Hingga tahun 1990-an, nama Agus, Budi, Ani, Bambang, Tri, Dewi, dan Wati sering disebut sebagai nama pasaran alias nama ”sejuta umat”. Akhir tahun 1990-an ketika orangtua gemar mencomot nama dari buku nama-nama bayi, nama pasaran berubah menjadi Tasya, Nasya, Salsabila, Adel, Rafi, Kevin, Michael, Jessica, dan sebagainya. Ribetkah punya nama ”sejuta umat”?
Michael Wator Parlindungan, mahasiswa semester akhir Fakultas Pendidikan dan Bahasa Universitas Atma Jaya Jakarta, punya cerita. Waktu SMA, dia sekelas dengan siswa lain yang punya nama mirip dengan namanya, Mickael. Bedanya cuma pada huruf ”h” dan ”k”, tapi pengaruhnya gede banget.
Michael ingat, gurunya sering keliru mengiranya Mickael dan sebaliknya. Kekeliruan yang tak terlupakan terungkap saat pembagian rapor. Michael yang tergolong siswa biang ribut di sekolah terkejut karena wali kelasnya memberikan catatan baik dalam buku rapornya. Padahal, catatan baik itu seharusnya diberikan untuk si Mickael.
”Gue kaget setelah ambil rapor kok ibu gue terharu, lalu bilang gue sudah berubah. Katanya gue aktif memimpin ibadah doa dan sebagainya. Ya ternyata catatan itu buat Mickael, bukan buat gue,” ucapnya seraya tertawa, Senin (14/10/2019). Sejauh ini, Michael merasa hepi-hepi aja punya nama pasaran.
Tapi, nggak semua orang bisa seperti Michael. Adelia Putri, mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Jakarta, misalnya, sering kesal karena nama pasarannya membuat dia kesulitan membuat alamat surat elektronik.
Anak pertama dari dua bersaudara ini mengaku repot mencari padanan nama yang bisa digunakan, tetapi tetap formal. Padanan nama yang ia inginkan sering kali sudah digunakan sehingga ia terpaksa menyertakan angka tertentu pada alamat surelnya.
”Jadi susah untuk memilih alamat e-mail yang formal. Kalau media sosial, kan, bisa informal jadi lebih banyak pilihannya,” ucapnya.
Kesamaan nama juga membuat jalur komunikasi terganggu. Pernah suatu saat Adelia mendapatkan pesan yang ditujukan untuk orang lain dengan nama yang sama. ”Untungnya selama ini di lingkungan pertemanan tidak ada yang namanya sama, tapi pernah ada yang salah chat. Harusnya ke Adelia yang lain, tapi jadi chat-nya ke gue,” ujarnya.
Pengalaman serupa dirasakan Michelle Vania, mahasiswi dari Jurusan Manajemen Pariwisata dan Perhotelan di Universitas STP Trisakti. Michelle sering jadi korban salah panggil sehingga ia terpaksa harus menanyakan kembali siapa Michelle yang dimaksud. ”Kadang suka ribet kalau ada yang manggil, malah jadi suka salah nengok dan jadi salah paham. Contohnya orang cari Michelle yang lain, bukan aku. Tapi malah aku yang dicariin,” ujarnya.
Kevin yang ”hits”
Supaya orang lain tidak salah melulu, sebagian pemilik nama sejuta umat berusaha mencari nama panggilan tersendiri. Hal itu antara lain dilakukan Kevin Meydio, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara.
”Nama Kevin itu fana buat gue karena gue jarang banget dipanggil Kevin. Di kampus dan lingkungan dekat, gue dipanggilnya Memed. Itu asalnya dari nama kedua gue, Meydio,” tutur Kevin yang tak pernah menjadi satu-satunya Kevin di sekolahnya, mulai tingkat SD sampai SMA.
Uniknya, lanjut Kevin, setiap orang bernama Kevin yang ia jumpai baik di bangku SMA maupun kampus ternyata memiliki nama panggilan di luar nama Kevin.
”Kevin yang gue kenal rata-rata enggak dipanggil dengan nama Kevin. Biasanya pakai nama keduanya atau ada nama panggilan gitu kayak gue,” katanya.
Anak kedua dari dua bersaudara ini mengaku tak masalah mempunyai nama yang cukup pasaran. Namun, ia sendiri pernah merasa penasaran dan menanyakan kepada orangtuanya perihal nama Kevin yang cukup banyak digunakan orang lain.
”Gue pernah nanya ke nyokap soal ini. Kata nyokap nama Kevin lagi hits di masa nyokap gue mengandung. Keren gitu katanya,” ujar Kevin.
Begitu banyak populasi manusia di muka bumi ini sehingga punya nama sama itu sesuatu yang lumrah. Menurut psikolog Ratih Ibrahim, punya nama pasaran justru positif bagi pribadi seseorang. Mereka akan cenderung merasa aman karena namanya jadi hal yang biasa atau diterima di masyarakat.
”Justru yang bikin insecure itu kalau lingkungannya semua nama-nama internasional, seperti James atau John, nah tapi dia sendiri yang namanya Sentot gitu misalnya. Makanya, nama yang pasaran itu justru membuat orang secure,” ujar Ratih.
Ratih berpendapat bahwa setiap nama entah itu terlalu jamak atau jarang ditemui di masyarakat sejatinya tetap dapat berpotensi memancing ketidaknyamanan. Semuanya tergantung bagaimana seseorang memaknai namanya. Setiap orang harus memberikan stigma positif terhadap namanya sendiri.
”Nama itu, kan, umumnya berisi doa dan harapan dari orangtua. Nah itu yang kita gali supaya kita paham pesan baiknya. Ini yang akan mem-boost rasa percaya diri kita,” ujarnya. (*/**/***)