Fraksi PDI-P Menilai OTT Kepala Daerah Bukti Kegagalan KPK
Meski UU KPK hasil revisi mulai diberlakukan besok, komisi antirasuah tersebut masih bisa melakukan penyadapan dan OTT. Menurut rencana, dewan pengawas akan dibentuk pada Desember 2019.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat menilai, rangkaian operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap kepala daerah hanya menunjukkan kegagalan KPK menjalankan fungsi pencegahan korupsi. Adapun UU KPK hasil revisi akan berlaku mulai Kamis (17/10/2019).
Mantan anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/10/2019), mengatakan, KPK seperti sedang kejar setoran untuk melakukan OTT kepala daerah menjelang UU KPK hasil revisi berlaku. Menurut dia, hal tersebut bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan.
”Menurut saya, KPK seakan mempertontonkan pertunjukan sirkus ketika melakukan OTT. Padahal, OTT tersebut merupakan bentuk kegagalan KPK dalam melakukan fungsi pencegahan,” katanya.
Selama Oktober 2019, KPK telah menangkap tiga kepala daerah, yaitu Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara (7/10/2019), Bupati Indramayu Supendi (15/10/2019), dan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin (16/10/2019). Selain itu, KPK juga menangkap Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII Kalimantan Timur Refly Ruddy Tangkere (15/6/2019).
”Persoalannya mereka ditangkap karena masalah suap dan gratifikasi. Hal itu terus terjadi berulang kali sehingga KPK hanya menunjukkan kegagalannya dalam melakukan pencegahan korupsi,” ucapnya.
Masalah serius
Dihubungi secara terpisah, mantan anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno, mengatakan, belum ada sistem pencegahan yang kuat terhadap kasus korupsi kepala daerah.
”Banyaknya OTT tersebut menunjukkan bahwa kasus korupsi merupakan masalah sistemik yang serius. Kita tidak bisa bermain terus di hilir jika penyebab utamanya tidak dibenahi,” katanya.
Hendrawan menjelaskan, mulai Kamis (17/10/2019), UU KPK hasil revisi mulai berlaku. DPR telah memperbaiki beberapa kesalahan pengetikan dalam draf UU KPK tersebut.
”Ada dua kesalahan ketik, yaitu pada Pasal 10A Ayat 4, yaitu kata ’penyerahaan’ yang seharusnya diperbaiki menjadi ’penyerahan’. Kemudian, dalam Pasal 29 Ayat e, terkait masalah usia minimal capim KPK tertulis 40 tahun, seharusnya ditulis 50 tahun,” ucapnya.
Sementara itu, mantan Ketua Baleg DPR dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, dirinya telah menandatangani draf revisi UU KPK yang telah diperbaiki. Draf tersebut telah diserahkan kepada Kementerian Sekretariat Negara.
”Mudah-mudahan bisa ditandatangani Presiden pada hari ini. Jika belum ditandatangani, revisi UU tersebut secara otomatis tetap berlaku mulai 17 Oktober 2019,” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 73 Ayat 2 berbunyi, ”dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama (penerintah dan DPR), Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.
Masinton menjelaskan, meski UU KPK hasil revisi mulai diberlakukan besok, komisi antirasuah tersebut masih bisa melakukan penyadapan dan OTT meski belum ada dewan pengawas. Menurut rencana, dewan pengawas akan dibentuk pada Desember 2019 dan anggotanya ditunjuk oleh presiden.
”Dalam revisi UU KPK yang baru, KPK harus meminta izin kepada dewan pengawas jika ingin melakukan penyadapan. Namun, jika dewan pengawas belum terbentuk, dalam Pasal 69D, para penyidik KPK hanya perlu meminta izin penyadapan kepada komisioner KPK,” ucapnya.
Mendorong perppu
Anggota Fraksi PKS DPR, Mardani Ali Sera, mengatakan, sebaiknya Presiden segera mengeluarkan perppu KPK sebelum revisi UU KPK mulai diberlakukan. Menurut dia, revisi UU KPK merupakan salah satu upaya untuk melemahkan KPK.
”Kami menganggap, dengan harus adanya izin dari dewan pengawas untuk melakukan penyadapan hal tersebut bisa melemahkan KPK,” katanya.
Mardani membantah ia membela KPK karena Fraksi PKS kali ini menjadi oposisi yang berseberangan dengan pemerintah. Menurut dia, ada beberapa poin yang PKS setujui dalam draf RUU KPK tersebut.
”Seperti aturan terkait surat perintah penghentian penyidikan (SP3), kami setuju karena hal ini masih masuk akal. Ada kasus-kasus yang sudah lebih dari dua tahun seakan mengambang dan tidak tuntas diselesaikan KPK. Oleh sebab itu, perlu ada aturan penghentian tersebut,” ujarnya.
Perlu pemisahan
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menyampaikan, memang OTT dapat tetap dilakukan, tetapi persoalan yang muncul kemudian ada pada fungsi penyadapan. Setelah revisi UU KPK berlaku, harus ada pemisahan hasil sadap yang terkait perkara dan tidak.
”Sebab, di Pasal 12B itu diatur jika hasil sadapan tidak terkait perkara, penyidik dapat diancam hukuman pidana. Maka, KPK perlu membuat SOP atau pedoman mana hasil sadapan terkait perkara dan mana yang tidak,” ujar Oce.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menyampaikan, revisi UU KPK jelas akan melemahkan KPK. Terlebih nantinya akan digunakan oleh pimpinan baru KPK.
”Ini menjadi satu kesatuan yang akhirnya membuat serangan untuk melemahkan bahkan mematikan KPK itu menjadi paripurna. Dengan begitu, perppu tetap menjadi harapan untuk menertibkan kekacauan yang akan timbul dari revisi UU KPK,” kata Feri.
Kemarin, Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan memastikan KPK akan tetap bekerja dengan baik dan berjalan seperti biasa. Memang tidak lagi sebagai penyidik dan penuntut umum, tetapi pimpinan KPK tidak akan berhenti bekerja. Menurut dia, setelah besok UU KPK hasil revisi resmi berlaku, KPK akan kembali mempelajarinya.
”Kita tunggu saja apa yang akan terjadi, yang pasti KPK akan tetap semangat bekerja,” kata Basaria.