia setelah beberapa waktu lalu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluarkan pernyataan terkait bahaya penggunaan rokok elektronik ini. Dilansir dari media VOA, ”Orang-orang sekarat karena vaping, termasuk anak- anak,” ujar Presiden Trump, Rabu (11/9/2019).
Saat itu, Pemerintah AS sedang menggelar pertemuan di Oval Office untuk membahas rokok elektrik. Dilaporkan sebelumnya, sekurangnya ada enam warga AS yang tewas akibat mengisap vape. Laporan dari The Center for Disease Control and Prevention (CDC) mengungkap, tak kurang dari 450 orang lainnya jatuh sakit dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir. Mereka mengalami gejala sama, seperti demam, sesak napas, batuk, nyeri dada, muntah, dan diare.
Langkah tegas pun diambil Pemerintah AS untuk mengatasi persoalan tersebut. Negara Bagian Michigan, misalnya, menjadi yang pertama melarang penjualan vape. Beberapa negara bagian lain, seperti New York, California, dan Massachusetts, berencana mengikuti langkah tersebut.
Vape mengandung zat toksik dan zat bersifat karsinogen (pemicu kanker). Di dalam cairan rokok elektrik juga terdapat zat berbahaya, di antaranya logam berat, formaldehida, aldehida, silikat, nanopartikel, dan particulate matter (PM). Selain itu, kandungan nikotin yang terdapat pada vape juga sangat mengkhawatirkan karena mengaktifkan hormon dopamin yang memantik rasa candu. Berbeda dengan rokok tembakau biasa, tingkat adiktif nikotin tersebut lebih kurang setara dengan heroin atau kokain.
Apa yang terjadi di Amerika Serikat tampaknya juga sudah ditemukan di Indonesia. Beberapa kasus penyalahgunaan rokok elektrik dengan memodifikasi untuk penggunaan narkoba pernah diungkap pihak berwajib. Pada Oktober 2018, polisi mengungkap kasus cairan vape yang mengandung ganja ataupun ekstasi.
Di Indonesia, euforia vape baru dimulai sekitar 2010. Saat itu kebanyakan orang masih awam dengan vape sehingga penggunaannya juga belum masif seperti saat ini. Vape mulai dikenalkan orang Indonesia yang pulang dari luar negeri dan membeli set alat rokok elektronik ini.
Pada awal kemunculannya, banyak orang yang percaya bahwa vape merupakan alternatif pengganti rokok konvensional. Citra merokok lebih aman dan sehat pun tak terelakkan tersemat pada rokok elektrik ini. Tak sedikit pula orang yang beranggapan rokok elektrik dapat menjadi alternatif terapi untuk berhenti merokok.
Dalam waktu singkat, penggunaan vape menjadi tren, terutama di kalangan anak muda. Sesuai data Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), diperkirakan hingga 2018, pengguna vape di Indonesia tidak kurang dari 1,2 juta orang. Sebuah riset dari Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta pada akhir 2018 menemukan bahwa prevalensi remaja pengguna vape mencapai 11,9 persen. Dengan kata lain, 1 dari 8 remaja merupakan pengguna vape.
Hasil riset lebih lanjut mengungkap, 51,6 persen remaja pengguna vape merupakan perokok aktif. Sementara sekitar 27,5 persen lainnya sudah berhenti merokok dan 20,9 persen bukan perokok (gateway). Temuan kajian ini cukup mengkhawatirkan karena terbukti branding positif yang melekat pada rokok elektrik menjadi alasan pembenaran, bahkan untuk para pemula merokok.
Komponen vape
Rokok elektrik, biasa disebut vaporizer (alat penguap) atau vape, merupakan rokok dengan sistem kerja elektrik bertenaga baterai yang berbasis pembakaran. Rokok elektrik memanaskan cairan, lalu cairan itu menghasilkan uap untuk diisap. Teknik pembakaran inilah yang membedakan vape dengan rokok tembakau konvensional.
Secara umum, sistem kerja sebuah vape yang banyak beredar di pasaran tersusun setidaknya dari beberapa bagian besar. Bagian atas terdapat driptip yang menjadi corong untuk mengisap uap. Kemudian terdapat bagian utama vape yang disebut mod. Fungsi mod tak lain menampung baterai dan rangkaian komponen elektrik lainnya.
Pada sistem pemanasan terdapat bagian penting yang disebut atomizer, yang juga terdiri atas beberapa jenis dan cara pemakaiannya berbeda-beda. Jenis atomizer yang lazim ditemui antara lain rebuildable dripping atomizer (RDA) dengan penyimpanan liquid menggunakan kapas. Sementara untuk jenis rebuildable tank atomizer (RTA), pengisian liquid dilakukan pada tank khusus.
Terakhir adalah rebuildable dripping tank atomizer (RDTA). Jenis ini bisa dibilang gabungan dari dua jenis sebelumnya sehingga penggunaan liquid vape bisa dilakukan dengan menetes pada kapas atau ditampung pada tank khusus.
Vape memiliki beberapa model, di antaranya jenis pen, portabel, dan desktop. Perbedaan di antara ketiga jenis ini terletak pada bentuk ataupun spesifikasi sistem elektrifikasinya. Seperti namanya, vape model pen merupakan alat isap yang paling simpel bentuknya, layaknya sebuah pulpen.
Tak jauh berbeda meski berukuran lebih besar, model portabel pun tergolong nyaman dan praktis dibawa (handled vaporized). Kedua rokok elektrik ini memakai sistem elemen pemanas cartomizer, yang mana komponen cairan yang dipanaskan tidak bersentuhan langsung dengan elemen pemanasnya karena cairan ditaruh dalam wadah khusus (cartridge).
Sementara untuk jenis vape desktop bentuknya jauh lebih besar dari kedua jenis lainnya. Vape model ini dapat menghasilkan panas yang lebih maksimal sehingga uap dari hasil pembakaran cairan vape pun menghasilkan rasa lebih kuat. Hanya saja, model vape desktop ini tidak dikonsep praktis untuk dibawa bepergian.
Cairan vape
Liquid atau cairan vape merupakan campuran kimia dan juga mengandung nikotin. Bahan dasar pembuatnya dari propylene glycol (karakter cair) dan vegetable glycerin (karakter kental). Bahan-bahan kimia termasuk nikotin cair seluruhnya dicampur dengan takaran bervariasi sesuai dengan kebutuhan. Tidak lupa pula dicampur bahan perasa. Tak heran, kini sudah ada berbagai varian rasa cairan vape.
Bisa dibilang tren vape melonjak tajam dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, sejak 2017 polemik pengaturan rokok elektrik terus mencuat. Hingga pada 2018, pemerintah menetapkan kebijakan untuk menarik cukai tembakau pada liquid vape senilai 57 persen per 1 Oktober 2018. Dasarnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Pengenaan tarif cukai tinggi, di mana negara di Asia rata-rata hanya pada kisaran 20 persen, membuat keputusan tersebut seakan makin memantapkan legalitas rokok elektrik. Bahkan, menurut perhitungan Ditjen Bea Cukai, ada potensi penerimaan negara hingga Rp 6 triliun dari potensi liquid vape ini.
Keputusan pemerintah ini memang cukup beralasan jika melihat geliat bisnis vape yang sangat seksi. Saat ini, diperkirakan ada 3.500 toko vape yang tersebar di seluruh Tanah Air. Harga jual Pod Sistem Vapor Rp 300.000-Rp 2.000.000. Sementara untuk harga liquid vape dipatok mulai dari Rp 100.000-Rp 180.000 per 60 ml untuk buatan lokal dan kisaran Rp 200.000-Rp 300.000 per 60 ml untuk cairan vape impor.
Legalisasi pemerintah lewat kebijakan penarikan pajak cukai cairan ini memang juga menuai sawala publik. Bukan hanya karena kehadiran vape dipandang dapat merusak pasar rokok tembakau konvensional, melainkan juga terkait dengan penjaminan keamanan produk yang beredar. Pengawasan pemerintah akan hal ini masih sangat longgar.
Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan untuk mengatur vape sebagai produk tembakau dan turunannya. Meski demikian, pengaturan terkait produksi, pemasaran dan pembatasan belum secepatnya bisa dilakukan karena harus berkoordinasi dengan lintas instansi terkait.
Mulai 1 Januari 2020, pemerintah berencana menaikkan tarif cukai rokok 23 persen dan harga jual eceran 35 persen. Langkah ini berarti akan menjadi peluang besar bagi rokok elektrik menjadi primadona alternatif para pengisap nikotin.
Sejauh ini kebijakan pemerintah hanya berdasarkan pada pendekatan penerimaan negara, bukan pada konsumsi, keamanan produk, dan kesehatan konsumen. Pada ranah inilah, pemerintah seharusnya bisa bersikap lebih tegas.(Litbang Kompas)