Mana yang Lebih Parah, Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015 atau 2019?
Seorang warga Riau sengaja memfoto langit yang ditutupi asap, kemudian dikelir dengan warna biru. Gambar itu diberi judul ”Hore, Langit Riau Sudah Biru….” Bencana asap kembali menyengsarakan masyarakat.
Pada pekan ketiga September 2019, lewat percakapan media sosial, seorang teman dari Jakarta bertanya, ”Bagaimana rasanya kami (warga Pekanbaru, Riau) hidup dalam kepungan asap dalam level berbahaya?”
”Kan, asap membahayakan itu tidak hanya (dihirup) dalam hitungan menit atau jam, melainkan berminggu-minggu?” tanya sang kawan.
Ternyata, pengalaman nyata yang dijalani setiap hari itu tidak membuat pertanyaan tersebut mudah dijawab. Untungnya pada saat pertanyaan itu diajukan, Kota Jakarta sedang menjadi sorotan sebagai kota dengan tingkat polusi udara terburuk di dunia.
Saya balik bertanya berapa angka indeks kualitas udara Jakarta pada saat itu. Sang teman menjawab, ”174”. Data itu diperolehnya dari situs Air Visual. Artinya, udara Jakarta berada dalam kategori ”tidak sehat”.
Agar memiliki kesamaan parameter, saya pun membuka situs Air Visual. Ternyata, angka indeks polusi Kota Pekanbaru mencapai 744 atau berada pada level berbahaya. Hal itu berarti, pada hari yang sama, pencemaran di tengah Pulau Sumatera itu empat kali lebih buruk dibandingkan dengan Jakarta.
Dalam level berbahaya, semestinya tidak boleh lagi ada aktivitas manusia di luar ruang. Udara yang dihirup di ruang terbuka praktis sudah tercemar berat. Bayi dan orang tua sangat rentan terjangkit penyakit terpapar asap. Kalau saja efek asap berbahaya itu seketika berdampak pada kesehatan dan menyebabkan kematian, niscaya seluruh penduduk Riau sudah mengungsi atau diungsikan.
Dengan kondisi udara tidak sehat itu, lembaga pemerhati lingkungan mendesak pemerintah segera mengambil tindakan guna mengatasi polusi udara di Jakarta. Jadi, wajar saja jika warga Riau bersuara lebih kencang meminta pemerintah mengambil langkah nyata menghilangkan asap dari sisa kebakaran lahan dan hutan itu sesegera mungkin.
Presiden mengakui, pemerintah lalai mencegah kebakaran lahan dan hutan sehingga menimbulkan bencana asap kembali.
Presiden Joko Widodo rupanya mendengar keluhan warga Riau. Pada 16 September malam, Jokowi mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, di tengah kabut asap pekat. Malam itu juga Presiden menggelar rapat terbatas dan memerintahkan jajarannya mengambil langkah konkret dan rencana pencegahan ke depan. Presiden mengakui, pemerintah lalai mencegah kebakaran lahan dan hutan sehingga menimbulkan bencana asap kembali.
Pada 17 September, Presiden mengunjungi sebuah lokasi kebakaran di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan. Entah kenapa, pada hari kunjungan itu, kabut asap beberapa kota di Riau tidak sepekat sebelumnya. Presiden terlihat leluasa meninjau lokasi kebakaran tanpa memakai masker pelindung.
Keesokan harinya, muncul pernyataan seorang menteri yang mengatakan bahwa kondisi asap di Riau tidak separah yang diberitakan media. Faktanya, Presiden tidak memakai masker di lokasi lahan terbakar. Seorang petinggi Polri pun mengatakan, langit Kota Pekanbaru sudah biru.
Pada saat pernyataan petinggi negara itu dibaca warga Pekanbaru, langit Riau sudah kembali ditutupi asap tebal. Warga semakin bermuram durja. Di tengah jeritan derita kabut asap berbahaya yang tidak mereda, pernyataan nir-empati itu terasa seperti pukulan gada ke kepala.
Jagat maya Riau pun dipenuhi kemurkaan. Kalimat cela dilontarkan. Cibiran pedas dikumandangkan. Berbagai meme berseliweran.
Misalnya, seorang warga sengaja memfoto langit yang seluruhnya putih menguning ditutupi asap, kemudian dikelir dengan warna biru. Gambar itu diberi judul ”Hore, Langit Riau Sudah Biru…”. Tidak sedikit pula warga Riau menantang agar dua pejabat itu datang ke Pekanbaru lagi.
Sepeninggal Joko Widodo, kabut asap di Pekanbaru memang semakin parah. Selama delapan hari berturut-turut, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Kota Pekanbaru berada dalam kolom hitam atau berbahaya bagi kesehatan. Puncaknya pada 23 September, angka parameter partikulat molekul udara (PM 10) menembus angka 800. Padahal, PM 10 yang dapat ditoleransi manusia hanya 150.
Dua hari sebelum kedatangan Joko Widodo, Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo mengunjungi Pekanbaru. Dua jenderal itu melakukan rapat tertutup dengan segenap petinggi di Riau, termasuk Gubernur Riau Syamsuar.
Di sesi tanya jawab setelah pertemuan, wartawan bertanya kepada Gubernur, apakah ada rencana menaikkan status siaga kebakaran lahan dan hutan di Riau, ke tingkat yang lebih tinggi? Sang Gubernur mengatakan belum perlu.
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara memerintahkan, apabila kondisi ISPU sudah dalam taraf ”berbahaya”, gubernur dapat menetapkan status Darurat Pencemaran Udara di daerahnya. Apabila udara di beberapa daerah sudah berbahaya, Menteri (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dapat menetapkan status darurat tingkat nasional.
Setelah 10 hari dilanda pencemaran asap berbahaya tanpa henti, pada 24 September pagi, Syamsuar menetapkan status Darurat Pencemaran Udara untuk wilayah Riau. Status itu berlaku sampai 30 September.
Banyak orang menyayangkan gubernur terlambat menetapkan status tersebut. Apalagi, beberapa jam setelah status darurat diberlakukan, pada 24 September sore, hujan mengguyur Kota Pekanbaru.
Baca juga: Di Balik Hebohnya Swafoto Bareng Jokowi dan Prabowo
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pun melaporkan, sebagian besar wilayah Riau turun hujan, termasuk di lokasi kebakaran lahan dan hutan. Malam harinya, udara Kota Pekanbaru yang sebelumnya berbahaya langsung membaik meski masih berada di level tidak sehat.
Keesokan harinya, udara semakin membaik. Begitu seterusnya sampai status Darurat Pencemaran Udara dicabut pada 30 September. Alhasil, status Darurat Pencemaran Udara di Riau sesungguhnya nyaris tidak pernah berlangsung dalam kondisi darurat.
Bencana asap 2019 ini jelas mengembalikan ingatan pada peristiwa terakhir yang terjadi pada 2015. Dalam banyak perbincangan warga, selalu muncul perdebatan, (bencana) mana yang lebih buruk, 2019 atau 2015?
Tidak sedikit kalangan di Riau mengatakan, bencana asap pada 2019 lebih buruk daripada 2015. Jawaban itu tentu sangat subyektif. Sebab, orang biasanya lebih mengingat ”penderitaan” yang baru dialami daripada yang lama.
Baca juga: Pengalaman Meliput Tragedi Kebakaran dan Turut Memverifikasi Data Korban
Mengacu pada laporan Bank Dunia, bencana asap 2015 menyebabkan kerugian negara Rp 221 triliun. Adapun kerugian bencana asap 2019 belum dirilis Bank Dunia.
Kalau saja tingkatan bencana asap diukur dari jumlah hari libur sekolah, tahun 2015 lebih parah. Waktu itu, lama libur sekolah mencapai enam minggu, sementara pada 2019 libur hanya dua pekan.
Apabila ukurannya adalah jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tahun 2015 masih lebih parah. Penderita ISPA Riau 2015 mencapai 639.000 orang, sementara 2019 (sampai akhir September) 323.000 orang. Sampai akhir 2019, angka ISPA itu diperkirakan tidak akan bertambah banyak karena saat ini kondisi hampir stabil dan musim hujan segera tiba.
Apa pun ukuran bencana itu, sebenarnya tidak terlalu penting buat rakyat. Yang lebih penting, Presiden Joko Widodo menyadari bahwa pola penanganan kebakaran lahan dan hutan yang dicanangkan tahun 2016 belum pas dengan kondisi riil di lapangan. Harus ada terobosan.
Baca juga: Mengapa Negara Gagal (lagi) Menangani Kebakaran Lahan ?
Dalam catatan akhir tahun pada 27 Desember 2018, Kompas telah mewanti-wanti pemerintah agar lebih waspada menghadapi musim kemarau 2019. Hal itu mengacu pada data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Riau 2018 yang menyebutkan luas lahan terbakar mencapai 5.776 hektar.
Padahal, pada tahun 2017, lahan terbakar hanya 1.368 hektar. Kenaikan luas kebakaran sampai 400 persen itu adalah lampu kuning buat pemerintah. Kompas memprediksi bukan mustahil akan timbul bencana asap seperti tahun 2015.
Sayangnya, peringatan itu tidak diantisipasi dengan baik. Keberhasilan menanggulangi kebakaran selama tiga tahun dari 2016, 2017, dan 2018 seakan menumbuhkan kepercayaan diri yang berlebihan pada pemerintah. Kekhawatiran Kompas ternyata terbukti. Badai asap kembali meluluhlantakkan sejumlah daerah yang dulu pernah terbakar hebat dan menimbulkan penderitaan jutaan rakyat tidak berdosa.
Pepatah lama mengatakan, ”Sesuatu (peristiwa) yang tidak membunuhmu akan membuatmu bertambah kuat.” Pepatah lain berkata, ”Belajarlah dari pengalaman karena pengalaman adalah guru yang baik.”
Sayangnya, pepatah itu belum menjadi guru yang baik buat pemerintah sehingga yang terjadi saat ini, peristiwa yang berulang (bencana asap), bisa ”membunuh” rakyatmu kelak.