Perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan mengubah lanskap perberasan nasional. Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi kebijakan karena perubahan itu menimbulkan masalah.
Oleh
M Paschalia Judith
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan mengubah lanskap perberasan nasional. Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi kebijakan karena perubahan itu menimbulkan masalah terkait stabilisasi harga, pengelolaan cadangan beras pemerintah, serta kesejahteraan petani sebagai produsen.
Salah satu problem yang terekam dalam penelusuran Kompas sepekan terakhir adalah seretnya pengadaan gabah/beras oleh Perum Bulog di daerah sentra padi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Secara nasional, realisasi pengadaan beras oleh Perum Bulog sepanjang Januari-September 2019 baru 1,04 juta ton atau 57,7 persen dari target 1,8 juta ton tahun ini.
Realisasi pengadaan gabah/beras produksi dalam negeri tercatat terus turun beberapa tahun terakhir. Sebagai perbandingan, realisasi penyerapan beras pada Januari-September 2018 mencapai 1,44 juta ton dan periode yang sama tahun 2017 mencapai 1,95 juta ton.
Selain perluasan mekanisme penyaluran bantuan pangan, yakni dari natura (beras) melalui program bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra) ke transfer langsung melalui bantuan pangan non-tunai (BPNT), tingginya harga gabah/beras di lapangan dinilai jadi hambatan penyerapan.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi berpendapat, kebijakan perberasan saat ini tidak serasi. Fungsi stabilisasi harga di produsen ataupun konsumen bertumpu pada penyerapan produksi dalam negeri, pengelolaan stok, dan penyaluran ke keluarga sasaran.
Akan tetapi, saluran distribusi mengecil seiring dengan berakhirnya program bansos rastra per September 2019. Beda dengan bansos rastra, di mana setiap keluarga penerima manfaat (KPM) diberi bantuan beras, pada program BPNT pemerintah mentransfer dana Rp 110.000 per KPM per bulan. Dana itu yang kemudian dipakai KPM untuk membeli bahan pangan di warung (e-warong) yang telah ditetapkan sebagai penyalur.
Penyaluran beras bansos rastra dari Bulog pun terus berkurang dari 2,78 juta ton tahun 2016 menjadi 2,54 juta ton tahun 2018 dan berkurang lagi menjadi 1,2 juta ton tahun 2018. Sepanjang Januari-Agustus 2019, realisasi penyaluran beras tinggal 353.000 ton.
Pemerintah dan pelaku dinilai perlu duduk bersama mengevaluasi kebijakan perberasan saat ini. ”Ketahanan pangan tidak bisa hanya bertumpu pada Bulog. Kita perlu meninjau ulang desain kebijakan saat ini secara jernih dan obyektif,” kata Bayu.
Ada tiga prinsip yang menurut Bayu mesti dipenuhi dalam menetapkan kebijakan pangan. Pertama, memastikan ketersediaan pangan dengan memperhatikan dinamika cuaca dan iklim terkini. Kedua, memberikan jaminan pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sebagai produsen. Ketiga, regulasi dan program antar-kementerian dan lembaga pemerintah harus saling melengkapi.
Dalam jangka panjang, seretnya pengadaan gabah/beras berpotensi menggerus fungsi stabilisasi harga, khususnya di tingkat petani. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah memberi amanat secara eksplisit, pemerintah wajib menstabilkan pasokan dan harga pangan pokok di tingkat produsen untuk melindungi pendapatan dan daya beli petani.
Fungsi stabilisasi di tingkat konsumen juga terganggu. Selama ini, penyaluran beras melalui bansos rastra dinilai efektif meredam gejolak harga di pasar.
Perkuat komersial
Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi, Perum Bulog sebagai salah satu komponen ketahanan pangan mesti memperkuat sisi komersialnya. ”Di sisi penyerapan, Bulog bisa memanfaatkan skema komersial. Di sisi penyaluran harusnya juga demikian,” katanya.
Dalam rangka menguatkan sisi komersial di penyaluran, lanjut Agung, Bulog mesti memenangkan pasar, baik di pasar tradisional maupun ritel modern. Oleh karena itu, Bulog dinilai perlu terus memperbaiki strategi pemasaran dan promosi.
Bulog juga dinilai perlu memenangkan pasar dalam program BPNT. Bulog setidaknya dapat memenangkan peran sebagai pengelola stok beras yang masuk ke e-warong.
Berdasarkan data Kementerian Sosial, penerima BPNT mencapai 15,6 juta KPM. Dengan kebutuhan rata-rata 10 kg per KPM per bulan, kebutuhan beras untuk program BPNT mencapai 1,87 juta ton per tahun.
Menurut Agung, demi memenangkan pasar dalam program BPNT, struktur korporasi Bulog yang memiliki cabang hingga tingkat provinsi dan kota/kabupaten perlu dioptimalkan perannya. Struktur itu menjadi keunggulan Bulog dibandingkan dengan pemain beras lain. Selain itu, Bulog diharapkan tidak terlalu bergantung pada program pemerintah.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyatakan, pihaknya masih menunggu keputusan pemerintah, terutama penugasan dalam penyerapan produksi dalam negeri serta penyaluran bahan pangan dalam program BPNT.
Sebelumnya, Budi menyatakan, pihaknya tidak bisa optimal mencapai target pengadaan untuk cadangan beras pemerintah tahun 2019 karena tidak ada jaminan penyaluran.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud, pemerintah memperhatikan alur dan potensi daerah dalam penyerapan dan penyaluran. Daerah yang surplus mesti menyalurkan ke wilayah yang defisit.