Terpanggil Rasa Kemanusiaan di Pengungsian
Rasa sesak di dalam gudang itu bukan semata karena jerebu telah mengepung. Namun, di antara 76 warga, Melistina (20) terpaksa mengungsi di sana. Dalam pengapnya udara dan pekatnya asap, suara batuk dan tangis anak-anak terdengar bersahut-sahutan.
”Entah sampai kapan kami harus bertahan di sini,” ujar perempuan yang tengah hamil tiga bulan itu, Sabtu (5/10/2019). Ketika sebagian besar masyarakat di Sumatera mulai lega oleh turunnya hujan sepekan terakhir, kabut asap masih bergeming di wilayah Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Asap biasanya kian menebal menjelang sore hingga dini hari.
Abu bakaran itu leluasa masuk ke dalam gudang yang terbuka di bagian atasnya. Pekatnya asap kerap membuatnya pusing, mual, dan sesak. Kalau sudah tidak tahan, ia hanya bisa merebahkan diri di salah satu sudut ruang yang tersisa. Ia kini bersama puluhan pengungsi lain tinggal di gudang sempit berukuran 10 meter x 15 meter itu.
”Saking penuhnya (pengungsi), gudang ini tak muat diisi. Yang laki-laki biasanya mengalah tidur di luar,” ujar Harefa, pengungsi lain. Sudah hampir sebulan lamanya para pekerja kebun sawit perusahaan kebun sawit PT Bara Eka Prima tinggal di gudang. Sejak Agustus lalu, kebakaran telah menghabisi sebagian kebun perusahaan tempat mereka bekerja.
Harefa menceritakan, mereka awalnya masih berupaya membantu pemadaman. Saat api semakin mendekati kamp, mereka diungsikan pihak perusahaan. Para pekerja itu menyeberangi Sungai Kumpeh, lalu menumpang di sebuah gudang pupuk. Jaraknya 5 kilometer dari kebun.
Setelah hampir dua pekan, warga mengira api sudah mereda. Saat mereka kembali ke kamp, ternyata api makin meluas. Warga pun terpaksa kembali lagi mengungsi. Hingga kini, semua pengungsi dilanda ketidakpastian. Berdasarkan data, dari 75 warga, sekitar 20 orang di antaranya anak-anak berusia di bawah 12 tahun. Ada pula lima ibu hamil dan menyusui.
”Semua anak ataupun orangtua di sini sudah mengalami batuk yang parah. Kami sulit bertahan karena tak punya bahan makanan,” kata Buteni (35), pengungsi setempat. Beberapa anak juga mengalami sakit kulit. Pekatnya asap dan kondisi gudang pupuk yang kotor memicu sejumlah penyakit. Tak ada pula air bersih. Bahkan, untuk mandi dan cuci, mereka memanfaatkan Sungai Kumpeh yang berair pekat kehitaman karena mengering.
Yudi Wijaya dari Humas PT BEP mengatakan, upaya pemadaman masih berlangsung di perkebunan itu. Dengan demikian, pihaknya belum dapat memastikan kapan para pengungsi dapat kembali pulang.
Kondisi di lapangan, hingga Minggu (6/10), kebakaran kian meluas. Data sekitar dua pekan lalu, api telah menghanguskan lebih dari 47.000 hektar hutan dan lahan di Jambi. Namun, pekan terakhir lalu, kebakaran sudah meluas hingga mencapai 130.000 hektar. Kebakaran itu melanda 36 konsesi hutan tanaman industri, perkebunan sawit, hak pengusahaan hutan, dan konsesi restorasi ekosistem.
Berdasarkan citra Landsat TM8, kebakaran di wilayah Kumpeh, Muaro Jambi, merupakan yang terluas se-Jambi. Bahkan, saat kebakaran mulai reda oleh hujan di wilayah lain, api masih terus membara di Jambi. Sebabnya, kondisi gambut di wilayah itu sangat kering karena dalamnya gambut lebih dari 15 meter.
Bantuan DKK
Sabtu (5/10), Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) tiba di depan gudang tersebut. Para pengungsi kaget melihat bantuan yang diantar oleh Forum Komunikasi Daerah (FKD) Kompas Gramedia Jambi. Warga langsung berkerumun mendekati bantuan itu.
Berulang kali mereka mengucapkan rasa syukur, bahkan ada yang meneteskan air mata karena terharu. Menurut Harefa, selama ini bantuan kemanusiaan belum menjamah tempat itu. Kebanyakan bantuan sampai di posko-posko utama yang dibangun di pusat kecamatan.
Untuk wilayah Jambi, DKK mendistribusikan hampir 7.000 masker medis dan N95. FKD Kompas Gramedia juga memberikan lebih dari 4.000 botol susu anak dan dewasa, 400 tabung oksigen, dan 400 kacamata anti-asap dari DKK. Tim juga membawa bantuan berbagai jenis bahan makanan dan bumbu hasil donasi perseorangan asal Jakarta.
Secara khusus bantuan juga diberikan kepada para petugas pemadam kebakaran yang berjibaku di lokasi api. Sebagian bantuan berupa kacamata anti-asap, oksigen, dan masker. Bantuan itu diterima melalui Komandan Satuan Tugas Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Jambi Kolonel (Arh) Elphis Rudy. Sebagian lagi diberikan kepada kelompok pemadam dari Masyarakat Peduli Api dan pasukan Manggala Agni di Muaro Jambi.
”Selama ini, peralatan pengamanan untuk kami bekerja di lapangan masih minim,” ujar Ramses Siregar, Kepala Daerah Operasi Manggala Agni Jambi. Dalam kesempatan itu, Ramses menyatakan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan pembaca Kompas.
Menurut dia, hingga Minggu, pasukan masih terus berjuang menggempur kebakaran di areal kebun sawit dan hutan produksi di Muaro Jambi. Upaya itu belum membuahkan hasil yang maksimal. ”Hari ini malahan ada titik api baru yang harus kami perangi lagi,” katanya.
Selain DKK, bantuan kemanusiaan juga mengalir dari Palang Merah Indonesia (PMI), Aksi Cepat Tanggap, serta sejumlah sukarelawan perseorangan. Rumah-rumah oksigen pun dibuka pemerintah bagi para korban asap. ”Dalam sehari, lebih dari 200 warga datang karena mengeluh sesak, batuk, atau penyakit lain,” ujar Zainal Abidin, Koordinator Rumah Oksigen Desa Pematang Raman.
Bantuan air bersih juga mengalir ke desa-desa terdampak kabut asap. Sudah 45.000 liter air didistribusikan PMI kepada masyarakat. ”Mereka tidak hanya menderita karena terus-menerus terpapar asap, tetapi juga mengalami kesulitan air,” ujar Tedjo Sukmono, Ketua Bidang Bencana dan Pelayanan Sosial PMI Provinsi Jambi.
Melistina bersyukur bantuan akhirnya datang. Namun, yang terpenting baginya ialah agar kebakaran lahan cepat mereda. Apabila ini terjadi, kabut asap segera berlalu.