Merosot Bersama Redupnya Pamor Sang Bintang
Sikap Partai Demokrat yang netral dalam pemilihan presiden ternyata tak memberi keuntungan elektoral signifikan. Alih-alih menambah pemilih, perolehan Demokrat dalam pemilu justru merosot, bahkan paling rendah sejak Pemilu 2009.
Menurut hasil Pemilu 2019, Partai Demokrat meraih 10.876.057 suara atau 7,77 persen dari total suara sah. Di DPR, Demokrat mendapat 54 kursi atau 9,39 persen dari 575 kursi yang diperebutkan. Baik perolehan suara maupun kursi DPR memperlihatkan performa Demokrat memburuk dalam tiga pemilu terakhir, yaitu Pemilu 2009, 2014, dan 2019.
Anjloknya perolehan Demokrat dalam pemilu terakhir seiring dengan meredupnya pamor Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri sekaligus tokoh sentral partai. Jejak penurunan Demokrat bisa ditelusuri sejak Pemilu 2014, yakni ketika Yudhoyono mengakhiri jabatannya sebagai Presiden keenam RI. Saat itu, perolehan suara Demokrat 12.728.913 atau 10,20 persen. Perolehan kursi DPR merosot dari 148 menjadi 61 (10,89 persen) kursi.
Debut politik Partai Demokrat dimulai dari Pemilu 2004. Sebagai pendatang baru, Demokrat bisa meraup suara dan kursi cukup signifikan untuk meloloskan partai ini dari ambang batas parlemen (parliamentary threshold) saat itu. Meski partai baru dengan kekuatan politik pas-pasan, pamor Demokrat naik setelah pemilu kedua era reformasi itu.
Partai Demokrat tampil sebagai motor penggerak utama koalisi pendukung Yudhoyono sebagai calon presiden untuk Pemilihan Presiden 2004. Hasilnya, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY berhasil memenangi pilpres, mengalahkan rival Megawati Soekarnoputri, calon petahana yang diusung PDI-P.
Tampilnya SBY ke tampuk kekuasaan nasional membawa dampak positif bagi Partai Demokrat. Popularitas partai langsung mencuat seiring dengan menguatnya pamor SBY sebagai presiden. Pemilu 2009 menjadi bukti sosok SBY adalah penyokong utama di balik meningkatnya pamor dan popularitas Demokrat.
Pemilu 2009 menjadi simbol kejayaan Partai Demokrat. Perolehan suara ataupun kursi DPR partai ini meningkat drastis dibandingkan lima tahun sebelumnya. Perolehan suara yang diraih Demokrat saat itu mencapai 21.225.916 suara atau 20,40 persen, sementara pada Pemilu 2004 Demokrat meraup 8.455.225 suara atau 7,45 persen.
Untuk perolehan kursi DPR, Partai Demokrat mengumpulkan 148 kursi pada pemilu ketiga era reformasi tersebut. Dengan menguasai 26,40 persen dari 560 kursi DPR, terlihat kemajuan luar biasa Partai Demokrat selama lima tahun. Fenomena ini tak terjadi pada partai mapan lainnya, termasuk PDI-P.
Tahun 2009 bukan milik Demokrat semata, melainkan juga milik SBY juga. Pada tahun itu, mantan Menko Polkam tersebut terpilih kembali menjadi Presiden RI untuk periode kedua.
Pada masa pemerintahan periode kedua, terungkap kasus- kasus korupsi berskala besar yang melibatkan elite dan politisi Demokrat yang menjadi anggota DPR. Kasus terbesar adalah korupsi proyek pembangunan pusat olahraga Hambalang.
Kasus yang melambungkan nama Muhammad Nazarudin, bendahara umum dan anggota DPR dari Partai Demokrat, ini berbuntut panjang kepada partainya. Beberapa petinggi Demokrat yang diungkap terlibat dalam kasus megakorupsi ini. Ironisnya, pengungkapan kasus terjadi ketika SBY sedang berada di puncak ketenarannya.
Sejumlah survei yang diadakan Litbang Kompas tentang kepemimpinan SBY pun mengungkapkan, kinerja SBY dalam memimpin terus menurun pada bulan-bulan terakhir kekuasaannya.
Hasil survei dibuktikan dengan perolehan suara dan kursi DPR pada Pemilu 2014. Dukungan rakyat kepada partai ini jeblok dari 21,22 juta suara menjadi 12,72 juta suara. Di DPR, Demokrat juga anjlok dari 148 kursi menjadi 61 kursi.
Pemilu 2019 kembali menjadi saksi atas keterpurukan Demokrat untuk kedua kali. Keterpurukan ini semakin menegaskan, Demokrat sangat identik dengan SBY. Ketika pamor SBY meningkat, partai ini menjadi kuat.
Sebaliknya, ketika pamor ”Sang Bintang” memudar, popularitas partai ini ikut anjlok. Penurunan perolehan suara partai ini secara berturut-turut pada Pemilu 2014 dan 2019 menjadi salah satu indikasi bahwa Demokrat harus bisa keluar dari kungkungan sosok SBY.
Basis dukungan
Di sisi lain, perolehan suara dan kursi DPR memang turun, tetapi kekuatan partai ini masih relatif solid. Sosok SBY masih menjadi penyokong di balik soliditas tersebut. Posisinya sebagai pendiri partai, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, dan Ketua Umum Partai memberi ketebalan keyakinan kepada para pengurus dan pemilih terhadap kemampuan SBY untuk menjaga kelangsungan partai.
Namun, kekuatan figur sudah bukan jaminan dalam menentukan masa depan Demokrat. Hal ini sudah disadari SBY tatkala dirinya terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres Luar Biasa di Bali 2013. ”Partai modern harus berangkat dari platform dan mesin partai. Jangan bergantung pada figur,” kata Yudhoyono (Kompas, 30/3/2013).
Pernyataan SBY ini sejalan dengan motif utama para pemilih Partai Demokrat. Survei Kepemimpinan Nasional yang diselenggarakan Litbang Kompas pada Maret 2019 mengungkapkan, bagian terbesar (27,9 persen) responden yang memilih Partai Demokrat didorong visi-misi dan program yang ditawarkan partai ini. Faktor figur masih diperhitungkan responden, tetapi menjadi alasan kedua. Sebanyak 24,4 persen responden yang memilih alasan figur, dalam hal ini ketua umum. Kenyataan ini sejalan dengan pemikiran SBY yang disampaikan enam tahun silam.
Secara basis sosial, pemilih Demokrat pada Pemilu 2019 memiliki karakter yang moderat dalam orientasi politik. Para pemilih partai ini relatif tersebar dari pemilih generasi milenial muda hingga baby boomers. Kebanyakan dari mereka juga berasal dari kelas ekonomi menengah.
(Litbang Kompas)