Musik dan Buku Papua di "Ubud Writers and Readers Festival"
Karya musik dan buku tentang Papua akan diluncurkan pada Ubud Writers and Readers Festival 2019. Peluncuran karya ini merupakan penghormatan terhadap aktivis Papua Pater Neles Tebay.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Musik dan buku yang berisi persepektif orang Papua akan diluncurkan pada Ubud Writers and Readers Festival atau UWRF 2019. Kedua karya ini merupakan penghormatan terhadap aktivis Papua mendiang Pater Neles Tebay.
Neles Tebay merupakan seorang pastor, cendekiawan, aktivis, dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur di Abepura, Papua. Ia juga tercatat sebagai salah satu pendiri Yayasan Tifa. Ia juga koordinator Jaringan Damai Papua yang vokal mendorong terjadinya dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan masalah Papua.
Pada Agustus 2017, Neles ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk membantu pemerintah berdialog dengan masyarakat Papua. Ia yang lahir pada 13 Februari 1964 di Kabupaten Dogiayi, Papua, meninggal pada 14 April 2019 karena sakit.
“Buah pemikiran Pater Neles ditulis dalam buku berjudul Dialog Jakarta-Papua, Sebuah Perspektif Papua. Buku itu diterbitkan pada 2009 dan akan kami terbitkan versi terjemahannya menjadi Jakarta-Papua Peace Dialogue, A Papuan Perspective,” kata salah satu pendiri Yayasan Tifa, Debra Yatim, di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Buku terjemahan tersebut akan diluncurkan pada penyelenggaraan UWRF 2019 di Ubud, Bali pada 23-27 Oktober 2019. UWRF merupakan festival literasi dan kesenian yang diadakan setiap tahun.
Mengutip dari laman resmi UWRF, tahun ini ada lebih dari 180 penulis, jurnalis, seniman, dan aktivis yang terlibat. Para peserta berasal dari 30 negara. “Ide penerbitan ulang buku Pater Neles sempat membuat ragu. Saya khawatir substansi dalam buku ini sudah tidak kontekstual dengan keadaan sekarang. Namun, pemikiran Pater Neles masih relevan karena pemikirannya belum pernah diamalkan,” kata Debra.
Mengutip dari Dialog Jakarta-Papua, Sebuah Perspektif Papua, permasalahan Papua melibatkan pemerintah dengan masyarakat di sana. Konflik bermula setelah Indonesia menguasai Papua pada 1 Mei 1963.
Konflik berujung pada kerusuhan massal di Papua dan Papua Barat yang sifatnya vertikal dan horizontal. Konflik vertikal berarti warga berhadapan dengan aparatur negara yang berlatar belakang kepentingan politik, sosial, ekonomi, atau budaya. Sementara itu, konflik horizontal merujuk pada kerusuhan massa yang berawal dari gesekan antarwarga di luar tanah Papua (Kompas, 31/8/2019).
Menurut aktivis perdamaian dan pendeta Jacky Manuputty, mendiang Neles telah menggagas dialog Jakarta-Papua selama lebih dari 20 tahun. Gagasan ini ia nilai penting untuk digaungkan kembali mengingat kondisi Papua yang memanas beberapa waktu terakhir.
Sesuai pemikiran Neles, dialog yang dilakukan membuka ruang kesetaraan, keterbukaan, dan kepercayaan. Bila masyarakat Papua berdialog dengan pemerintah, masyarakat akan merasa dihargai pendapat dan harga dirinya. Rasa memiliki terhadap proses, hasil dialog, dan implementasinya pun akan tumbuh (Kompas, 5/11/2016).
“Presiden dan sejumlah pihak telah menyatakan kesiapannya untuk berdialog dengan masyarakat Papua. Ini momentum baik yang harus disambut dengan merumuskan kembali cara dialog (yang ideal). Dalam hal ini, pemikiran Neles menarik buat diangkat kembali,” kata Jacky.
Rapsodia Nusantara #24
Selain buku, Yayasan Tifa bekerja sama dengan komponis Ananda Sukarlan untuk membuat komposisi musik berjudul Rapsodia Nusantara #24. Karya ini akan diluncurkan pada 24 Oktober 2019.
Menurut Ananda, selain menjadi karya untuk mengenang mendiang Neles, musik tersebut menjadi media diplomasi ke dunia internasional. Rapsodia Nusantar #24 yang ia gubah dalam waktu sekitar seminggu ini mengambil corak khas Dogiyai, daerah asal Neles. Ia menyusun komposisi musik berdasarkan tiga not dari sapaan khas Dogiyai, yakni “Wa-wa-wa”.
“Awalnya sulit mencari musik asli Dogiyai. Saya lalu menemukannya dari karya seorang misionaris Jerman yang pernah ke sana beberapa puluh tahun silam. Ia menuliskan notasi musik Papua, termasuk Dogiyai,” kata Ananda.