Edhi Setiawan Belum Sempat Mewujudkan Cita-Citanya
Budayawan Madura Edhi Setiawan pernah bercita-cita ingin membuat buku tentang budaya pulau garam itu. Namun hingga napas terakhirnya Rabu (16/10/2019) cita-cita itu belum terwujud.
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
Suaranya lirih. Trisna Dewi (67) tidak banyak berkata-kata. Dia masih terpukul dengan kepergian suaminya Edhi Setiawan (73), Rabu (16/10/2019) menjelang siang. Trisna hanya menyampaikan terimakasih atas ucapan duka yang penulis sampaikan.
“Pak Edhi dulu tempat saya bertanya tentang Madura, saya suka mampir ke tempatnya kalau ke Sumenep,” kata saya kepada Trisa. Ibu dua anak ini menyahut lirih, “Iya, terimakasih.” Dia tidak banyak berkata-kata, lalu mengakhiri obrolan singkat dengan Kompas melalui sambungan telepon.
Sebagian dari kami, menjadikan Pak Edhi sebagai kamus berjalan budaya Madura. Kami menanyakan banyak hal tentang budaya Madura ini di rumahnya di Sumenep. Sambil menikmati sajian makanan peranakan, kami membicarakan banyak hal. Mendiskusikan apa pun yang kami ragu duduk persoalannya.
Edhi yang lahir di Sumenep, Madura, 13 Januari 1946 meninggalkan seorang isteri, dua anak, dan enam cucu. Selain dikenal sebagai budayawan, Edhi juga memiliki keahlian fotografi. Hobinya ini mengantarkan Edhi meraih juara dalam lomba fotografi Piala Presiden tahun 1993. Sebagian fotografer senior mengenal baik sosok Edhi.
Di mata orang Madura, dia adalah benteng pertahanan pelestarian budaya Madura. Firdaus (53), guru yang juga warga Sumenep, mengagumi kepedulian Edhi pada budaya Madura meskipun leluhurnya berasal dari Hokkian, China. Edhi bahkan menjadi duta budaya Madura di acara kebudayaan di sejumlah negara Eropa tahun 1982.
Sabtu, 22 Oktober 2011, jurnalis Harian Kompas saat itu Anwar Hudijono menulis Edhi di rubrik sosok. Dalam ulasan berjudul “Mencerahkan Madura” itu Edhi digambarkan sebagai orang yang peduli pada budaya Madura. Menurut Anwar, Edhie merupakan sosok lembut. Gaya bicaranya, datar, dengan logat Madura kental, bagaikan angin yang menyelinap di ranting cemara.
Namun gaya bicaranya menjadi Edhi bertenaga ketika membicarakan sosok Trunojoyo, tokoh Madura abad ke-17 yang menyerang Mataram. "Ya, saya sangat kecewa karena untuk kedua kalinya pemerintah menolak usulan agar Trunojoyo menjadi pahlawan nasional. Ini menunjukkan, sejarah tidak adil terhadap Madura,” kata Edhi Setiawan, di Kompas, Sabtu (22/10/2011).
Selama ini, Trunojoyo distigmakan sebagai pemberontak, melawan pemerintahan yang sah. Ia dianggap kejam, bahkan biadab. Ia berperang hanya untuk kepentingan hak warisan. Sementara bagi orang Madura, Trunojoyo melawan penjajah Mataram yang rajanya ketika itu Amangkurat II pro-Belanda. Ayahnya sendiri, Amangkurat I, diracuni. Ia menyelingkuhkan selir ayahnya. ”Sebagai santri, murid tokoh spiritual Panembahan Rama, Trunojoyo menempatkan Belanda sebagai kaum kafir jahat,” katanya di sumber yang sama.
Semasa hidupnya, Edhi memendam keinginan untuk menulis sejarah Madura. ”Saya ingin menulis Madura dalam bingkai sejarah yang memihak, adil, dan berempati kepada Madura. Dengan pola penulisan sejarah yang demikian, diharapkan mengubah stereotip negatif Madura. Munculnya stereotip negatif itu salah satunya karena penulisan sejarah secara gegabah,” kata Edhi.
Sayangnya, hingga akhir hayatnya, Edhi belum sempat mewujudkan cita-citanya. Firdaus yakin, generasi muda Madura memiliki kemampuan untuk melestarikan kekayaan budayanya. Bukan hal yang mustahil, cita-cita Edhi akan diwujudkan penerusnya. "Cita-cita itu beberapa kali disampaikan kepada kami," kata Firdaus yang memiliki kedekatan dengan Edhi.
Meski leluhurnya dari Hokkian, Edhi merasa Madura adalah budayanya. Kecintaannya pada Madura terlihat dari karya foto-fotonya, pengembangan seni topeng, dan usahanya memberdayakan perajin seni ukir karduluk. Jika mampir ke Rumah Makan 17 Agustus miliknya di Jalan Panglima Sudirman, akan mudah menemui, wartawan, budayawan, komunitas fotografi, pecinta seni, pengusaha, maupun pengacara di sana. Di tempat itu, pengunjung dipertemukan dengan kekayaan kuliner peranakan Hokkian dan masakan khas Jawa Timur.
Tokoh muda Sumenep, Januar Herwanto kehilangan dengan sosok Edhi. Dia dan teman-temannya merasa ditinggalkan guru fotografi. “Selama jalan Om Edhi. Budayawan dan fotografer internasional. Terimakasih telah mengajari kita semua. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Nya,” tulis Januar di akun instagramnya.