Pemerintah mengubah sistem penilaian kerja aparatur sipil negara. Ini untuk menghapuskan penyimpangan yang kerap terjadi dalam proses penilaian yang akhirnya berimbas pada kualitas birokrasi.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
Selama puluhan tahun, sistem penilaian kerja aparatur sipil negara bertumpu pada atasan. Dalam praktiknya, kerap kali terjadi penyimpangan. Penilaian menjadi tidak obyektif yang berimbas pada kualitas birokrasi. Kini pemerintah berupaya melahirkan penilaian yang obyektif, transparan, dan akuntabel.
Febrian Bartes (32), pegawai negeri sipil di kantor Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, mengungkapkan, penilaian kinerja tahunan di instansinya tak pernah dianggap serius. Contohnya, penilaian kerja melalui pengisian sasaran kinerja pegawai (SKP) hanya dilakukan untuk memenuhi prosedur administrasi tahunan. Tidak pernah ada evaluasi atas hasil penilaian tersebut.
Selain itu, pengisian SKP juga tak mencerminkan kinerja secara riil. Praktik transaksional antara PNS dan atasan langsungnya sebagai pihak pemberi nilai masih kerap terjadi. ”Kalau saya tidak mencapai target, misalnya, penilaian itu bisa dikompromikan. Ada lobi yang bisa dilakukan,” ujar Bartes saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Lobi itu tak melulu menggunakan uang, lebih banyak dengan mendekati dan memelas atasan. Mereka membujuk dikasihani karena hasil penilaian di SKP itu nantinya bakal memengaruhi kenaikan jabatan.
Menurut Bartes, praktik lobi dalam penilaian kinerja PNS telah membudaya. Relasi dengan atasan yang hierarkis dan mampu menentukan nasib mereka pun membentuk karakter PNS sebagai orang yang asal ”manut” pada atasan.
Deputi Bidang Pembinaan Manajemen Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara (BKN) Haryomo Dwi Putranto saat acara sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kerja PNS, di Jakarta, Rabu, tak menampik praktik tersebut. Praktik itu terjadi karena penilaian kinerja PNS didasarkan pada subyektivitas atasan seperti diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS.
Praktik lobi dalam penilaian kinerja PNS telah membudaya. Relasi dengan atasan yang hierarkis dan mampu menentukan nasib mereka pun membentuk karakter PNS sebagai orang yang asal ”manut” pada atasan.
Dalam Pasal 4 Ayat (2) aturan yang telah berlaku lebih dari 30 tahun itu, ada delapan unsur penilaian kinerja PNS. Kedelapan unsur itu secara berturut-turut adalah kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, dan kejujuran. Unsur lainnya adalah kerja sama, prakarsa, dan kepemimpinan.
Haryomo mengatakan, sesuai dengan urutan, penilaian diprioritaskan pada aspek kesetiaan. Adapun perihal prestasi hanya salah satu bagian yang nilainya tak menentukan.
Selain itu, yang juga membuat penilaian kinerja ASN tidak akurat adalah adanya kesepahaman di sebagian kalangan ASN bahwa atasan dilarang menilai kesetiaan setiap PNS di bawah 91 dari nilai tertinggi 100. ”Bagi BKN saat itu, tidak ada alasan untuk menolak pengangkatan jabatan PNS jika nilai kesetiaannya sudah 91,” tambahnya.
Selain itu, selama PP No 10/1979 diberlakukan, promosi jabatan PNS diatur menurut daftar urut kepangkatan. Urutan di daftar tersebut ditentukan oleh senioritas. ”Padahal, mereka yang kemudian diangkat berdasarkan senioritas itu belum tentu paling layak menempati suatu jabatan,” ujarnya.
Mereka yang kemudian diangkat berdasarkan senioritas itu belum tentu paling layak menempati suatu jabatan.
Pada 2011, lanjut Haryomo, pemerintah berusaha untuk menghadirkan sistem penilaian yang mengutamakan kinerja pegawai. PP Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS diterbitkan.
Namun, penerbitan PP itu masih menyisakan celah subyektivitas. Meski fokus penilaiannya sudah diubah dari kesetiaan menjadi prestasi kerja, penilainya masih tunggal, yaitu atasan langsung dari setiap PNS.
Maka, wajar jika selama ini penilaian kerja PNS hanya dianggap sebagai pelengkap prosedur administrasi dan tidak mencerminkan kinerja riil setiap orang. ”Akhirnya kinerja individu pun tidak sinkron dengan kinerja organisasi,” kata Haryomo.
Upaya menghadirkan penilaian yang lebih tepat kemudian muncul dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Regulasi tersebut memiliki semangat menerapkan sistem merit dalam birokrasi pemerintah, termasuk dalam manajemen ASN.
Sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Ihwal manajemen ASN khususnya diatur dalam Pasal 55 UU No 5/2014. Dalam pasal tersebut, manajemen ASN meliputi 14 aspek, salah satunya pengembangan karier dan penilaian kinerja.
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, selain didasarkan pada sistem merit, UU No 5/2014 memasukkan unsur moralitas dan integritas dalam menilai kerja PNS.
Oleh karena itu, pihaknya merumuskan aturan turunan untuk membuat sistem penilaian yang memadukan antara kompetensi, kualifikasi, moralitas, dan integritas dalam PP No 30/2019 tentang Penilaian Kinerja PNS. Ke depan, penilaian kerja terbagi dalam dua aspek, yaitu SKP (70 persen) dan perilaku kerja (30 persen).
”Mekanisme penilaiannya juga berubah total. Penilaian tidak hanya diberikan atasan, tetapi juga oleh rekan sejawat dan bawahan. Semuanya juga berbasis teknologi informasi,” kata Setiawan.
Menurut dia, hasil penilaian itu sekaligus bisa digunakan untuk menelusuri kejanggalan penilaian yang berasal dari subyektivitas salah satu pihak. Diharapkan penilaian subyektif yang didasarkan pada relasi kekuasaan juga bisa dihilangkan.
Mekanisme penilaiannya juga berubah total. Penilaian tidak hanya diberikan atasan, tetapi juga oleh rekan sejawat dan bawahan. Semuanya juga berbasis teknologi informasi.
Dari hasil penilaian itu, PNS juga dikualifikasikan dalam tiga kelompok yang kuotanya sudah ditentukan. Kelompok kualifikasi sangat baik sebanyak 20 persen, rata-rata 60 persen, dan buruk 20 persen.
Setiawan menjelaskan, standar penilaian memang ditetapkan oleh setiap pejabat pembina kepegawaian (PPK). Meski demikian, tetap terbuka ruang dialog dengan ASN dalam menentukan standar penilaian tersebut. Kelak, dialog terkait standar penilaian itu bakal lebih intensif, dari semula hanya sekali setahun menjadi tiga bulan sekali.
”Pilot project penerapan sistem baru ini akan kami mulai pada tujuh instansi di tingkat pusat dan sepuluh instansi di tingkat daerah. Targetnya, dalam waktu dua tahun ke depan sudah bisa diterapkan secara menyeluruh,” kata Setiawan.
Menurut Bartes, sistem penilaian yang obyektif, transparan, dan akuntabel memang dibutuhkan. Namun, dibutuhkan kontrol dari pemerintah pusat ke setiap instansi, terutama yang ada di daerah, untuk memastikan bahwa sistem tersebut berjalan sesuai rencana.
”Selama ini sudah banyak program, tetapi ketika sampai ke daerah tidak terlaksana karena memang tidak diawasi,” ujarnya.