Penetapan tersangka yang beruntun terhadap kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan lemahnya integritas dan kapasitas kepala daerah untuk memajukan daerahnya.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan tersangka yang beruntun terhadap kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan lemahnya integritas dan kapasitas kepala daerah untuk memajukan daerahnya. Buruknya tata kelola pemerintah juga turut menambah peluang korupsi kepala daerah semakin besar.
”Penetapan status tersangka korupsi terhadap para kepala daerah itu mengonfirmasi masih gagalnya pemerintah dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih. Ini juga menjadi peringatan bahwa memang ada daerah-daerah yang harus mendapat perhatian khusus,” kata Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (15/10/2019).
Menurut Oce, korupsi oleh kepala daerah juga mengungkap bahwa transaksi suap masih tinggi terjadi di daerah. Para kepala daerah menjadi berani untuk memberikan imbalan kepada sponsor karena kebutuhan modal yang tinggi untuk biaya saat pilkada.
Data KPK, sejak 2002 ada 122 kepala daerah yang diproses KPK, 49 di antaranya dari kegiatan tangkap tangan atau sebesar 40,2 persen. Selain melalui tangkap tangan, KPK juga menetapkan tersangka lewat pengembangan kasus.
Setidaknya, sepanjang Oktober 2019, KPK telah menetapkan tiga kepala daerah sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Mereka, antara lain, Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara yang terkena tangkap tangan dan ditetapkan tersangka pada 7 Oktober; Bupati Seruyan Kalimantan Tengah periode 2003-2008 dan 2008-2013, Darwan Ali melalui pengembangan kasus (case building) dan menjadi tersangka pada 14 Oktober; serta Bupati Indramayu 2014-2019, Supendi yang tertangkap tangan dan menjadi tersangka pada 15 Oktober.
Sementara yang masih dalam proses pemeriksaan oleh KPK, yakni Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional Wilayah XII Kalimantan Timur Refly Ruddy Tangkere dan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin 2016-2021. Keduanya terkena OTT yang masing-masing dilakukan pada 14 dan 15 Oktober.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, untuk Refly Ruddy Tangkere, KPK menduga ada pemberian dari pihak rekanan atau swasta terkait paket pekerjaan jalan multiyears senilai Rp 155 miliar kepada BPJN Wilayah XII Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, Kementerian PUPR. Dalam tangkap tangan, KPK mengamankan barang bukti ATM dan buku tabungan atau rekening bank yang digunakan pihak swasta untuk mentransfer uang.
”Pemberian tidak dilakukan secara konvensional, tetapi menggunakan modus ATM. Pihak rekanan memberikan ATM pada pejabat di BPJN Wilayah XII yang sudah diisi sejumlah uang secara periodik oleh pihak swasta. Total uang yang telah diberikan melalui ATM tersebut sekitar Rp 1,5 miliar,” kata Febri.
Sementara terkait Dzulmi Eldin, Febri menyampaikan, sempat terjadi hambatan karena anggota staf protokol Dzulmi berinisial AN mencoba melarikan diri dan hampir menabrak tim KPK. Diduga, AN tersebut menerima tambahan Rp 50 juta dari Kepala Dinas yang diperuntukkan untuk Dzulmi.
Krisis integritas
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, maraknya korupsi kepala daerah akhir-akhir ini memang sesuai dengan momentum triwulan terakhir dalam penyerapan anggaran. Pada masa ini, birokrasi benar-benar menggenjot pengeluaran dan belanja daerah, termasuk untuk keperluan pribadi.
Maraknya korupsi kepala daerah akhir-akhir ini memang sesuai dengan momentum triwulan terakhir dalam penyerapan anggaran.
”Sekarang, kan, menjelang akhir tahun, pada September, Oktober, dan November, bulan-bulan ini menjadi pesta pora bagi para kepala daerah untuk memanfaatkan anggaran yang masih banyak. Inilah yang harus diawasi dalam pengelolaan APBD,” ujar Endi.
Kepala Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto pun menyatakan bahwa sebagus apa pun aturan yang ada, kalau mental pelaksana atau manusianya tidak mau bagus, aturan akan disalahgunakan. Integritas dan kapasitas kepala daerah dalam mengelola tata pemerintahan sebenarnya menjadi kunci memajukan daerah.
”Para kepala daerah yang ditangkap itu enggak mau belajar dari pengalaman kepala daerah yang sudah ditangkap, artinya dia tetap saja nekat karena modal menjadi kepala daerah yang tinggi dan lemahnya peran inspektorat daerah,” ujar Sigit.
Saat ini, bekerja sama dengan KPK, Sigit menyampaikan bahwa sudah ada peraturan pemerintah untuk meningkatkan posisi dari inspektorat daerah. Nantinya, inspektorat tidak lagi menjadi subordinat kepala daerah, tetapi akan setingkat di atasnya.
”Kalau sekarang kan inspektorat itu menjadi bagian dari kepala daerah sehingga menjadi takut untuk menegur. Nanti statusnya itu bukan pegawai daerah, melainkan dari pusat atau provinsi. Kita tinggal menunggu tanda tangan presiden untuk PP-nya,” kata Sigit.