Ketimpangan Ekonomi Timur dan Barat Picu Tingginya Biaya Logistik
Arus muatan barang yang rendah dari wilayah timur ke wilayah barat Indonesia, menjadi faktor penyebab tingginya biaya logistik nasional.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Arus muatan barang yang rendah dari wilayah timur ke wilayah barat Indonesia menjadi faktor penyebab tingginya biaya logistik nasional. Untuk mengatasi hal itu, perlu ada solusi jangka panjang untuk meningkatkan volume muatan dengan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi dan mengonsolidasikan pelaku logistik dengan produsen kecil.
Biaya logistik di Indonesia saat ini rata-rata 25 persen dari produk domestik bruto (PDB). Nilai itu lebih tinggi dari negara-negara lain, seperti China, Vietnam, dan Malaysia yang kurang dari 15 persen PDB mereka. Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan, 70 persen biaya logistik di Indonesia dikontribusi biaya transportasi.
”Pembangunan infrastruktur transportasi mungkin sudah berjalan, tetapi kita belum lihat pengaruhnya pada keseimbangan arus muatan, terutama dari timur ke barat Indonesia,” kata Setijadi saat ditemui di sela-sela seminar bertajuk ”Membangun Rantai Pasok Nasional Terintegrasi Berbasis Platform Logistik 4.0”, di Kementerian Perindustrian, di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Seminar itu merupakan pembukaan Supply Chain and Logistic Series 2019 yang akan dilakukan pada November mendatang. Acara itu melibatkan beragam pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pelaku, dan asosiasi logistik.
Pada kesempatan itu, Setijadi mengatakan, muatan balik dari wilayah timur Indonesia, baik melalui transportasi logistik darat maupun laut, hanya sekitar 20 persen dari total muatan yang dibawa dari wilayah barat. Sebagai contoh, jika sebuah truk berkapasitas 10 ton membawa barang dengan muatan penuh dari Pulau Jawa ke Pulau Papua, muatan yang dibawa kembali hanya 2 ton.
Tidak terpenuhinya kapasitas itu otomatis membuat biaya logistik lebih mahal, yang akhirnya menurunkan daya saing barang atau komoditas tertentu.
Menurut dia, tidak seimbangnya arus muatan barang dalam rantai pasok logistik terjadi karena tidak meratanya penyebaran pembangunan. Hal ini tecermin dari kontribusi wilayah barat Indonesia pada PDB nasional. Pulau Jawa menyumbang sekitar 60 persen, diikuti Sumatera sekitar 20 persen dan Kalimantan 8 persen.
”Solusi jangka panjangnya, pemerintah daerah harus mampu meningkatkan volume komoditasnya untuk diangkut transportasi logistik. Caranya dengan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi atau mengembangkan industri lokal baru,” tuturnya.
Tidak hanya itu, pelaku logistik, menurut dia, juga harus menjadi konsolidator produsen kecil di daerah agar volume distribusi yang diangkut transportasi logistik meningkat. Hal itu bisa dimaksimalkan dengan bekerja sama dengan kelompok-kelompok usaha kecil.
Perbaiki data
Untuk mengurai penyebab tingginya biaya logistik nasional, data terkait semua aspek sistem logistik perlu dikumpulkan. Data diperlukan untuk memetakan permasalahan logistik dan mencari solusi yang memungkinkan dengan memanfaatkan inovasi teknologi.
Untuk mengurai penyebab tingginya biaya logistik nasional, data terkait semua aspek sistem logistik perlu dikumpulkan.
Ketua Umum Badan Kejuruan Teknik Industri-Persatuan Insinyur Indonesia (BKTI-PII) Made Dana Tangkas mengatakan, Indonesia belum memiliki data yang akurat dan terintegrasi terkait manajemen rantai pasok yang meliputi aliran material, informasi, dan uang produksi bahan mentah hingga ke konsumen.
Hal itu membuat seluruh pemangku kebijakan sulit mengurai benang kusut permasalahan yang berdampak pada tingginya biaya logistik. Oleh karena itu, konsolidasi di antara berbagai pihak diperlukan.
”Sekarang biaya logistik kita masih 25 persen dari PDB. Untuk menekan biaya itu, kita perlu data terkait sistem ini. Melalui acara ini, kita harapkan dalam tiga bulan kita temukan solusinya,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Sugihardjo berharap kegiatan tersebut melahirkan kesepakatan standardisasi logistik. Standardisasi logistik, yang merupakan bagian dari revolusi industri 2.0, meliputi alat logistik, data, keselamatan, dan kesehatan.
”Di revolusi 4.0 ini kita bisa mengembangkan platform logistik berbasis blockchain untuk pertukaran data dan menghubungkan langsung antara penjual dan pembeli. Akan tetapi, bagaimana itu bisa diterapkan kalau sistem logistik kita belum punya standarnya,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Ahmad Sigit Wiwahyuno mengatakan, masalah alur aliran material hingga standardisasi menjadi prioritas yang perlu diperbaiki dalam sistem logistik Indonesia sebagaimana tertuang dalam inisiatif Making Indonesia 4.0 yang dicanangkan pemerintah tahun lalu.
Inisiatif Making Indonesia 4.0 menyoroti perbaikan kinerja khususnya di sektor industri prioritas yang menyumbang 75 persen dari PDB. Sektor prioritas itu adalah makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, dan elektronik.
”Untuk menjalankan itu, nantinya pemerintah akan menyiapkan peta jalan dan peraturan presiden untuk Making Indonesia 4.0,” ucapnya.