Kita Tak Ingin Indonesia Dikuasai Oligarki yang Melawan Pemberantasan Korupsi
Perempuan Indonesia Antikorupsi menyerukan pesan yang tegas kepada Presiden Joko Widodo agar segera menerbitkan Perppu KPK. Para perempuan ini ingin Indonesia tak dikuasai oligarki yang melawan pemberantasan korupsi
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perempuan Indonesia Antikorupsi menyerukan pesan yang tegas kepada Presiden Joko Widodo agar segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi. Seruan ini sebagai upaya menyelamatkan pemberantasan korupsi dari ancaman pelemahan dalam UU KPK baru yang akan berlaku pada 17 Oktober 2019.
Perempuan Indonesia Antikorupsi telah berkirim surat langsung kepada Presiden Joko Widodo sejak dua hari lalu dan sudah diterima. Surat dilayangkan melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, bahkan surat pun dibuka kepada publik.
Dalam surat tersebut, disampaikan bahwa perppu memang tidak akan langsung menyelesaikan masalah bangsa, namun setidaknya menjadi simbol komitmen bahwa Presiden Jokowi ada bersama rakyat yang ingin KPK tetap berfungsi membasmi korupsi dan menjaga dari oligarki yang kian membelit bangsa. Namun, keberpihakan ini belum terlihat.
“Pesan ini sangat kuat karena disampaikan oleh perempuan yang melalui rahimnya lahir generasi penerus bangsa. Kita tidak ingin Indonesia ke depan menjadi kelam karena dikuasai oleh oligarki yang ingin melawan pemberantasan korupsi,” kata Team Leader Human Right Defender dari Kemitraan, Ririn Sefsani, di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Ririn menyerukan desakan bagi Presiden Jokowi untuk segera menerbitkan Perppu KPK bersama perempuan-perempuan lain, yakni putri ketiga Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid Anita Wahid, dan Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru. Seruan dilakukan di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan dengan membawa papan bertuliskan “Perempuan Indonesia Antikorupsi”.
“Lahirnya UU KPK hasil revisi yang direspon dengan berbagai aksi demo oleh mahasiswa, seperti kembali kepada 1998 di mana rakyat bergerak. Tidak hanya untuk pemerintahan yang lebih baik tetapi kali ini untuk melawan kanker korupsi,” ujarnya.
Anita pun menyatakan bahwa Indonesia kini berada dalam situasi yang tidak menyenangkan bagi pemberantasan korupsi. Ketika korupsi merajarela, maka perempuan adalah pihak pertama yang paling dirugikan karena penerus bangsa lahir dari seorang perempuan.
Indonesia kini berada dalam situasi yang tidak menyenangkan bagi pemberantasan korupsi. Ketika korupsi merajarela, maka perempuan adalah pihak pertama yang paling dirugikan karena penerus bangsa lahir dari seorang perempuan.
Menurutnya, ketika perempuan dirugikan akibat korupsi maka akan berdampak pada ketidakmampuan masyarakat prasejahtera dalam mengakses pendidikan dan kesehatan. Dampak ini akan semakin nyata ketika UU KPK yang telah disahkan akan segera berlaku.
“Kami meminta kepada Bapak Presiden agar mengeluarkan perppu untuk menegasikan revisi UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR. Apakah memang ingin menjadi pemimpin dari gerakan pemberantasan korupsi atau justru ingin membiarkan kekuatan-kekuatan oligarki, kekuatan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang akan berkuasa di Indonesia?,” tegas Anita.
Monica Tanandaru pun menyatakan bahwa kehadiran Perempuan Indonesia Antikorupsi bukan untuk membela KPK tapi untuk membela kerja pemberantasan korupsi. Lahirnya KPK yang berasal dari tuntutan masyarakat atas maraknya korupsi seharusnya tetap menjadi garda terdepan memberantas korupsi.
“Bapak lahir sebagai bukti bahwa demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik. Bapak lahir karena reformasi. Kami meminta sebagai Presiden yang dipilih oleh lebih dari 85 juta rakyat untuk memperkuat KPK melalui perppu,” pinta Monica.