Pengenalan Risiko Diperlukan untuk Cegah Kebutaan Dini
Kejadian kebutaan di Indonesia mencapai 250.000 jiwa per tahun. Potensi tersebut bisa dikurangi dengan pengenalan faktor risiko dari penyakit mata. Terlalu dekat dengan gawai juga perlu dibatasi.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Kejadian kebutaan di Indonesia mencapai 250.000 jiwa per tahun. Potensi tersebut bisa dikurangi dengan pengenalan faktor risiko dari penyakit mata. Terlalu dekat dengan gawai juga perlu dibatasi untuk mengistirahatkan mata.
Dalam peringatan Hari Penglihatan Sedunia yang dilaksanakan di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/10/2019), Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Anung Sugihanto menjelaskan, faktor risiko berupa penyakit bawaan dari keluarga yang berpotensi menimbulkan gangguan pada mata perlu dikenali. Riwayat tersebut bisa dikonsultasikan dengan tenaga kesehatan sehingga gangguan mata bisa dihindari.
Salah satu gangguan kesehatan yang berpotensi merusak mata adalah diabetes. Penderita diabetes berpotensi 25 kali lebih tinggi mengalami kebutaan akibat retinopati atau kerusakan retina dibandingkan dengan yang tidak.
Kementerian Kesehatan mencatat, estimasi populasi kebutaan di Indonesia mencapai 900.000 orang. Di samping itu, insiden kebutaan di Indonesia mencapai 0,1 persen jumlah penduduk per tahun atau 250.000 jiwa. Angka tersebut akan terus meningkat jika operasi kebutaan dari katarak dan penyakit lain tidak dicegah.
”Sebanyak 80 persen dari prevalensi gangguan mata bisa dicegah sejak dini. Sepanjang bisa mengenali faktor risiko, keluarga bisa menentukan tindakan pencegahan,” katanya.
Selain faktor keturunan, kebiasaan hidup tidak sehat juga menjadi penyebab gangguan mata. Anung menuturkan, penggunaan teknologi dengan radiasi layar berpotensi mengakibatkan gangguan penglihatan. Dia berujar, penggunaan telepon pintar yang tidak sehat pada seseorang berpotensi hingga 40-60 persen.
Anung mencontohkan, anak-anak kelas 1 SD yang menggunakan telepon genggam lebih dari tiga jam sehari berpotensi meningkatkan potensi resiko empat sampai enam kali lipat dibandingkan dengan anak yang menggunakan telepon genggam kurang dari satu jam per hari. Karena itu, penggunaan gawai perlu diimbangi dengan istirahat yang cukup.
Direktur Utama Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Irayanti menambahkan, anak-anak kerap menggunakan kacamata akibat mata yang kurang beristirahat. ”Pengguna gawai biasanya terlalu fokus sehingga lupa mengedipkan mata. Padahal, kedipan itu bisa membasahi kornea mata sehingga mata tidak kering,” ujarnya.
Pengguna gawai biasanya terlalu fokus sehingga lupa mengedipkan mata. Padahal, kedipan itu bisa membasahi kornea mata sehingga mata tidak kering.
Salis (38), warga Cimahi, turut memeriksakan mata di salah satu pos pelayanan yang tersedia dalam rangkaian acara tersebut. Dia mengatakan, penggunaan gawai yang berlebihan sering membuat matanya lelah dan akhirnya mengurangi kemampuan pandangannya.
”Sebagai karyawan di bidang pemasaran, saya tidak bisa lepas dari gawai. Tadi dokter menyarankan saya untuk lebih sering beristirahat,” ujarnya.
Untuk meningkatkan kesadaran akan pencegahan sejak dini, sosialisasi kesehatan mata menjadi perhatian. Menurut Anung, petugas kesehatan didorong membuka layanan konsultasi kesehatan kepada masyarakat. Selain itu, untuk edukasi, setiap unit kesehatan sekolah memberikan pengecekan reguler minimal enam bulan sekali kepada siswanya.
”Kami mendorong teman-teman dokter mata, seperti Rumah Sakit Cicendo, untuk keluar pada hari Minggu, membuka pos pelayanan di Bandung car free day (CFD). Jangan menunggu orang-orang datang ke rumah sakit,” ujarnya.